Friday, 26 February 2021

Sisi Gelap Kebahagiaan


Tidak ada manusia yang tidak ingin hidup dengan bahagia. Itu membuat banyak diantara kita berusaha keras mengejar kebahagiaan. Ada yang melakukannya dengan cara sering berkumpul bersama teman-teman, bermain bersama anak, bekerja lembur, membeli gadget keluaran terbaru, membeli mobil baru bahkan membangun rumah baru. Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan?

Kebahagiaan mencakup dua aspek yaitu pikiran (kognitif) dan emosi (perasaan). Secara kognitif kebahagiaan dicerminkan oleh sejauh mana orang puas terhadap kehidupan yang dijalaninya serta sejauh mana ia menganggap bahwa hidupnya bermakna. Sedangkan secara perasaan, kebahagiaan diartikan sebagai hadirnya perasaan positif yaitu rasa senang atau gembira, serta ketiadaan emosi negatif seperti sedih, takut dan marah.

Saat ingin mencapai kebahagiaan, biasanya kita juga berusaha keras untuk menghindari atau mengingkari perasaan-perasaan negatif. Salah satu contohnya, saat kita menghadapi situasi yang menimbulkan perasaan sedih, biasanya kita akan bergulat dengan ketidaknyamanan atau konflik di dalam batin dengan mengatakan kepada diri sendiri, “Aku nggak boleh sedih!”, “Aku nggak boleh nangis!”

Apakah itu adalah langkah yang tepat untuk terus kita lakukan? Apakah bersedih berarti bahwa hidup kita tak bahagia? Apakah kita memang wajib memburu kebahagiaan?

Kebahagiaan ternyata juga memiliki sisi gelap yang perlu diperhatikan supaya hidup kita terhindar dari kesia-siaan dan kelelahan. Berikut adalah asumsi tentang kebahagiaan yang ternyata perlu kita kikis pelan-pelan, sebagaimana dijelaskan oleh Gruber, dkk (2011) dalam artikel ilmiah yang mereka tulis.

Kebahagiaan Selalu Mendatangkan Kebaikan

Faktanya kebahagiaan tak selalu baik dan tak selalu menyehatkan. Kondisi psikis kita berada dalam sebuah kontinum. Kebahagiaan kita juga demikian. Bisa naik bisa turun. Bisa tinggi dan bisa rendah. Tingginya perasaan bahagia juga bisa berbeda-beda level atau tingkatannya antara satu orang dengan lainnya juga antara waktu satu ke waktu berikutnya pada orang yang sama.

Jika mungkin selama ini kita berasumsi bahwa bahagia itu selalu mendatangkan kebaikan, maka sebaiknya kita mulai mengkritisi hal ini. Kebahagiaan yang diartikan sebagai hadirnya emosi positif berupa rasa senang, ketika itu berada di puncak (merasa sangat senang), tanpa disertai perasaan negatif sama sekali, justru menjadi hal yang berisiko tinggi. Rasa senang yang meluap-luap atau membuncah dan terus bertahan selama kurun waktu tertentu, bisa jadi juga merupakan pengalaman mania-sebuah gejala gangguan psikologis.

Jika seseorang mengalaminya, akan sulit bagi dirinya untuk mengendalikan dirinya sendiri. Ia mungkin menjadi kurang istirahat, energinya seperti tidak habis-habis bahkan bisa lepas kendali misalnya melakukan sex dengan orang yang tidak dikenal.

Di sisi lain, ketiadaan emosi negatif merupakan salah satu karakteristik orang dengan psikopati. Orang yang sama sekali tidak mampu merasakan kesedihan dan ketakutan juga bisa membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Ia bisa melakukan apa saja tanpa merasa bersalah sama sekali.

Dengan kata lain, tingkatan kebahagiaan tertinggi yang ditandai dengan tercapainya emosi yang sangat positif tanpa disertai emosi negatif justru merupakan tanda bagi adanya hambatan psikis pada individu.

Emosi positif maupun negatif perlu hadir sesuai dengan konteksnya. Ketidakberfungsian salah satunya, bisa sangat merugikan bagi kita. Dengan begitu kita perlu menyadari bahwa ingin selalu merasa senang atau positif bukan sesuatu yang logis dan patut dipertahankan.

Sebagai contoh, orang yang sedang berhadapan dengan ancaman atau bahaya, memerlukan emosi negatif berupa marah dan takut supaya ia mampu mempertahankan diri dan menyelamatkan dirinya. Jika ia hanya merasa senang sepanjang waktu, hilanglah kemampuannya untuk mendeteksi risiko yang ada di hadapannya.

Mengejar Kebahagiaan akan Meningkatkan Kebahagiaan

Masuk akal sekali jika kita dianjurkan untuk berusaha menggapai sesuatu yang kita inginkan. Namun ini tidak selalu berlaku pada proses pemerolehan kebahagiaan. Faktanya, mengejar kebahagiaan adalah sesuatu yang mengandung paradoks.

Kebahagiaan itu semakin dikejar justru akan semakin membuat kita merasa tidak bahagia. Mengejar kebahagiaan secara tak sadar membuat kita memasang syarat-syarat tertentu untuk merasa bahagia. Dengan kata lain ketika kita mengejar bahagia, kita justru sedang menjauhkan diri kita darinya! Ini terjadi karena usaha untuk mengejar bahagia sebenarnya juga mempertegas fakta bahwa kita sedang kurang bahkan tidak bahagia.

Contohnya, saat kita mungkin merasa tidak bahagia karena memiliki kulit yang berwarna gelap. Itu kemudian membuat kita berusaha keras menggunakan aneka produk yang menjanjikan warna kulit yang cerah setelah pemakaian. Secara psikis sebenarnya upaya keras untuk merasa bahagia dengan menggunakan produk pencerah juga sedang menegaskan kepada diri kita sendiri bahwa kulit kita gelap dan kita menolaknya. Penolakan ini akan menyulitkan kita merasa bahagia.

Sebaliknya, jika kita mau berlapang hati menerima warna kulit yang gelap itu, rasa nyaman dan bahagia dengan sendirinya akan muncul pada diri kita. Kita tidak mempertegas apa yang kurang, melainkan menerima diri sendiri apa adanya dan menghargai apa yang kita punya. Kita tidak lagi terjebak dalam kaca mata yang memandang bahwa perbedaan dengan standar kecantikan adalah ketidaksempurnaan. Kita telah mampu membahagiakan diri dengan tidak memperumit persyaratan bahwa kebahagiaan hanya boleh dirasakan oleh orang yang kulitnya cerah.

Jadi, apakah kita memang tidak boleh mengupayakan tercapainya kebahagiaan?

Boleh. Hanya saja kita perlu menempuh jalan yang lebih tepat. Kebahagiaan dapat diupayakan salah satunya dengan mencapai flow bukan dengan mempermak ini dan itu apalagi membeli hal-hal yang tak perlu. Semua itu, tak akan pernah ada titik cukupnya. Kondisi flow menggambarkan pengalaman dimana seseorang menikmati suatu aktivitas semata-mata karena ia menikmati prosesnya bukan karena ia ingin mendapatkan sesuatu setelahnya.

Contoh pengalaman flow adalah ketika seorang pelukis melakukan kegiatan melukis dengan segenap jiwanya dan ia sangat menikmatinya. Ia melakukannya karena ia menyukainya, bukan karena ingin dipuji atau ingin lukisannya dibeli dengan harga mahal. Itu hanyalah bonus atau efek samping. Baginya yang utama adalah ketika dirinya benar-benar menikmati aktivitasnya.

Jika diterapkan pada contoh lain, maka flow didapat jika kita menggunakan produk kecantikan karena kita menikmati prosesnya bukan karena kita menginginkan hasil dengan standar tertentu. Jika kita berfokus menikmati proses, artinya kita sedang menempuh jalan mencapai kebahagiaan sejati. Kita bukan sedang melakukan sesuatu untuk menyiksa diri sendiri dengan penolakan di dalam hati. Kita mungkin juga tak terlalu peduli apakah upaya kita akan berhasil atau tidak karena tujuan utama dan kebahagiaannya terletak pada perjalanannya, bukan titik ujungnya.

Sudah siap untuk menjadi orang yang bahagia?

Referensi

Gruber, J., Mauss, I.B., Tamir, M. (2011). A dark side of happiness? How, when, why happiness is not always good?. Perpective on Psychological Sciences, 6 (3) 222-233.

Thursday, 16 July 2020

Katarsis: Membereskan Beban Hati

Tentang Buku "Katarsis Membereskan Beban Hati"

Genre : Non Fiksi
Kategori : Psikologi
Penulis : Fatin, S.Psi, Husnul, S.Psi., Nursita, S.Psi.
Ilustrator : Sayyida, S.Psi., Ayu Saraswati
Halaman : 175 Halaman
ISBN : 978-623-7148-88-3

Takut, senang, sedih, marah atau benci datang silih berganti dalam hidup ini. Namun, kita sering tak mampu mengambil kendali atas emosi. Akhirnya mereka menetap terlalu lama sehingga menjadi beban atau sampah bagi jiwa yang menyulitkan kita berpikir jernih menyikapi dunia.

Faktanya, dampak tersumbatnya sirkulasi emosi sama seperti ketidaklancaran aliran darah. Kondisi ini dapat menurunkan kesehatan badan serta membuat kita rentan uring-uringan bahkan berisiko mengalami kecemasan, stres, depresi dan berbagai gangguan mental lainnya. Oleh sebab itu, bukankah kita perlu segera mengupayakan sesuatu untuk membereskan apa yang ada dalam hati dalam rangka mensyukuri anugerah berupa kehidupan?

Sejak ratusan tahun yang lalu, katarsis telah banyak digunakan dalam bidang psikologi sebagai bagian dari proses terapi. Katarsis diyakini sebagai metode yang efektif untuk membantu manusia melepas emosi sehingga kesehatan mentalnya terjaga. Namun, kebanyakan dari kita justru melakukan sebaliknya: lebih sering menipu diri, mengingkari perasaannya sendiri dan memilih memendam emosi. 

Perilaku memendam seolah-olah baik adanya. Bukankah kita memang dianjurkan untuk bersabar menghadapi apa saja tak peduli seberat apapun masalah yang menimpa? Bukankah kita memang dilarang serampangan mengekspresikan emosi? Lantas apakah ini berarti katarsis bertentangan dengan nilai-nilai agama? Lalu bagaimana seharusnya kita melepas beban emosi? Bagaimana caranya membereskan hati? 

Tentang Penulis

Buku ini disusun oleh Fatin, Husnul dan Sita: tiga sekawan yang dipertemukan pada saat menempuh studi S-1 Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini Fatin sedang menempuh pendidikan Magister Profesi Psikologi di Universitas Airlangga serta bergerak di komunitas literasi Hubb.id (@hubb_id). Kemudian Husnul, penerima beasiswa LPDP ini juga sedang menuntaskan kuliah Magister Profesi Psikologi di Universitas Indonesia sembari memantau komunitas pendidikan yang berbasis di Madura dengan nama Saghara Elmo (@saghara.elmo). Sementara Sita, aktif menulis serta melayani masyarakat melalui lembaga konsultasi psikologi 'BE Psychology' (@bepsychologykediri).

Pemesanan

bit.ly/pesankatarsis atau Whatsapp 089654646355

Tuesday, 2 June 2020

Benarkah Harta Membuat Kita Bahagia?


Apa sih yang membuat manusia bisa bahagia? Apakah uang dan kekayaan? Apakah tubuh yang ideal? Apakah memiliki pasangan yang cocok? Prestasi? Kebahagiaan menjadi tujuan dari berbagai hal yang kita lakukan. Manusia mencoba berbagai macam usaha demi menikmati rasa bahagia.

Sayangnya ada asumsi-asumsi tentang menjadi bahagia yang masih dipercaya meski tak terbukti kebenarnnya. Akibatnya? Tentu saja manusia merasa semakin tersiksa saat tidak berhasil menggenggamnya. Berikut adalah review salah satu hasil penelitian yang patut kita renungkan seputar harta dan rasa bahagia.

Dengan uang kita bisa membeli apa saja yang kita suka. Mulai dari makanan, pakaian, rumah, hingga mobil idaman. Beberapa orang mengatakan, “Aku pasti seneng banget deh kalau punya …”, “Enak ya jadi orang kaya, mau ngapain aja bisa”, “Coba aja aku punya … pasti hidup lebih nikmat rasanya”.

Benarkah harta memang ada hubungannya dengan kebahagiaan? 

Penelitian yang dilakukan oleh Quodibach, dkk (2010) terhadap 351 orang di Belgia, menemukan bahwa kekayaan justru membuat orang semakin sulit bahagia. Hal itu disebabkan karena semakin tinggi jumlah kekayaan, semakin rendah kemampuan orang menikmati kehidupan. Tanpa disadari kekayaan justru menurunkan kemampuan untuk merasakan kenikmatan terhadap hal kecil yang sebenarnya juga bisa membahagiakan.

Bagaimana contohnya? Dalam penelitian tersebut partisipan penelitian awalnya diminta untuk membayangkan pengalaman saat berhasil menyelesaikan pekerjaan, pergi jalan-jalan romantis bersama pasangan di akhir pekan, menemukan air terjun yang indah saat sedang mendaki gunung dan sebagainya.

Setelah membayangkan, mereka diminta menentukan kira-kira hal apa yang akan mereka lakukan jika mengalaminya. Apakah akan menunjukkan rasa senangnya saat itu, mengingat pengalaman itu, menceritakan kepada orang lain dan sebagainya. Respon yang berbeda-beda ini menunjukkan derajat yang berbeda dalam menikmati momen-momen yang dibayangkan tersebut. Hasilnya diketahui bahwa orang yang punya kekayaan lebih besar cenderung lebih rendah kemampuannya menikmati pengalaman, dengan kata lain mereka lebih sulit dibahagiakan.

Masih dalam penelitian yang sama, partisipan diminta untuk makan coklat setelah menjawab kuesioner berisi pertanyaan demografis, termasuk pertanyaan tentang berapa jumlah kekayaan yang mereka miliki saat itu. Hasilnya orang yang memiliki harta lebih besar cenderung lebih cepat menghabiskan coklatnya dan kurang terlihat ekspresi senangnya saat makan coklat, dibandingkan dengan partisipan lain yang hartanya lebih sedikit.

Apa yang bisa dimaknai dari hasil penelitian itu? Semakin besar harta yang dimiliki ternyata semakin rendah kemampuan orang menikmati kesenangan kecil dalam hidup sehari-hari. Makan coklat adalah contoh kegiatan sederhana yang biasa kita alami. Meski biasa, jika kita mampu menikmatinya tentu akan lebih besar bahagia yang kita rasa. Bayangkan jika kita mampu menikmati setiap hal kecil dalam hidup, bukankah kebahagiaan (yang mungkin kita cari ke sana ke mari) itu sebenarnya sudah ada dalam genggaman?

Makan steak di restoran terasa sangat istimewa dan membahagiakan bagi seorang tukang becak. Ia mungkin akan menceritakan pengalaman itu kepada teman-temannya dengan wajah gembira dan masih mengingat betapa nikmatnya berhari-hari setelahnya. Namun tidak demikian bagi seorang bos kaya raya. Si bos menganggap makan steak itu biasa saja (sama biasanya dengan perasaan tukang becak memakan nasi berlauk ikan asin). Jadi siapa sebenarnya yang lebih bahagia di antara mereka?

Bagaimana dengan dirimu? Apakah Kamu termasuk orang yang mudah merasa bahagia? Apakah Kamu orang yang mudah dibahagiakan?

Selain penelitian yang sudah dijelaskan di atas masih banyak riset lain yang perlu kita telusuri agar tak salah persepsi tentang menjadi bahagia. Link artikel selanjutnya akan saya cantumkan di sini jika sudah posting. Terima kasih sudah membaca!

Referensi

Quoidbach, J., Dunn, E. W., Petrides, K. V., & Mikolajczak, M. (2010). Money Giveth, Money Taketh Away. Psychological Science, 21(6), 759–763. doi:10.1177/0956797610371963

Wednesday, 27 May 2020

Skor IQ Rendah? Nggak Usah Marah-Marah!

Photo by Siora Photography on Unsplash
Mendapatkan skor IQ yang rendah membuat sebagian orang kecewa. Ada juga orangtua yang marah-marah karena skor IQ anaknya rendah. Kemungkinan besar perasaan-perasaan itu bersumber dari anggapan bahwa skor IQ rendah, sama dengan bodoh. Benarkah demikian?

Skor IQ adalah satuan pengukuran untuk mengategorikan kecerdasan seseorang. Tujuan awal dibuatnya tes kecerdasan adalah memetakan ragam kemampuan yang dimiliki oleh siswa di sekolah. Dengan kata lain, tes kecerdasan yang kemudian menghasilkan skor IQ sebenarnya sangat dekat dengan kemampuan berpikir secara akademik.

Lantas apakah kamu setuju jika kecerdasan dimaknai secara khusus “hanya” tentang kemampuan akademik? Bagaimana dengan keunggulan-keunggulan lain yang manusia miliki, yang tidak bisa tercermin dalam angka? Apakah skor IQ tinggi yang mengundang rasa bangga memang jaminan keberhasilan manusia?

Keberhasilan dalam konteks akademik,kemungkinan besar iya. Namun untuk dapat digeneralisasi dalam hal lain, masih sangat banyak faktor yang akan mempengaruhinya. Maka sebaiknya kita lebih bijak menyikapi skor IQ.

Bagaimana caranya agar lebih bijaksana? Cobalah membaca buku berjudul Outliers karya Malcolm Galdwell. Semoga buku tersebut bisa memberi pencerahan tentang bagaimana memandang kecerdasan dan kesuksesan.

Sternberg, dkk pada 1981 mencoba menanyakan kepada masyarakat untuk menunjukkan contoh perilaku yang mereka anggap sebagai kecerdasan. Hasilnya contoh-contoh yang disebutkan bisa dikelompokkan dalam tiga kategori sebagai berikut:

1.Verbal Intelligence
  • Berbicara dengan jelas
  • Fasih/mudah mengekspresikan idenya dalam kata-kata
  • Punya pengetahuan yang dalam terhadap bidang tertentu
  • Mampu memahami bacaan secara mendalam
2. Practical Intelligence
  • Berpandangan luas/mempertimbangkan banyak aspek dalam melihat permasalahan
  • Mampu memahami situasi dengan baik
  • Mampu mengambil keputusan dengan baik
  • Mampu memilih sikap terbaik dalam menghadapi masalah
3. Social Intelligence
  • Mampu menerima orang lain apa adanya
  • Berjiwa sosial
  •  Berpikir dengan matang sebelum bicara atau bertindak
  • Peka terhadap keinginan dan kebutuhan orang lain
Temuan di atas menunjukkan bahwa kecerdasan dalam persepsi masyarakat mencakup banyak aspek. Namun yang diukur dalam tes IQ kebanyakan adalah verbal Intelligence atau kemampuan berpikir secara akademik.

Jika demikian haruskah kita patah hati atau marah-marah saat melihat skor IQ yang rendah?

Weiten (2013) mengungkapkan bahwa selama ini ada miskonsepsi di masyarakat yang menganggap bahwa tes IQ mampu mengukur kemampuan mental manusia secara umum. Realitanya, tes IQ belum benar-benar mampu mengukur banyak aspek mental kita. Baru satu aspek yaitu berfokus pada penalaran abstrak dan kelancaran verbal yang sangat penting bagi kesuksesan akademik. Tes IQ belum mampu mencerminkan kemampuan sosial, keterampilan penyelesaian masalah, kecerdikan mekanik, kreativitas, juga kemampuan seni.

Oleh sebab itu tes IQ perlu disikapi secara proporsional. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Jika skor IQ yang dimilikinya rendah, kita tidak bisa semena-mena melabelnya dengan kata bodoh. Potensi akademiknya mungkin rendah, tetapi semoga ia punya kekuatan pada aspek lainnya.

Daripada resah dan gelisah lalu menyerah karena skor IQ rendah, lebih baik kita fokus menghargai dan mengerahkan upaya untuk menemukan dan mengasah potensi lainnya.

Referensi

Sternberg, R. J., Conway, B. E., Ketron, J. L., & Bernstein, M. (1981). People's conceptions of intelligence. Journal of Personality and Social Psychology, 41(1), 37–55. https://doi.org/10.1037/0022-3514.41.1.37

Weiten, W. (2013). Psychology Themes and Variation Ninth Edition. Belmont: Wadsworth

Friday, 22 May 2020

Kenapa Nggak Bisa Mikir Jernih?

Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash
Stuck!
Ada kalanya kita merasa jalan di tempat atau berputar-putar nggak jelas, sulit menemukan pintu keluar atau solusi dari masalah yang kita hadapi. Jangankan memecahkan masalah, terkadang kita bahkan sejak awal sudah sulit memahami masalah yang sebenarnya terjadi.

Masalahnya kita sering tidak menyadari faktor apa saja yang mempengaruhi kesalahan, bahkan kegagalan proses berpikir itu. Yuk, langsung saja kita pelajari bersama apa yang terjadi dengan diri kita saat nggak bisa mikir jernih! Memahami diri akan memudahkan kita mengenali kesalahan yang mungkin sedang terjadi, tanpa kita sadari.

Jadi, kenapa kita nggak bisa mikir jernih?

1. Mengalami Fiksasi

Fiksasi adalah keadaan saat kita tetap menggunakan strategi yang sama dengan yang pernah kita gunakan sebelumnya hingga gagal melihat masalah dengan sudut pandang atau perspektif yang baru.

Kadang-kadang kita berpikir bahwa suatu masalah sama dengan apa yang pernah kita alami sebelumya. Kesamaan yang kita tangkap dengan segera itu membuat kita jadi terburu-buru yakin bahwa solusinya sama dengan yang sebelumnya atau yang umum dilakukan oleh orang lain.

Terlalu yakin pada sebuah solusi bisa menjebak diri kita sendiri. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk mengambil jeda sejenak, meletakkan hal-hal yang terlalu kita yakini itu agar ada ruang bagi berkembangnya pemahaman dan ide baru.

2. Bias Konfirmasi

Bias konfirmasi disebut juga myside bias. Ini adalah kecenderungan mencari dan menggunakan ide-ide yang mendukung ide-ide kita. Kenapa kecenderungan ini bisa menjauhkan kita dari solusi yang tepat?

Bayangkan saat kamu punya masalah, misalnya sedang bertengkar dengan orangtua. Dalam pikiranmu, kamu merasa tidak punya salah. Merekalah yang selama ini terlalu sibuk sehingga tak pernah ada saat kamu butuh. Kamu merasa seharusnya orangtuamu minta maaf kepadamu dan kamu nggak perlu melakukan apa pun, karena kamu pikir kamu memang tak punya andil dalam masalah itu.

Lalu kamu meminta saran atau pendapat dari teman-temanmu tentang bagaimana menghadapi masalah ini. Dalam situasi tersebut, kita cenderung lebih mendengarkan saran teman yang sependapat dengan kita. Kita cenderung mencari pendapat yang menguatkan keyakinan kita sebelumnya.

Kalau kita tak segera menyadarinya, bukankah kita akan sulit membuka pikiran dan menemukan solusi yang sesuai?

3. Bias Refleksi (Hindsight Bias)

Adalah kondisi saat kita merasa sudah tahu tentang sesuatu, padahal tidak benar-benar tahu atau hanya tahu sedikit tentang sesuatu.

Misalnya ada teman yang mendapat nilai (IPK) sangat jelek saat kuliah. Hal itu membuat kita berpikir, “Wah, dia pasti sulit dapat kerja!”. Pemikiran seperti itu boleh dikatakan sebagai pemikiran yang sok tahu, yang salah satunya disebabkan oleh adanya bias refleksi.

Mungkin kita sering mendengar cerita dari orang di sekitar atau sering membaca di sosmed tentang sulitnya bersaing di dunia kerja dengan IPK rendah. Informasi itu membuat kita jadi terlalu yakin untuk menghakimi hidup orang lain yang ber-IPK rendah. Padahal kita tak benar-benar tahu apa saja yang dipertimbangkan dalam proses penerimaan karyawan. Kita mungkin juga tidak tahu, ternyata teman kita punya keterampilan langka yang membuat perusahaan mungkin tak peduli lagi berapa IPK-nya.

4. Pengabaian Nilai Dasar

Ini adalah kecenderungan saat kita mengabaikan informasi umum disebabkan oleh adanya informasi lain yang sangat spesifik dan jelas.

Contohnya saat kita ingin membeli tas ransel baru. Ada banyak sekali pilihan merek, model dan bahan tas ransel di pasaran. Kita jadi bingung menentukan pilihan. Kebingungan ini adalah contoh masalah sederhana dalam kehidupan kita kan?

Maka untuk menyelesaikan masalah itu kita mencoba mencari review produk berbagai tas ransel di internet. Sampailah kita pada sebuah merek (merek X) yang paling banyak direview dan paling banyak diakui kualitas juga keawetannya oleh banyak netizen.

Meski begitu kita masih ragu untuk membelinya. Harganya tidak murah, sehingga kita merasa perlu mencari penguatan dari orang lain untuk mengambil keputusan penting ini. Kita pun bertanya ke sahabat yang kita tahu memang sering gonta-ganti tas ransel. Sayangnya ternyata dia tidak menyarankan membeli tas merek X.

Menurut pengalamannya tas merek X cepat rusak, mudah sobek dan tidak nyaman jika dibawa bepergian dalam waktu lama. Dalam situasi seperti itu ada kecenderungan di pikiran kita untuk mengabaikan informasi umum yang disampaikan oleh banyak orang kemudian  lebih percaya pada informasi yang disampaikan teman kita, yang sifatnya lebih spesifik dan jelas.

Itulah beberapa hal yang patut kita sadari keberadaannya, yang mungkin menghambat pikiran atau membelokkan pengambilan keputusan. Gimana? Sudah lebih kenal dengan pikiran kita sendiri atau belum?

Semoga informasi ini bisa membantu kita berpikir lebih jernih, ya!

Thursday, 21 May 2020

Kenapa Jiwaku Sumpek?

Dulu sebagai anak SMA kita pikir kuliah itu… eh, ternyata…
Lalu kita pikir lulus, jadi sarjana dan kerja itu… eh, ternyata…
Kita kira hidup itu …, ternyata …

Sebagian pengalaman membuat kita merasa senang, sebagian lagi bikin sumpek. Kadang mudah menemukan penyebabnya, kadang kita sendiri bingung apa alasannya.  Sumpeknya jiwa bisa menimbulkan: kegelisahan, emosian, nangis tanpa sebab, tidur tak nyenyak, makan tak enak, sulit konsentrasi dll. Padahal Carl Gustav Jung mengatakan, “Seluruh dunia bergantung pada seutas benang. Benang itu adalah jiwanya manusia”. Artinya manusia punya tugas besar di dunia. Kalau jiwa kita sumpek, apa yang akan terjadi pada dunia?

Yuk, telusuri sebab sumpeknya jiwa, supaya lebih mudah mengelolanya!

Kenapa Jiwa Bisa Sumpek?

1. Kebanyakan Tolah-toleh

Social comparison theory menjelaskan, manusia cenderung menilai dirinya dengan cara membandingkan diri dengan orang lain. Di satu sisi itu menjadi sumber motivasi. Di sisi lain membandingkan diri dengan orang yang kita anggap lebih bisa menimbulkan rasa iri, menggerogoti kepercayaan diri, bahkan menyebabkan depresi.

Oleh karena itu sangat penting untuk tolah-toleh dengan dosis dan cara yang tepat. Jangan lupa mempertimbangkan bias atau potensi kekeliruan pada penilaian yang kita pikirkan. Sadari juga bahwa di balik pencapaian, ada perjuangan dan jungkir balik orang yang biasanya luput dari perhatian.

2. Ada Konsep dalam Kepala yang Tak Sejalan dengan Praktiknya

Kita tahu bahwa skripsi harusnya dihadapi, tapi malah ditinggal ngopi atau main PUBG.
Kita ngerti bahwa sukses butuh perjuangan, tapi kenyataannya kita bertahan dalam penundaan, keluhan dan kemalasan.  
Kita paham kebencian tak pernah membawa kebahagiaan, tapi masih saja menyimpan bahkan mengulangnya dalam pikiran.

Di sanalah self awareness akan menyapa. Melaksanakan tugasnya membandingkan diri kita yang seharusnya dengan diri kita kenyataannya, yang ternyata banyak bedanya. Tentu saja, tidak nyaman rasanya. Solusinya?

Mari berproses mengusahakan agar pemahaman sejalan dengan pelaksanaan. Bertindak sesuai panggilan kebenaran, mengikuti penasihat terbaik bernama kesadaran.

3. Mengingkari atau Memendam Emosi

Penelitian menyebutkan bahwa supresi (secara sadar menekan emosi) justru membuat kita merasa semakin tertekan. Namun melampiaskan perasaan secara ugal-ugalan, juga berisiko memperbesar intensitas emosi yang dirasakan. Maka penting untuk belajar menghadapi bukan menghindari, serta memilih cara yang tepat untuk mengekspresikan emosi.

Dalam ABC (Antecedent-Belief-Consequence) Model, Albert Ellis menjelaskan bahwa perasaan tidak nyaman bukan disebabkan oleh apa yang terjadi, melainkan oleh penilaian kita terhadap situasi. Sehingga mengubah cara pandang bisa dipilih sebagai strategi menghadapi emosi. Sedangkan mengurangi beban perasaan bisa dilakukan dengan bercerita kepada orang lain atau dengan menuliskan segala keresahan.

4. Belum Mengenali Diri Sendiri

Manusia punya kebutuhan melakukan aktualisasi diri. Sumpek salah satunya bisa terjadi karena banyak potensi kita miliki, namun belum terealisasi. Entah karena memang belum mencari atau kurang berani mengeksekusi.

Kenalan sama diri sendiri juga berarti memahami kemanusiaan kita. Menerima bahwa manusia punya potensi positif dan negatif, punya banyak pilihan dan kekuatan, tetapi juga punya banyak keterbatasan. Sehingga tidak semua hal bisa kita kendalikan dan berjalan tepat sesuai keinginan. Maka membenturkan antara keinginan dan kenyataan yang tak sesuai harapan, selamanya akan berujung kegalauan.

“Tuhan, berilah aku keikhlasan untuk menerima segala yang tak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah segala yang bisa kuubah dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya”. -Reinhold Niebuhr-

Model ABC Reaksi Emosi Albert Ellis

Model ABC

Emosi adalah komponen penting yang kita miliki sebagai manusia. Komputer tidak punya emosi. Robot juga tidak punya emosi. Meski kamu memukul laptop atau televisimu, mereka tidak akan memarahimu atau menangis di hadapanmu. Namun jika kamu mencubit temanmu, berbohong pada mereka tentang sesuatu, membicarakan keburukannya dengan orang lain, menghilangkan buku kesayangan miliknya, mungkin semua itu akan membuatnya ngomel-ngomel atau sebaliknya, mendiamkanmu selama berhari-hari lamanya.


Perilaku tersebut didasari oleh emosi yang manusia miliki. Temanmu tentu saja merasa sedih, marah dan kecewa terhadapmu. Perasaan-perasaan tak nyaman itulah yang membuatnya berperilaku berbeda dibanding hari biasanya. Sebagian orang menjadi reaktif saat sedang emosi.

Ada yang langsung mengumpat, langsung memukul, langsung mencak-mencak enggak terima, tetapi ada juga yang bisa menahan dirinya dan lebih tenang dibanding orang lainnya. Terkadang manusia bahkan merespon sesuatu yang tidak menyenangkan baginya secara berlebihan.

Ibaratnya kehilangan uang Rp 50.000 tetapi bisa saja sedihnya sudah seperti kehilangan Rp 500.000. Diganggu adik lima menit tetapi marah-marahnya bertahan sampai 50 menit bahkan 5 jam. Kamu termasuk yang mana? Misalnya jika tiba-tiba dipecat, atau kamu kehilangan dompet, dijewer teman, ditegur orangtua, reaksi seperti apa yang muncul darimu? Apakah reaksimu tepat sesuai porsinya atau justru lebih dari seharusnya?

Albert Ellis menjelaskan bahwa manusia sebenarnya menjadi bersumbu pendek saat menghadapi situasi yang penuh tekanan akibat pemikiran mereka sendiri. Kita gampang tersulut atau memunculkan respon emosi yang lebay dalam tekanan karena ada keyakinan/anggapan yang tidak tepat. Ellis menekankan bahwa respon emosi yang kita rasakan bukan ditentukan oleh apa yang terjadi, melainkan penilaian kita terhadap situasi.

Menurut Albert Ellis, apa yang terjadi (seburuk apa pun situasinya) itu sifatnya netral. Kitalah yang menilai apakah kejadian itu baik atau buruk, kita juga yang berpikir jauh tentang apakah dampaknya akan baik atau buruk bagi hidup kita.

Saat kita berpikir atau menilai bahwa sebuah situasi adalah hal yang negatif, saat itulah muncul perasaan tidak nyaman seperti marah, sedih, dan tersakiti.  Sebaliknya jika kita berpikir, menilai atau menganggap sebuah situasi adalah hal yang positif, saat itulah muncul perasaan nyaman, tenang, lega bahkan bahagia.

Albert Ellis mengatakan, you feel the way you think. Apa yang kita rasakan tergantung pada apa yang kita pikirkan. Reaksi emosi yang tidak tepat disebabkan oleh perkataan negatif kita terhadap diri kita sendiri (negative self talk), yang disebut catasthropic thinking.

Catasthropic thinking adalah penilaian yang negatif dan pesimistis terhadap situasi, yang melebih-lebihkan atau membesar-besarkan masalah yang kita hadapi. Secara tidak sadar kita menganggap bahwa situasi buruklah yang membuat emosi kita terguncang. Padahal sebab sebenarnya, penilaian kitalah yang terlalu buruk terhadap situasi. Konsep itulah yang dijelaskan dalam model reaksi emosi ABC.

Model ABC adalah singkatan dari Activating event (kejadian yang menekan kita), Belief system (penilaian/pemikiran kita tentang kejadian itu) dan Consequence (apa yang kita rasakan terhadap kejadian). Umumnya selama ini kita menganggap bahwa apa yang kita rasakan hanya ditentukan oleh Activating event yang langsung memunculkan Consequence. Di situlah Albert Ellis menambahkan komponen B yaitu Belief system di tengah-tengahnya, yang berarti bahwa pemikiran kitalah yang menentukan emosi/perasaan terhadap situasi.

Dengan kata lain, manusia bisa kok mengendalikan emosi. Bukan situasi buruk yang langsung mempengaruhi atau mengendalikan emosi kita, namun cara berpikir kitalah yang akan menentukannya.

Contohnya saat kamu disuruh maju ke depan kelas untuk menjelaskan sesuatu di depan teman-temanmu, ternyata kamu gagal melakukannya. Teman-temanmu menertawakanmu. Kondisi itu membuatmu merasa tertekan. Itulah Activating event.

Saat teman-teman menertawakanmu, kamu berpikir: “Duh! Tamat sudah riwayatku! Jatuh harga diriku! Malu-maluin banget sih aku! Aku emang bodoh. Masak gini doang enggak bisa! Aku memang nggak bisa diandalkan. Pasti besok-besok kalau ada tugas kelompok untuk presentasi, nggak akan ada yang mau satu kelompok sama aku”. Inilah Belief system yang tidak masuk akal (irrational belief) yang menimbulkan ketidaknyamanan perasaan.

Siapa yang mengucap kalimat-kalimat negatif itu? Apakah teman-teman? Tentu saja bukan. Teman-teman hanya tertawa. Kitalah yang berkata negatif di dalam kepala kepada diri kita. Lalu pemikiran itu membuat kita merasa sedih, malu, dan gelisah. Perasaan-perasaan inilah yang disebut sebagai Consequence.

Albert Ellis juga menjelaskan bahwa jika kita mau menelusuri, catasthropic thinking timbul akibat kita punya logika berpikir yang keliru, tetapi secara tidak sadar kita pertahankan dengan penuh keyakinan. Misalnya anak yang ditertawakan teman-temannya lalu berpikir buruk tentang dirinya pada contoh di atas.

Itu sebenarnya didasari oleh logika yang salah pada dirinya yaitu, ia berpikir: seharusnya bisa tampil dengan baik di mana saja dan kapan saja (padahal manusia wajar-wajar saja jika tidak selalu sempurna), ia berpikir bahwa manusia harus mampu dalam segala hal (faktanya beberapa hal kita mampu melakukan secara alami tetapi beberapa yang lainnya perlu proses belajar). Ia mungkin juga meyakini bahwa bicara di depan umum itu sepele (padahal nyatanya tidak) dan berbagai logika keliru lain yang akhirnya membuat dirinya sendiri sulit mentolerir apa yang dialami.

Yuk, kita berkaca pada diri masing-masing! Jika hari ini masih ada perasaan-perasaan buruk yang mengganggu, coba telusuri! Mungkin ada keyakinan yang keliru di dalam pikiranmu. Segera benahi agar perasaanmu lebih lega dan lebih mudah bahagia.