Sayangnya ada asumsi-asumsi tentang menjadi bahagia yang masih dipercaya meski tak terbukti kebenarnnya. Akibatnya? Tentu saja manusia merasa semakin tersiksa saat tidak berhasil menggenggamnya. Berikut adalah review salah satu hasil penelitian yang patut kita renungkan seputar harta dan rasa bahagia.
Dengan uang kita bisa membeli apa saja yang kita suka. Mulai dari makanan, pakaian, rumah, hingga mobil idaman. Beberapa orang mengatakan, “Aku pasti seneng banget deh kalau punya …”, “Enak ya jadi orang kaya, mau ngapain aja bisa”, “Coba aja aku punya … pasti hidup lebih nikmat rasanya”.
Benarkah harta memang ada hubungannya dengan kebahagiaan?
Penelitian yang dilakukan oleh Quodibach, dkk (2010) terhadap 351 orang di Belgia, menemukan bahwa kekayaan justru membuat orang semakin sulit bahagia. Hal itu disebabkan karena semakin tinggi jumlah kekayaan, semakin rendah kemampuan orang menikmati kehidupan. Tanpa disadari kekayaan justru menurunkan kemampuan untuk merasakan kenikmatan terhadap hal kecil yang sebenarnya juga bisa membahagiakan.
Bagaimana contohnya? Dalam penelitian tersebut partisipan penelitian awalnya diminta untuk membayangkan pengalaman saat berhasil menyelesaikan pekerjaan, pergi jalan-jalan romantis bersama pasangan di akhir pekan, menemukan air terjun yang indah saat sedang mendaki gunung dan sebagainya.
Setelah membayangkan, mereka diminta menentukan kira-kira hal apa yang akan mereka lakukan jika mengalaminya. Apakah akan menunjukkan rasa senangnya saat itu, mengingat pengalaman itu, menceritakan kepada orang lain dan sebagainya. Respon yang berbeda-beda ini menunjukkan derajat yang berbeda dalam menikmati momen-momen yang dibayangkan tersebut. Hasilnya diketahui bahwa orang yang punya kekayaan lebih besar cenderung lebih rendah kemampuannya menikmati pengalaman, dengan kata lain mereka lebih sulit dibahagiakan.
Masih dalam penelitian yang sama, partisipan diminta untuk makan coklat setelah menjawab kuesioner berisi pertanyaan demografis, termasuk pertanyaan tentang berapa jumlah kekayaan yang mereka miliki saat itu. Hasilnya orang yang memiliki harta lebih besar cenderung lebih cepat menghabiskan coklatnya dan kurang terlihat ekspresi senangnya saat makan coklat, dibandingkan dengan partisipan lain yang hartanya lebih sedikit.
Apa yang bisa dimaknai dari hasil penelitian itu? Semakin besar harta yang dimiliki ternyata semakin rendah kemampuan orang menikmati kesenangan kecil dalam hidup sehari-hari. Makan coklat adalah contoh kegiatan sederhana yang biasa kita alami. Meski biasa, jika kita mampu menikmatinya tentu akan lebih besar bahagia yang kita rasa. Bayangkan jika kita mampu menikmati setiap hal kecil dalam hidup, bukankah kebahagiaan (yang mungkin kita cari ke sana ke mari) itu sebenarnya sudah ada dalam genggaman?
Makan steak di restoran terasa sangat istimewa dan membahagiakan bagi seorang tukang becak. Ia mungkin akan menceritakan pengalaman itu kepada teman-temannya dengan wajah gembira dan masih mengingat betapa nikmatnya berhari-hari setelahnya. Namun tidak demikian bagi seorang bos kaya raya. Si bos menganggap makan steak itu biasa saja (sama biasanya dengan perasaan tukang becak memakan nasi berlauk ikan asin). Jadi siapa sebenarnya yang lebih bahagia di antara mereka?
Bagaimana dengan dirimu? Apakah Kamu termasuk orang yang mudah merasa bahagia? Apakah Kamu orang yang mudah dibahagiakan?
Selain penelitian yang sudah dijelaskan di atas masih banyak riset lain yang perlu kita telusuri agar tak salah persepsi tentang menjadi bahagia. Link artikel selanjutnya akan saya cantumkan di sini jika sudah posting. Terima kasih sudah membaca!
Referensi
Quoidbach, J., Dunn, E. W., Petrides, K. V., & Mikolajczak, M. (2010). Money Giveth, Money Taketh Away. Psychological Science, 21(6), 759–763. doi:10.1177/0956797610371963
0 comments:
Post a Comment