Lalu kita pikir lulus, jadi sarjana dan kerja itu… eh, ternyata…
Kita kira hidup itu …, ternyata …
Sebagian pengalaman membuat kita merasa senang, sebagian
lagi bikin sumpek. Kadang mudah menemukan penyebabnya, kadang
kita sendiri bingung apa alasannya. Sumpeknya
jiwa bisa menimbulkan: kegelisahan, emosian, nangis tanpa sebab, tidur tak
nyenyak, makan tak enak, sulit konsentrasi dll. Padahal Carl Gustav Jung mengatakan,
“Seluruh dunia bergantung pada seutas benang. Benang itu adalah jiwanya manusia”.
Artinya manusia punya tugas besar di dunia. Kalau jiwa kita sumpek, apa
yang akan terjadi pada dunia?
Yuk, telusuri sebab sumpeknya jiwa, supaya lebih
mudah mengelolanya!
Kenapa Jiwa Bisa Sumpek?
1. Kebanyakan Tolah-toleh
Social comparison theory menjelaskan,
manusia cenderung menilai dirinya dengan cara membandingkan diri dengan orang
lain. Di satu sisi itu menjadi sumber motivasi. Di sisi lain membandingkan diri
dengan orang yang kita anggap lebih bisa menimbulkan rasa iri, menggerogoti
kepercayaan diri, bahkan menyebabkan depresi.
Oleh karena itu sangat penting untuk tolah-toleh dengan
dosis dan cara yang tepat. Jangan lupa mempertimbangkan bias atau potensi
kekeliruan pada penilaian yang kita pikirkan. Sadari juga bahwa di balik
pencapaian, ada perjuangan dan jungkir balik orang yang biasanya luput dari
perhatian.
2. Ada Konsep dalam
Kepala yang Tak Sejalan dengan Praktiknya
Kita tahu
bahwa skripsi harusnya dihadapi, tapi malah ditinggal ngopi atau
main PUBG.
Kita ngerti
bahwa sukses butuh perjuangan, tapi kenyataannya kita bertahan dalam
penundaan, keluhan dan kemalasan.
Kita paham kebencian
tak pernah membawa kebahagiaan, tapi masih saja menyimpan bahkan
mengulangnya dalam pikiran.
Di sanalah self awareness akan menyapa. Melaksanakan
tugasnya membandingkan diri kita yang seharusnya dengan diri kita kenyataannya,
yang ternyata banyak bedanya. Tentu saja, tidak nyaman rasanya. Solusinya?
Mari berproses mengusahakan agar pemahaman sejalan dengan
pelaksanaan. Bertindak sesuai panggilan kebenaran, mengikuti penasihat terbaik
bernama kesadaran.
3. Mengingkari atau
Memendam Emosi
Penelitian
menyebutkan bahwa supresi (secara sadar menekan emosi) justru membuat kita
merasa semakin tertekan. Namun melampiaskan perasaan secara ugal-ugalan,
juga berisiko memperbesar intensitas emosi yang dirasakan. Maka penting untuk
belajar menghadapi bukan menghindari, serta memilih cara yang tepat untuk mengekspresikan
emosi.
Dalam
ABC (Antecedent-Belief-Consequence) Model, Albert Ellis menjelaskan bahwa
perasaan tidak nyaman bukan disebabkan oleh apa yang terjadi, melainkan oleh
penilaian kita terhadap situasi. Sehingga mengubah cara pandang bisa dipilih
sebagai strategi menghadapi emosi. Sedangkan mengurangi beban perasaan bisa
dilakukan dengan bercerita kepada orang lain atau dengan menuliskan segala
keresahan.
4. Belum Mengenali Diri
Sendiri
Manusia punya kebutuhan melakukan aktualisasi diri. Sumpek
salah satunya bisa terjadi karena banyak potensi kita miliki, namun belum
terealisasi. Entah karena memang belum mencari atau kurang berani mengeksekusi.
Kenalan sama diri sendiri juga berarti memahami kemanusiaan
kita. Menerima bahwa manusia punya potensi positif dan negatif, punya banyak
pilihan dan kekuatan, tetapi juga punya banyak keterbatasan. Sehingga tidak
semua hal bisa kita kendalikan dan berjalan tepat sesuai keinginan. Maka
membenturkan antara keinginan dan kenyataan yang tak sesuai harapan, selamanya
akan berujung kegalauan.
“Tuhan, berilah aku keikhlasan untuk menerima
segala yang tak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah segala yang bisa kuubah
dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya”. -Reinhold
Niebuhr-
0 comments:
Post a Comment