Thursday 21 May 2020

Kenapa Jiwaku Sumpek?

Dulu sebagai anak SMA kita pikir kuliah itu… eh, ternyata…
Lalu kita pikir lulus, jadi sarjana dan kerja itu… eh, ternyata…
Kita kira hidup itu …, ternyata …

Sebagian pengalaman membuat kita merasa senang, sebagian lagi bikin sumpek. Kadang mudah menemukan penyebabnya, kadang kita sendiri bingung apa alasannya.  Sumpeknya jiwa bisa menimbulkan: kegelisahan, emosian, nangis tanpa sebab, tidur tak nyenyak, makan tak enak, sulit konsentrasi dll. Padahal Carl Gustav Jung mengatakan, “Seluruh dunia bergantung pada seutas benang. Benang itu adalah jiwanya manusia”. Artinya manusia punya tugas besar di dunia. Kalau jiwa kita sumpek, apa yang akan terjadi pada dunia?

Yuk, telusuri sebab sumpeknya jiwa, supaya lebih mudah mengelolanya!

Kenapa Jiwa Bisa Sumpek?

1. Kebanyakan Tolah-toleh

Social comparison theory menjelaskan, manusia cenderung menilai dirinya dengan cara membandingkan diri dengan orang lain. Di satu sisi itu menjadi sumber motivasi. Di sisi lain membandingkan diri dengan orang yang kita anggap lebih bisa menimbulkan rasa iri, menggerogoti kepercayaan diri, bahkan menyebabkan depresi.

Oleh karena itu sangat penting untuk tolah-toleh dengan dosis dan cara yang tepat. Jangan lupa mempertimbangkan bias atau potensi kekeliruan pada penilaian yang kita pikirkan. Sadari juga bahwa di balik pencapaian, ada perjuangan dan jungkir balik orang yang biasanya luput dari perhatian.

2. Ada Konsep dalam Kepala yang Tak Sejalan dengan Praktiknya

Kita tahu bahwa skripsi harusnya dihadapi, tapi malah ditinggal ngopi atau main PUBG.
Kita ngerti bahwa sukses butuh perjuangan, tapi kenyataannya kita bertahan dalam penundaan, keluhan dan kemalasan.  
Kita paham kebencian tak pernah membawa kebahagiaan, tapi masih saja menyimpan bahkan mengulangnya dalam pikiran.

Di sanalah self awareness akan menyapa. Melaksanakan tugasnya membandingkan diri kita yang seharusnya dengan diri kita kenyataannya, yang ternyata banyak bedanya. Tentu saja, tidak nyaman rasanya. Solusinya?

Mari berproses mengusahakan agar pemahaman sejalan dengan pelaksanaan. Bertindak sesuai panggilan kebenaran, mengikuti penasihat terbaik bernama kesadaran.

3. Mengingkari atau Memendam Emosi

Penelitian menyebutkan bahwa supresi (secara sadar menekan emosi) justru membuat kita merasa semakin tertekan. Namun melampiaskan perasaan secara ugal-ugalan, juga berisiko memperbesar intensitas emosi yang dirasakan. Maka penting untuk belajar menghadapi bukan menghindari, serta memilih cara yang tepat untuk mengekspresikan emosi.

Dalam ABC (Antecedent-Belief-Consequence) Model, Albert Ellis menjelaskan bahwa perasaan tidak nyaman bukan disebabkan oleh apa yang terjadi, melainkan oleh penilaian kita terhadap situasi. Sehingga mengubah cara pandang bisa dipilih sebagai strategi menghadapi emosi. Sedangkan mengurangi beban perasaan bisa dilakukan dengan bercerita kepada orang lain atau dengan menuliskan segala keresahan.

4. Belum Mengenali Diri Sendiri

Manusia punya kebutuhan melakukan aktualisasi diri. Sumpek salah satunya bisa terjadi karena banyak potensi kita miliki, namun belum terealisasi. Entah karena memang belum mencari atau kurang berani mengeksekusi.

Kenalan sama diri sendiri juga berarti memahami kemanusiaan kita. Menerima bahwa manusia punya potensi positif dan negatif, punya banyak pilihan dan kekuatan, tetapi juga punya banyak keterbatasan. Sehingga tidak semua hal bisa kita kendalikan dan berjalan tepat sesuai keinginan. Maka membenturkan antara keinginan dan kenyataan yang tak sesuai harapan, selamanya akan berujung kegalauan.

“Tuhan, berilah aku keikhlasan untuk menerima segala yang tak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah segala yang bisa kuubah dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya”. -Reinhold Niebuhr-

0 comments:

Post a Comment