Model ABC |
Emosi adalah komponen penting yang kita miliki sebagai
manusia. Komputer tidak punya emosi. Robot juga tidak punya emosi. Meski kamu
memukul laptop atau televisimu, mereka tidak akan memarahimu atau menangis di hadapanmu.
Namun jika kamu mencubit temanmu, berbohong pada mereka tentang sesuatu, membicarakan
keburukannya dengan orang lain, menghilangkan buku kesayangan miliknya, mungkin
semua itu akan membuatnya ngomel-ngomel atau sebaliknya, mendiamkanmu
selama berhari-hari lamanya.
Perilaku tersebut didasari oleh emosi yang manusia miliki. Temanmu
tentu saja merasa sedih, marah dan kecewa terhadapmu. Perasaan-perasaan tak
nyaman itulah yang membuatnya berperilaku berbeda dibanding hari biasanya. Sebagian
orang menjadi reaktif saat sedang emosi.
Ada yang langsung mengumpat, langsung memukul, langsung mencak-mencak
enggak terima, tetapi ada juga yang bisa menahan dirinya dan lebih tenang
dibanding orang lainnya. Terkadang manusia bahkan merespon sesuatu yang tidak
menyenangkan baginya secara berlebihan.
Ibaratnya kehilangan uang Rp 50.000 tetapi bisa saja
sedihnya sudah seperti kehilangan Rp 500.000. Diganggu adik lima menit tetapi
marah-marahnya bertahan sampai 50 menit bahkan 5 jam. Kamu termasuk yang mana?
Misalnya jika tiba-tiba dipecat, atau kamu kehilangan dompet, dijewer teman,
ditegur orangtua, reaksi seperti apa yang muncul darimu? Apakah reaksimu tepat
sesuai porsinya atau justru lebih dari seharusnya?
Albert Ellis menjelaskan bahwa manusia sebenarnya menjadi
bersumbu pendek saat menghadapi situasi yang penuh tekanan akibat pemikiran
mereka sendiri. Kita gampang tersulut atau memunculkan respon emosi yang
lebay dalam tekanan karena ada keyakinan/anggapan yang tidak tepat. Ellis
menekankan bahwa respon emosi yang kita rasakan bukan ditentukan oleh apa yang
terjadi, melainkan penilaian kita terhadap situasi.
Menurut Albert Ellis, apa yang terjadi (seburuk apa pun
situasinya) itu sifatnya netral. Kitalah yang menilai apakah kejadian itu baik
atau buruk, kita juga yang berpikir jauh tentang apakah dampaknya akan baik
atau buruk bagi hidup kita.
Saat kita berpikir atau menilai bahwa sebuah situasi adalah
hal yang negatif, saat itulah muncul perasaan tidak nyaman seperti marah,
sedih, dan tersakiti. Sebaliknya jika kita
berpikir, menilai atau menganggap sebuah situasi adalah hal yang positif, saat
itulah muncul perasaan nyaman, tenang, lega bahkan bahagia.
Albert Ellis mengatakan, you feel the way you think. Apa
yang kita rasakan tergantung pada apa yang kita pikirkan. Reaksi emosi yang tidak
tepat disebabkan oleh perkataan negatif kita terhadap diri kita sendiri (negative
self talk), yang disebut catasthropic thinking.
Catasthropic thinking adalah penilaian yang negatif
dan pesimistis terhadap situasi, yang melebih-lebihkan atau membesar-besarkan
masalah yang kita hadapi. Secara tidak sadar kita menganggap bahwa situasi
buruklah yang membuat emosi kita terguncang. Padahal sebab sebenarnya,
penilaian kitalah yang terlalu buruk terhadap situasi. Konsep itulah yang dijelaskan
dalam model reaksi emosi ABC.
Model ABC adalah singkatan dari Activating
event (kejadian yang menekan kita), Belief system (penilaian/pemikiran
kita tentang kejadian itu) dan Consequence (apa yang kita rasakan
terhadap kejadian). Umumnya selama ini kita menganggap bahwa apa yang
kita rasakan hanya ditentukan oleh Activating event yang
langsung memunculkan Consequence. Di situlah Albert Ellis
menambahkan komponen B yaitu Belief system di
tengah-tengahnya, yang berarti bahwa pemikiran kitalah yang menentukan
emosi/perasaan terhadap situasi.
Dengan kata lain, manusia bisa kok mengendalikan
emosi. Bukan situasi buruk yang langsung mempengaruhi atau mengendalikan emosi
kita, namun cara berpikir kitalah yang akan menentukannya.
Contohnya saat kamu disuruh maju ke
depan kelas untuk menjelaskan sesuatu di depan teman-temanmu, ternyata kamu
gagal melakukannya. Teman-temanmu menertawakanmu. Kondisi itu membuatmu merasa
tertekan. Itulah Activating event.
Saat teman-teman menertawakanmu,
kamu berpikir: “Duh! Tamat sudah riwayatku! Jatuh harga diriku! Malu-maluin
banget sih aku! Aku emang bodoh. Masak gini doang enggak bisa! Aku memang nggak
bisa diandalkan. Pasti besok-besok kalau ada tugas kelompok untuk presentasi,
nggak akan ada yang mau satu kelompok sama aku”. Inilah Belief
system yang tidak masuk akal (irrational belief) yang menimbulkan
ketidaknyamanan perasaan.
Siapa yang mengucap kalimat-kalimat
negatif itu? Apakah teman-teman? Tentu saja bukan. Teman-teman hanya tertawa.
Kitalah yang berkata negatif di dalam kepala kepada diri kita. Lalu pemikiran
itu membuat kita merasa sedih, malu, dan gelisah. Perasaan-perasaan inilah yang
disebut sebagai Consequence.
Albert Ellis juga menjelaskan bahwa
jika kita mau menelusuri, catasthropic thinking timbul akibat kita punya
logika berpikir yang keliru, tetapi secara tidak sadar kita pertahankan dengan
penuh keyakinan. Misalnya anak yang ditertawakan teman-temannya lalu berpikir
buruk tentang dirinya pada contoh di atas.
Itu sebenarnya didasari oleh logika
yang salah pada dirinya yaitu, ia berpikir: seharusnya bisa tampil dengan baik
di mana saja dan kapan saja (padahal manusia wajar-wajar saja jika tidak selalu
sempurna), ia berpikir bahwa manusia harus mampu dalam segala hal (faktanya
beberapa hal kita mampu melakukan secara alami tetapi beberapa yang lainnya
perlu proses belajar). Ia mungkin juga meyakini bahwa bicara di depan umum itu
sepele (padahal nyatanya tidak) dan berbagai logika keliru lain yang akhirnya
membuat dirinya sendiri sulit mentolerir apa yang dialami.
Yuk, kita berkaca pada diri masing-masing! Jika hari ini
masih ada perasaan-perasaan buruk yang mengganggu, coba telusuri! Mungkin ada
keyakinan yang keliru di dalam pikiranmu. Segera benahi agar perasaanmu lebih
lega dan lebih mudah bahagia.
0 comments:
Post a Comment