Thursday, 21 May 2020

Model ABC Reaksi Emosi Albert Ellis

Model ABC

Emosi adalah komponen penting yang kita miliki sebagai manusia. Komputer tidak punya emosi. Robot juga tidak punya emosi. Meski kamu memukul laptop atau televisimu, mereka tidak akan memarahimu atau menangis di hadapanmu. Namun jika kamu mencubit temanmu, berbohong pada mereka tentang sesuatu, membicarakan keburukannya dengan orang lain, menghilangkan buku kesayangan miliknya, mungkin semua itu akan membuatnya ngomel-ngomel atau sebaliknya, mendiamkanmu selama berhari-hari lamanya.


Perilaku tersebut didasari oleh emosi yang manusia miliki. Temanmu tentu saja merasa sedih, marah dan kecewa terhadapmu. Perasaan-perasaan tak nyaman itulah yang membuatnya berperilaku berbeda dibanding hari biasanya. Sebagian orang menjadi reaktif saat sedang emosi.

Ada yang langsung mengumpat, langsung memukul, langsung mencak-mencak enggak terima, tetapi ada juga yang bisa menahan dirinya dan lebih tenang dibanding orang lainnya. Terkadang manusia bahkan merespon sesuatu yang tidak menyenangkan baginya secara berlebihan.

Ibaratnya kehilangan uang Rp 50.000 tetapi bisa saja sedihnya sudah seperti kehilangan Rp 500.000. Diganggu adik lima menit tetapi marah-marahnya bertahan sampai 50 menit bahkan 5 jam. Kamu termasuk yang mana? Misalnya jika tiba-tiba dipecat, atau kamu kehilangan dompet, dijewer teman, ditegur orangtua, reaksi seperti apa yang muncul darimu? Apakah reaksimu tepat sesuai porsinya atau justru lebih dari seharusnya?

Albert Ellis menjelaskan bahwa manusia sebenarnya menjadi bersumbu pendek saat menghadapi situasi yang penuh tekanan akibat pemikiran mereka sendiri. Kita gampang tersulut atau memunculkan respon emosi yang lebay dalam tekanan karena ada keyakinan/anggapan yang tidak tepat. Ellis menekankan bahwa respon emosi yang kita rasakan bukan ditentukan oleh apa yang terjadi, melainkan penilaian kita terhadap situasi.

Menurut Albert Ellis, apa yang terjadi (seburuk apa pun situasinya) itu sifatnya netral. Kitalah yang menilai apakah kejadian itu baik atau buruk, kita juga yang berpikir jauh tentang apakah dampaknya akan baik atau buruk bagi hidup kita.

Saat kita berpikir atau menilai bahwa sebuah situasi adalah hal yang negatif, saat itulah muncul perasaan tidak nyaman seperti marah, sedih, dan tersakiti.  Sebaliknya jika kita berpikir, menilai atau menganggap sebuah situasi adalah hal yang positif, saat itulah muncul perasaan nyaman, tenang, lega bahkan bahagia.

Albert Ellis mengatakan, you feel the way you think. Apa yang kita rasakan tergantung pada apa yang kita pikirkan. Reaksi emosi yang tidak tepat disebabkan oleh perkataan negatif kita terhadap diri kita sendiri (negative self talk), yang disebut catasthropic thinking.

Catasthropic thinking adalah penilaian yang negatif dan pesimistis terhadap situasi, yang melebih-lebihkan atau membesar-besarkan masalah yang kita hadapi. Secara tidak sadar kita menganggap bahwa situasi buruklah yang membuat emosi kita terguncang. Padahal sebab sebenarnya, penilaian kitalah yang terlalu buruk terhadap situasi. Konsep itulah yang dijelaskan dalam model reaksi emosi ABC.

Model ABC adalah singkatan dari Activating event (kejadian yang menekan kita), Belief system (penilaian/pemikiran kita tentang kejadian itu) dan Consequence (apa yang kita rasakan terhadap kejadian). Umumnya selama ini kita menganggap bahwa apa yang kita rasakan hanya ditentukan oleh Activating event yang langsung memunculkan Consequence. Di situlah Albert Ellis menambahkan komponen B yaitu Belief system di tengah-tengahnya, yang berarti bahwa pemikiran kitalah yang menentukan emosi/perasaan terhadap situasi.

Dengan kata lain, manusia bisa kok mengendalikan emosi. Bukan situasi buruk yang langsung mempengaruhi atau mengendalikan emosi kita, namun cara berpikir kitalah yang akan menentukannya.

Contohnya saat kamu disuruh maju ke depan kelas untuk menjelaskan sesuatu di depan teman-temanmu, ternyata kamu gagal melakukannya. Teman-temanmu menertawakanmu. Kondisi itu membuatmu merasa tertekan. Itulah Activating event.

Saat teman-teman menertawakanmu, kamu berpikir: “Duh! Tamat sudah riwayatku! Jatuh harga diriku! Malu-maluin banget sih aku! Aku emang bodoh. Masak gini doang enggak bisa! Aku memang nggak bisa diandalkan. Pasti besok-besok kalau ada tugas kelompok untuk presentasi, nggak akan ada yang mau satu kelompok sama aku”. Inilah Belief system yang tidak masuk akal (irrational belief) yang menimbulkan ketidaknyamanan perasaan.

Siapa yang mengucap kalimat-kalimat negatif itu? Apakah teman-teman? Tentu saja bukan. Teman-teman hanya tertawa. Kitalah yang berkata negatif di dalam kepala kepada diri kita. Lalu pemikiran itu membuat kita merasa sedih, malu, dan gelisah. Perasaan-perasaan inilah yang disebut sebagai Consequence.

Albert Ellis juga menjelaskan bahwa jika kita mau menelusuri, catasthropic thinking timbul akibat kita punya logika berpikir yang keliru, tetapi secara tidak sadar kita pertahankan dengan penuh keyakinan. Misalnya anak yang ditertawakan teman-temannya lalu berpikir buruk tentang dirinya pada contoh di atas.

Itu sebenarnya didasari oleh logika yang salah pada dirinya yaitu, ia berpikir: seharusnya bisa tampil dengan baik di mana saja dan kapan saja (padahal manusia wajar-wajar saja jika tidak selalu sempurna), ia berpikir bahwa manusia harus mampu dalam segala hal (faktanya beberapa hal kita mampu melakukan secara alami tetapi beberapa yang lainnya perlu proses belajar). Ia mungkin juga meyakini bahwa bicara di depan umum itu sepele (padahal nyatanya tidak) dan berbagai logika keliru lain yang akhirnya membuat dirinya sendiri sulit mentolerir apa yang dialami.

Yuk, kita berkaca pada diri masing-masing! Jika hari ini masih ada perasaan-perasaan buruk yang mengganggu, coba telusuri! Mungkin ada keyakinan yang keliru di dalam pikiranmu. Segera benahi agar perasaanmu lebih lega dan lebih mudah bahagia.

0 comments:

Post a Comment