Kebahagiaan mencakup dua aspek yaitu pikiran (kognitif) dan
emosi (perasaan). Secara kognitif kebahagiaan dicerminkan oleh sejauh mana
orang puas terhadap kehidupan yang dijalaninya serta sejauh mana ia menganggap
bahwa hidupnya bermakna. Sedangkan secara perasaan, kebahagiaan diartikan
sebagai hadirnya perasaan positif yaitu rasa senang atau gembira, serta
ketiadaan emosi negatif seperti sedih, takut dan marah.
Saat ingin mencapai kebahagiaan, biasanya kita juga berusaha
keras untuk menghindari atau mengingkari perasaan-perasaan negatif. Salah satu
contohnya, saat kita menghadapi situasi yang menimbulkan perasaan sedih,
biasanya kita akan bergulat dengan ketidaknyamanan atau konflik di dalam batin
dengan mengatakan kepada diri sendiri, “Aku nggak boleh sedih!”, “Aku nggak
boleh nangis!”
Apakah itu adalah langkah yang tepat untuk terus kita
lakukan? Apakah bersedih berarti bahwa hidup kita tak bahagia? Apakah kita
memang wajib memburu kebahagiaan?
Kebahagiaan ternyata juga memiliki sisi gelap yang perlu diperhatikan
supaya hidup kita terhindar dari kesia-siaan dan kelelahan. Berikut adalah
asumsi tentang kebahagiaan yang ternyata perlu kita kikis pelan-pelan,
sebagaimana dijelaskan oleh Gruber, dkk (2011) dalam artikel ilmiah yang mereka
tulis.
Kebahagiaan Selalu
Mendatangkan Kebaikan
Faktanya kebahagiaan tak selalu baik dan tak selalu
menyehatkan. Kondisi psikis kita berada dalam sebuah kontinum. Kebahagiaan kita
juga demikian. Bisa naik bisa turun. Bisa tinggi dan bisa rendah. Tingginya
perasaan bahagia juga bisa berbeda-beda level atau tingkatannya antara satu
orang dengan lainnya juga antara waktu satu ke waktu berikutnya pada orang yang
sama.
Jika mungkin selama ini kita berasumsi bahwa bahagia itu
selalu mendatangkan kebaikan, maka sebaiknya kita mulai mengkritisi hal ini. Kebahagiaan
yang diartikan sebagai hadirnya emosi positif berupa rasa senang, ketika itu
berada di puncak (merasa sangat senang), tanpa disertai perasaan negatif sama
sekali, justru menjadi hal yang berisiko tinggi. Rasa senang yang meluap-luap
atau membuncah dan terus bertahan selama kurun waktu tertentu, bisa jadi juga
merupakan pengalaman mania-sebuah gejala gangguan psikologis.
Jika seseorang mengalaminya, akan sulit bagi dirinya untuk
mengendalikan dirinya sendiri. Ia mungkin menjadi kurang istirahat, energinya
seperti tidak habis-habis bahkan bisa lepas kendali misalnya melakukan sex
dengan orang yang tidak dikenal.
Di sisi lain, ketiadaan emosi negatif merupakan salah satu
karakteristik orang dengan psikopati. Orang yang sama sekali tidak mampu
merasakan kesedihan dan ketakutan juga bisa membahayakan dirinya sendiri maupun
orang lain. Ia bisa melakukan apa saja tanpa merasa bersalah sama sekali.
Dengan kata lain, tingkatan kebahagiaan tertinggi yang
ditandai dengan tercapainya emosi yang sangat positif tanpa disertai emosi
negatif justru merupakan tanda bagi adanya hambatan psikis pada individu.
Emosi positif maupun negatif perlu hadir sesuai dengan
konteksnya. Ketidakberfungsian salah satunya, bisa sangat merugikan bagi kita. Dengan
begitu kita perlu menyadari bahwa ingin selalu merasa senang atau positif bukan
sesuatu yang logis dan patut dipertahankan.
Sebagai contoh, orang yang sedang berhadapan dengan ancaman
atau bahaya, memerlukan emosi negatif berupa marah dan takut supaya ia mampu
mempertahankan diri dan menyelamatkan dirinya. Jika ia hanya merasa senang
sepanjang waktu, hilanglah kemampuannya untuk mendeteksi risiko yang ada di
hadapannya.
Mengejar Kebahagiaan
akan Meningkatkan Kebahagiaan
Masuk akal sekali jika kita dianjurkan untuk berusaha
menggapai sesuatu yang kita inginkan. Namun ini tidak selalu berlaku pada
proses pemerolehan kebahagiaan. Faktanya, mengejar kebahagiaan adalah sesuatu
yang mengandung paradoks.
Kebahagiaan itu semakin dikejar justru akan semakin membuat
kita merasa tidak bahagia. Mengejar kebahagiaan secara tak sadar membuat kita
memasang syarat-syarat tertentu untuk merasa bahagia. Dengan kata lain ketika
kita mengejar bahagia, kita justru sedang menjauhkan diri kita darinya! Ini
terjadi karena usaha untuk mengejar bahagia sebenarnya juga mempertegas fakta
bahwa kita sedang kurang bahkan tidak bahagia.
Contohnya, saat kita mungkin merasa tidak bahagia karena
memiliki kulit yang berwarna gelap. Itu kemudian membuat kita berusaha keras
menggunakan aneka produk yang menjanjikan warna kulit yang cerah setelah
pemakaian. Secara psikis sebenarnya upaya keras untuk merasa bahagia dengan
menggunakan produk pencerah juga sedang menegaskan kepada diri kita sendiri
bahwa kulit kita gelap dan kita menolaknya. Penolakan ini akan menyulitkan kita
merasa bahagia.
Sebaliknya, jika kita mau berlapang hati menerima warna
kulit yang gelap itu, rasa nyaman dan bahagia dengan sendirinya akan muncul
pada diri kita. Kita tidak mempertegas apa yang kurang, melainkan menerima diri
sendiri apa adanya dan menghargai apa yang kita punya. Kita tidak lagi terjebak
dalam kaca mata yang memandang bahwa perbedaan dengan standar kecantikan adalah
ketidaksempurnaan. Kita telah mampu membahagiakan diri dengan tidak memperumit
persyaratan bahwa kebahagiaan hanya boleh dirasakan oleh orang yang kulitnya
cerah.
Jadi, apakah kita memang tidak boleh mengupayakan
tercapainya kebahagiaan?
Boleh. Hanya saja kita perlu menempuh jalan yang lebih
tepat. Kebahagiaan dapat diupayakan salah satunya dengan mencapai flow bukan dengan mempermak ini dan itu
apalagi membeli hal-hal yang tak perlu. Semua
itu, tak akan pernah ada titik cukupnya. Kondisi
flow menggambarkan pengalaman dimana
seseorang menikmati suatu aktivitas semata-mata karena ia menikmati prosesnya
bukan karena ia ingin mendapatkan sesuatu setelahnya.
Contoh pengalaman flow
adalah ketika seorang pelukis melakukan kegiatan melukis dengan segenap
jiwanya dan ia sangat menikmatinya. Ia melakukannya karena ia menyukainya,
bukan karena ingin dipuji atau ingin lukisannya dibeli dengan harga mahal. Itu
hanyalah bonus atau efek samping. Baginya yang utama adalah ketika dirinya
benar-benar menikmati aktivitasnya.
Jika diterapkan pada contoh lain, maka flow didapat jika kita menggunakan produk kecantikan karena kita
menikmati prosesnya bukan karena kita menginginkan hasil dengan standar tertentu.
Jika kita berfokus menikmati proses, artinya kita sedang menempuh jalan
mencapai kebahagiaan sejati. Kita bukan sedang melakukan sesuatu untuk menyiksa
diri sendiri dengan penolakan di dalam hati. Kita mungkin juga tak terlalu
peduli apakah upaya kita akan berhasil atau tidak karena tujuan utama dan
kebahagiaannya terletak pada perjalanannya, bukan titik ujungnya.
Sudah siap untuk menjadi orang yang bahagia?
Referensi
Gruber, J., Mauss, I.B., Tamir, M. (2011). A dark side of
happiness? How, when, why happiness is not always good?. Perpective on Psychological Sciences, 6 (3) 222-233.
0 comments:
Post a Comment