Pertanyaan pertama, mengapa Anda diberi nama seperti yang Anda miliki saat ini ?
Nursita Afifah, sebuah nama kecil
yang diabadikan dalam akta kelahiran saya. Telah, sedang dan akan terus
disematkan sebagai panggilan diri. Orangtua mengisahkan bahwa nama itu
diberikan oleh kakek. Nur diambil
dari bahasa Arab yang saya yakin banyak orang yang hafal dengan artinya yaitu,
cahaya. Sita diambil dari bahasa Jawa
yang bisa diartikan putih, sejuk atau dingin. Afifah diambil dari bahasa Arab yang artinya suci. Jika rangkaian
kata tersebut disatukan jadilah nama indah (setidaknya menurut saya), yaitu
Nursita Afifah yang secara keseluruhan bisa diartikan cahaya putih yang suci.
Nama tersebut adalah doa orangtua agar saya bisa menjadi cahaya, penerang,
pembawa kebahagiaan yang mampu menjaga kesucian sebagai seorang wanita yang bermartabat,
serta bisa membawa kedamaian atau ketentraman khususnya dalam keluarga. Semoga,
saya mampu memenuhi harapan orangtua. Amin.
Pertanyaan kedua, mengapa Anda
memilih kuliah psikologi ?
Sebuah pertanyaan yang mengajak
saya kembali mengingat masa galau menjelang kelulusan MA dulu. Terlalu banyak
orang yang menyangsikan pilihan saya saat itu. Terlalu banyak orang yang memertanyakan
pilihan saya untuk kuliah di jurusan psikologi. “Mau jadi apa ? Mau ndukuni orang, Mbak ? Kamu kan jurusan IPA kok
ngambil psikologi ?”, itulah sederet pertanyaan yang terlalu sering saya
dengar gara-gara ngeyel ingin belajar
psikologi. Ingin rasanya saya meneriakkan bahwa ini hidup saya, yang belajar
saya, hari ini atau yang akan datang juga saya yang menjalaninya, ngapain kalian banyak nanya, ha ?. Saya pikir manusia memang sering
entah secara sadar atau tidak, terlalu percaya diri menghakimi hidup orang
lain.
Bicara tentang masa depan atau ‘mau
jadi apa’, saya rasa kuliah di jurusan apa pun pasti masih abu-abu, tidak ada
yang bisa memastikan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha
mendekati tujuan serta mewujudkan impian. ‘Mau jadi apa’ memang menyiratkan
orientasi kuat ke arah pekerjaan. Kuliah menjadi salah satu jalan yang selama ini
dipandang efektif untuk mencerahkan masa depan pekerjaan. Tentu kampus tidak
semestinya dimaknai sedangkal itu. Jika semua orang termasuk juga semua
mahasiswa hanya berpikir demikian, dikhawatirkan angka orang gila di Indonesia akan
mengalami peningkatan, mengapa ? Bisa kita bayangkan jika semua orang melihat
kuliah hanya sebagai landasan menggaet
pekerjaan, begitu si mahasiswa diwisuda dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan,
dia mungkin bisa gila karena dihujani opini orang-orang di sekelilingnya. Padahal
pekerjaan bisa saja bukan dicari tetapi diciptakan sendiri. Bukankah kampus
adalah sarana pencetak ilmuwan atau akademisi ? Penting untuk dimengerti bahwa
urusan pekerjaan bukan satu-satunya tujuan.
Psikologi dengan beberapa fokus kajian
di dalamnya memiliki ranah pekerjaan yang luas. Di mana ada manusia, maka di
situlah psikologi bisa bekerja. Psikolog, konsultan, trainer, dosen, peneliti,
penulis, motivator, juga HRD hanyalah beberapa dari sekian banyak profesi yang
bisa digeluti oleh mereka yang menekuni psikologi. Beberapa dari profesi tersebut
memang menjadi faktor pendorong bagi saya untuk memelajari psikologi. Selain
itu, psikologi adalah ilmu yang unik dan menarik karena mengajak kita mengenal
makhluk paling sempurna di dunia yaitu manusia dengan berbagai problematika di
sekitarnya.
Alasan lainnya sederhana saja,
saya tidak merasa senang jika harus menghitung rumus-rumus dalam ilmu fisika
dan kimia. Berdasarkan fakta tersebut saya menyadari bahwa tidak sebaiknya
memaksakan diri masuk Fakultas Kedokteran apalagi Fakultas Sains dan Teknologi.
Saya memang lebih senang bermain dengan kata dan analisa daripada hitungan dan
angka. Memang selama sekolah di MA saya adalah siswi jurusan IPA, namun saya
rasa tidak ada yang salah jika akhirnya memutuskan mengambil jurusan bidang sosial
di bangku kuliah. Tidak ada yang perlu saya sesali dari masa MA yang saya lalui
sebagai anak IPA tersebut. Itu adalah bagian dari alur kehidupan yang justru
membuat saya semakin menyadari dan menerima bahwa memang ilmu fisika, kimia, biologi
bukanlah keunggulan dan impian saya.
Pertimbangan lain yaitu, supaya
lebih mampu memahami diri sendiri dan orang lain. Dengan mengetahui
faktor-faktor yang berpengaruh di balik perilaku manusia, saya berharap menjadi
pribadi yang lebih bijak dalam bersikap. Saat ini saya telah menjadi mahasiswi
jurusan psikologi, benarkah saya mendapatkan apa yang saya harapkan ? Ya, saya
bersyukur bisa menikmati kuliah di jurusan psikologi meski belajar di sini
tidak semudah dan sesederhana yang dibayangkan. Buku-buku referensi yang
mayoritas diambil dari barat (berbahasa asing) kian mempersulit saya untuk
memahami teori yang dipaparkan. Belum lagi tumpukan tugas esai, laporan, proyek
dan lain sebagainya yang seperti tanpa jeda setiap harinya. Ini masih ditambah
lagi dengan ekspektasi orang di luar sana yang sering menganggap mahasiswa
psikologi sebagai manusia dengan kemampuan membaca pikiran dan memprediksi masa
depan. Meski kenyataan itu sempat membuat saya merasa tidak nyaman, akhirnya
saya mengerti bahwa itulah konsekuensi menjadi mahasiswa psikologi yang tidak
mungkin dihindari.
Meminjam pernyataan salah satu
dosen, belajar psikologi ibarat menangkap belut dalam oli. Ini memang benar
adanya. Namun, setiap pilihan mestinya bukan tanpa alasan, pertimbangan dan
kesiapan untuk mempertanggungjawabkan. Inilah pilihan, kesukaan dan cita-cita
saya. Maka, akan saya nikmati setiap kesulitan dan kemudahan yang bermunculan
karenanya.
Saya juga sempat mendapatkan pertanyaan serupa ketika SMA dulu,
ReplyDeleteMau jadi apa masuk psikologi ?
Sepertinya bidang kita masih dipandang sebelah mata :/
bahkan, pertanyaan serupa juga ditanyakan oleh guru saya. Wah..., saat itu saya hanya mem-batin, ini guru kok malah mematahkan cita2 muridnya....-apamaksudnya-
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete