Saturday, 14 March 2015

Psikologi dan Ekspektasi : Mengapa Aku Begini ?

Sebuah tulisan yang disusun unuk memenuhi tugas mata kuliah bahasa Indonesia sekaligus buah perenungan.

Pertanyaan pertama, mengapa Anda diberi nama seperti yang Anda miliki saat ini ?
Nursita Afifah, sebuah nama kecil yang diabadikan dalam akta kelahiran saya. Telah, sedang dan akan terus disematkan sebagai panggilan diri. Orangtua mengisahkan bahwa nama itu diberikan oleh kakek. Nur diambil dari bahasa Arab yang saya yakin banyak orang yang hafal dengan artinya yaitu, cahaya. Sita diambil dari bahasa Jawa yang bisa diartikan putih, sejuk atau dingin. Afifah diambil dari bahasa Arab yang artinya suci. Jika rangkaian kata tersebut disatukan jadilah nama indah (setidaknya menurut saya), yaitu Nursita Afifah yang secara keseluruhan bisa diartikan cahaya putih yang suci. Nama tersebut adalah doa orangtua agar saya bisa menjadi cahaya, penerang, pembawa kebahagiaan yang mampu menjaga kesucian sebagai seorang wanita yang bermartabat, serta bisa membawa kedamaian atau ketentraman khususnya dalam keluarga. Semoga, saya mampu memenuhi harapan orangtua. Amin.

Pertanyaan kedua, mengapa Anda memilih kuliah psikologi ?

Sebuah pertanyaan yang mengajak saya kembali mengingat masa galau menjelang kelulusan MA dulu. Terlalu banyak orang yang menyangsikan pilihan saya saat itu. Terlalu banyak orang yang memertanyakan pilihan saya untuk kuliah di jurusan psikologi. “Mau jadi apa ? Mau ndukuni orang, Mbak ? Kamu kan jurusan IPA kok ngambil psikologi ?”, itulah sederet pertanyaan yang terlalu sering saya dengar gara-gara ngeyel ingin belajar psikologi. Ingin rasanya saya meneriakkan bahwa ini hidup saya, yang belajar saya, hari ini atau yang akan datang juga saya yang menjalaninya, ngapain kalian banyak nanya, ha ?. Saya pikir manusia memang sering entah secara sadar atau tidak, terlalu percaya diri menghakimi hidup orang lain.

Bicara tentang masa depan atau ‘mau jadi apa’, saya rasa kuliah di jurusan apa pun pasti masih abu-abu, tidak ada yang bisa memastikan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha mendekati tujuan serta mewujudkan impian. ‘Mau jadi apa’ memang menyiratkan orientasi kuat ke arah pekerjaan. Kuliah menjadi salah satu jalan yang selama ini dipandang efektif untuk mencerahkan masa depan pekerjaan. Tentu kampus tidak semestinya dimaknai sedangkal itu. Jika semua orang termasuk juga semua mahasiswa hanya berpikir demikian, dikhawatirkan angka orang gila di Indonesia akan mengalami peningkatan, mengapa ? Bisa kita bayangkan jika semua orang melihat kuliah hanya sebagai landasan menggaet pekerjaan, begitu si mahasiswa diwisuda dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan, dia mungkin bisa gila karena dihujani opini orang-orang di sekelilingnya. Padahal pekerjaan bisa saja bukan dicari tetapi diciptakan sendiri. Bukankah kampus adalah sarana pencetak ilmuwan atau akademisi ? Penting untuk dimengerti bahwa urusan pekerjaan bukan satu-satunya tujuan.

Psikologi dengan beberapa fokus kajian di dalamnya memiliki ranah pekerjaan yang luas. Di mana ada manusia, maka di situlah psikologi bisa bekerja. Psikolog, konsultan, trainer, dosen, peneliti, penulis, motivator, juga HRD hanyalah beberapa dari sekian banyak profesi yang bisa digeluti oleh mereka yang menekuni psikologi. Beberapa dari profesi tersebut memang menjadi faktor pendorong bagi saya untuk memelajari psikologi. Selain itu, psikologi adalah ilmu yang unik dan menarik karena mengajak kita mengenal makhluk paling sempurna di dunia yaitu manusia dengan berbagai problematika di sekitarnya.

Alasan lainnya sederhana saja, saya tidak merasa senang jika harus menghitung rumus-rumus dalam ilmu fisika dan kimia. Berdasarkan fakta tersebut saya menyadari bahwa tidak sebaiknya memaksakan diri masuk Fakultas Kedokteran apalagi Fakultas Sains dan Teknologi. Saya memang lebih senang bermain dengan kata dan analisa daripada hitungan dan angka. Memang selama sekolah di MA saya adalah siswi jurusan IPA, namun saya rasa tidak ada yang salah jika akhirnya memutuskan mengambil jurusan bidang sosial di bangku kuliah. Tidak ada yang perlu saya sesali dari masa MA yang saya lalui sebagai anak IPA tersebut. Itu adalah bagian dari alur kehidupan yang justru membuat saya semakin menyadari dan menerima bahwa memang ilmu fisika, kimia, biologi bukanlah keunggulan dan impian saya.

Pertimbangan lain yaitu, supaya lebih mampu memahami diri sendiri dan orang lain. Dengan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh di balik perilaku manusia, saya berharap menjadi pribadi yang lebih bijak dalam bersikap. Saat ini saya telah menjadi mahasiswi jurusan psikologi, benarkah saya mendapatkan apa yang saya harapkan ? Ya, saya bersyukur bisa menikmati kuliah di jurusan psikologi meski belajar di sini tidak semudah dan sesederhana yang dibayangkan. Buku-buku referensi yang mayoritas diambil dari barat (berbahasa asing) kian mempersulit saya untuk memahami teori yang dipaparkan. Belum lagi tumpukan tugas esai, laporan, proyek dan lain sebagainya yang seperti tanpa jeda setiap harinya. Ini masih ditambah lagi dengan ekspektasi orang di luar sana yang sering menganggap mahasiswa psikologi sebagai manusia dengan kemampuan membaca pikiran dan memprediksi masa depan. Meski kenyataan itu sempat membuat saya merasa tidak nyaman, akhirnya saya mengerti bahwa itulah konsekuensi menjadi mahasiswa psikologi yang tidak mungkin dihindari.

Meminjam pernyataan salah satu dosen, belajar psikologi ibarat menangkap belut dalam oli. Ini memang benar adanya. Namun, setiap pilihan mestinya bukan tanpa alasan, pertimbangan dan kesiapan untuk mempertanggungjawabkan. Inilah pilihan, kesukaan dan cita-cita saya. Maka, akan saya nikmati setiap kesulitan dan kemudahan yang bermunculan karenanya.

3 comments:

  1. Saya juga sempat mendapatkan pertanyaan serupa ketika SMA dulu,
    Mau jadi apa masuk psikologi ?

    Sepertinya bidang kita masih dipandang sebelah mata :/

    ReplyDelete
    Replies
    1. bahkan, pertanyaan serupa juga ditanyakan oleh guru saya. Wah..., saat itu saya hanya mem-batin, ini guru kok malah mematahkan cita2 muridnya....-apamaksudnya-

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete