Tuesday, 3 March 2015

Jangan Jadikan Emosi sebagai “Kambing Hitam”


Atas nama kewajaran orang sering mengkambing hitamkan emosi sebagai alasan pembenar suatu tindakan. Dalam beberapa kasus faktor emosi dijadikan aibi untuk melakukan hal-hal yang merugikan orang lain bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain.

Sering kita melihat dan mendengar dari berbagai media kejadian-kejadian serupa. Marah sebagai salah satu jenis emosi sering dijadikan alasan untuk melakukan hal-hal berbahaya yang merugikan orang lain bahkan mengarah pada tindakan kriminal. Berdasarkan beberapa kasus tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa emosi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi tindakan seseorang. Namun, ketika emosi itu dibiarkan meluap tanpa ada upaya kontrol, ia bisa menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
“..emosi bisa menyesatkan namun peran emosi dalam kognisi sosial menjadi makin kelihatan”. (Taylor, 2009:89).

Baron (2001) menuliskan adanya tiga komponen emosi yaitu, perubahan fisiologis pada tubuh, keadaan kognisi yang subyektif dan perilaku ekspresif yang merupakan tanda adanya reaksi internal. Dengan begitu jelas bahwa emosi tidak sama dengan marah. Beberapa contoh emosi antara lain adalah bahagia, takut, khawatir, kaget, sedih dan lain-lain. 

Emosi adalah sebuah keniscayaan bagi setiap orang. Adapun yang berbeda dari tiap individu adalah cara mereka menyalurkan emosi tersebut terhadap stimulus atau lingkungan. Misalnya dalam kasus-kasus seperti diuraikan sebelumnya, jika kita perhatikan kejadian-kejadian itu adalah hal yang merugikan banyak orang. Bukan hanya individu yang menjadi korban yang terampas haknya untuk hidup, tetapi juga keluarganya pasti merasa kehilangan. 

Apalagi jika yang menjadi korban adalah seorang kepala keluarga maka ini jelas menjadi persoalan yang semakin kompleks. Dengan begitu lazim jika masyarakat menilai para pelaku telah berlebihan dalam bertindak. Ini dapat diuraikan dengan apa yang telah dituliskan oleh Weiten (2013) dalam bukunya Psychology Themes and Variations 9th Edition bahwa setiap individu bisa saja merasakan tingkat kedalaman emosi yang beragam di dalam dirinya terhadap suatu stimulus.

Teori tersebut bisa dicontohkan secara sederhana misalnya ketika kita sangat marah saat mengetahui sepatu yang baru kita beli hilang entah kemana saat kita meninggalkannya di depan sebuah ruangan yang memang dilarang bersepatu. Ini terjadi karena kita merasa baru satu hari kita menggunakan sepatu itu sehingga ketika hilang, ada perasaan dirugikan yang sangat dalam. Sementara teman kita sama sekali tidak marah meskipun mengetahui sepatu barunya juga hilang karena ia berpikir bahwa benda itu mungkin memang bukan rezekinya dan besok ia masih bisa membeli lagi sepatu dengan model yang lebih baru.

Secara umum kita sepakat bahwa urutan jalannya emosi berawal dari adanya suatu stimulus yang bisa memicu munculnya emosi, kemudian akan melibatkan proses pemikiran (kognisi) dalam otak kita tentang stimulus tersebut sampai kita mengambil keputusan atau merasakan suatu perubahan emosi. Ini berarti bahwa sebenarnya sifat individual emosi berakar pada kognisi setiap individu. Ada dan tidaknya emosi itu mulanya bergantung pada cara pandang atau cara pikir kita terhadap suatu persoalan. Lazarus dalam (Wade & Tavris, 2007) menyebut bahwa keterlibatan kognisi pada emosi diawali dari persepsi awal kita terhadap suatu situasi hingga filosofi dasar kita mengenai kehidupan.
Kognisi (pikiran) berperan penting dalam terjadinya emosi. 

Kognisi menjadi gerbang masuknya stimulus yang kemudian melahirkan persepsi. Tentu kita sepakat bahwa perspektif adalah subyektif. Ini berarti bahwa emosipun demikian. Maka, sudah semestinya jika orang lain mampu mengondisikan salah satu jenis emosinya, yaitu marah, maka kita setidaknya harus terus berupaya menyadari pentingnya mengendalikan kemarahan kemudian memaksa diri sendiri untuk tidak mudah mengumbar kemarahan dan menjadikannya alasan. Weiten (2013) menuliskan, meskipun emosi adalah sesuatu yang sulit dikontrol, individu masih bisa memilih bagaimana respon mereka terhadap sesuatu yang memicu munculnya emosi.

“...upaya mengendalikan rasa marah sejak dini pada akhirnya akan menghasilkan emosi yang lebih terkontrol dibandingkan berusaha menekan perasaan marah secara keseluruhan apalagi melampiaskan perasaan marah tersebut” (Gross dalam Carole & Tavris, 2007:137).

Adapun komponen ke tiga dari emosi adalah perilaku ekspresif. Dalam hal ini Weiten (2013) menjelaskan bahwa individu akan menampakkan emosinya dengan bahasa tubuh seperti senyuman, perubahan mimik wajah, gerakan anggota tubuh tertentu, juga keluarnya ucapan tertentu. Dalam konteks kasus kriminal berupa kekerasan hingga pembunuhan seperti yang telah dicontohkan di atas, tindakan-tindakan tersebut adalah perwujudan perilaku ekspresif dari emosi marah yang gagal mereka kendalikan.

Melihat betapa banyaknya kerugian yang mungkin ditimbulkan ketika individu tidak mampu menguasai emosinya sendiri (dalam hal ini berupa rasa marah), perlu adanya usaha yang berkelanjutan untuk membiasakan diri berada dalam kestabilan emosi dalam menghadapi berbagai permasalahan yang pasti terjadi dalam kehidupan setiap orang. Pertama, kita harus menyadari bahwa menghadapi kemarahan dengan kemarahan hanya akan memperumit persoalan.

“…pengekspresian emosi secara bebas baik melalui isyarat verbal maupun non verbal akan meningkatkan intensitas emosi tersebut. Ia yang membiarkan munculnya bahasa tubuh yang kasar akan meningkatkan kemarahannya sendiri”(Darwin dalam Carole & Tavris, 2007:137).

Kedua, perlu dipahami bahwa persepsi kita tidak selalu benar. Sebagai individu dewasa semestinya kita telah memiliki beberapa pengalaman dalam menghadapi suatu masalah yang memicu emosi. Kita harus mampu mengambil ilmu dari setiap kejadian tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa apa yang kita pikirkan tidak selalu sesuai dengan apa yang terjadi nanti. Oleh karena itu, kita perlu berpikir tenang dan matang, serta tidak gegabah dalam menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.
“…sesuatu yang baik seringkali tidak sebaik yang kita bayangkan, dan sesuatu yang buruk sering kali tidak seburuk yang kita bayangkan”(Wade & Tavris, 2007:125).

Ketiga, mood perlu dijaga. Sebagai salah satu aspek subyektif, setiap orang mestinya mau berusaha memahami dirinya sendiri. Ia harus tahu apa saja yang bisa membuat keadaan moodnya menjadi baik dan bagaimana mengembalikan mood menjadi baik lagi ketika ada faktor eksternal yang merusak suasana hati. Taylor (2009) menyebutkan bahwa mood tidak hanya mempengaruhi penilaian, ingatan, dan cara kita mengevaluasi dunia di sekeliling kita tetapi juga mempengaruhi cara kita memberi penilaian. Karena itulah mood menjadi salah satu yang harus diberi perhatian lebih agar kita berhasil mengendalikan kemarahan.

Keempat, tidak ada salahnya jika kita mencoba tersenyum untuk menghadapi kemarahan. Tidak hanya emosi yang dipercaya mampu mempengaruhi ekspresi wajah, ekspresi wajah pun dipercaya mampu mempengaruhi emosi.Ini disebut dengan hipotesis umpan balik fasial poligrafi. Hipotesis yang menyebut bahwa ekspresi wajah kita mempengaruhi pengalaman emosional kita. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Adelmann & Zajonc (1989) dalam (Pinel, 2012) disebutkan bahwa memang ekspresi wajah berpengaruh pada kondisi emosi. Dicontohkan misalnya saat kita bersedih dan kita mencoba untuk tersenyum maka setidaknya senyum yang kita upayakan itu bisa membuat kita merasa lebih baik.

Kelima, saat kita kondisi perasaan dan pikiran kita sudah relatif kondusif sebaiknya kita mencoba berpikir jernih dan kritis atas apa yang telah terjadi. Kita harus berupaya memunculkan serangkaian analisa yang nyata, mencoba mempertimbangkan serangkaian sebab dan akibat yang mungkin terjadi ketika kita memutuskan untuk mengambil suatu tindakan.

“…emosi bukanlah faktor yang menghambat kemampuan berpikir kritis. Kegagalan berpikir kritislah yang menciptakan emosi-emosi tersebut…Saat seseorang berada dalam kondisi emosi yang tidak menyenangkan mereka dapat merubah perasaan tersebut dengan menganalisis ulang situasi dan persepsi mereka terhadap perasaan tersebut”(Carole & Tavris, 2007:126).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selama ini anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa emosi sama dengan marah adalah sesuatu yang salah. Rasa marah hanyalah salah satu dari banyak jenis emosi. Marah itu sendiri termasuk jenis emosi yang banyak membawa kerugian sehingga sangat penting untuk dikendalikan. 

Selama ini kemarahan menjadi salah satu alasan pembenar tindak kejahatan bahkan kriminalitas. Sebenarnya, meskipun emosi seakan-akan bersifat refleks, respon yang kita keluarkan saat kita merasa marah adalah sesuatu yang bergantung pada kemampuan kita mempersepsikan dan memutuskan. Jadi, emosi tidak seharusnya dijadikan kambing hitam atas perilaku-perilaku buruk yang bisa berdampak bukan hanya pada diri kita sendiri tetapi juga pada banyak orang di sekitar kita. 

Daftar Pustaka
Baron, Robert A., 2001. Psychology Fifth Edition. Needham Heights: Pearson Education Company.
Pinel, John P. J., 2012. Biopsikologi Edisi Ketujuh. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Taylor, Shelley E., dkk. 2009. Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana.
Wade, Carole & Carol Tavris. 2007. Psikologi Edisi Kesembilan Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Weiten, Wayne. 2013. Psychology Themes and Variations 9th Edition. Belmont: Wadsworth.

0 comments:

Post a Comment