Atas nama kewajaran
orang sering mengkambing hitamkan emosi sebagai alasan pembenar suatu tindakan.
Dalam beberapa kasus faktor emosi dijadikan aibi untuk melakukan hal-hal yang
merugikan orang lain bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain.
Sering kita melihat
dan mendengar dari berbagai media kejadian-kejadian serupa. Marah sebagai salah
satu jenis emosi sering dijadikan alasan untuk melakukan hal-hal berbahaya yang
merugikan orang lain bahkan mengarah pada tindakan kriminal. Berdasarkan
beberapa kasus tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa emosi memiliki kekuatan
untuk mempengaruhi tindakan seseorang. Namun, ketika emosi itu dibiarkan meluap
tanpa ada upaya kontrol, ia bisa menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
“..emosi bisa menyesatkan namun peran emosi dalam kognisi sosial menjadi
makin kelihatan”. (Taylor,
2009:89).
Baron (2001)
menuliskan adanya tiga komponen emosi yaitu, perubahan fisiologis pada tubuh,
keadaan kognisi yang subyektif dan perilaku ekspresif yang merupakan tanda
adanya reaksi internal. Dengan begitu jelas bahwa emosi tidak sama dengan
marah. Beberapa contoh emosi antara lain adalah bahagia, takut, khawatir,
kaget, sedih dan lain-lain.
Emosi adalah sebuah
keniscayaan bagi setiap orang. Adapun yang berbeda dari tiap individu adalah
cara mereka menyalurkan emosi tersebut terhadap stimulus atau lingkungan.
Misalnya dalam kasus-kasus seperti diuraikan sebelumnya, jika kita perhatikan
kejadian-kejadian itu adalah hal yang merugikan banyak orang. Bukan hanya
individu yang menjadi korban yang terampas haknya untuk hidup, tetapi juga
keluarganya pasti merasa kehilangan.
Apalagi jika yang menjadi korban adalah seorang kepala keluarga maka ini jelas menjadi persoalan yang semakin kompleks. Dengan begitu lazim jika masyarakat menilai para pelaku telah berlebihan dalam bertindak. Ini dapat diuraikan dengan apa yang telah dituliskan oleh Weiten (2013) dalam bukunya Psychology Themes and Variations 9th Edition bahwa setiap individu bisa saja merasakan tingkat kedalaman emosi yang beragam di dalam dirinya terhadap suatu stimulus.
Apalagi jika yang menjadi korban adalah seorang kepala keluarga maka ini jelas menjadi persoalan yang semakin kompleks. Dengan begitu lazim jika masyarakat menilai para pelaku telah berlebihan dalam bertindak. Ini dapat diuraikan dengan apa yang telah dituliskan oleh Weiten (2013) dalam bukunya Psychology Themes and Variations 9th Edition bahwa setiap individu bisa saja merasakan tingkat kedalaman emosi yang beragam di dalam dirinya terhadap suatu stimulus.
Teori tersebut bisa
dicontohkan secara sederhana misalnya ketika kita sangat marah saat mengetahui
sepatu yang baru kita beli hilang entah kemana saat kita meninggalkannya di
depan sebuah ruangan yang memang dilarang bersepatu. Ini terjadi karena kita
merasa baru satu hari kita menggunakan sepatu itu sehingga ketika hilang, ada
perasaan dirugikan yang sangat dalam. Sementara teman kita sama sekali tidak
marah meskipun mengetahui sepatu barunya juga hilang karena ia berpikir bahwa
benda itu mungkin memang bukan rezekinya dan besok ia masih bisa membeli lagi
sepatu dengan model yang lebih baru.
Secara umum kita
sepakat bahwa urutan jalannya emosi berawal dari adanya suatu stimulus yang
bisa memicu munculnya emosi, kemudian akan melibatkan proses pemikiran
(kognisi) dalam otak kita tentang stimulus tersebut sampai kita mengambil
keputusan atau merasakan suatu perubahan emosi. Ini berarti bahwa sebenarnya
sifat individual emosi berakar pada kognisi setiap individu. Ada dan tidaknya
emosi itu mulanya bergantung pada cara pandang atau cara pikir kita terhadap
suatu persoalan. Lazarus dalam (Wade & Tavris, 2007) menyebut bahwa
keterlibatan kognisi pada emosi diawali dari persepsi awal kita terhadap suatu
situasi hingga filosofi dasar kita mengenai kehidupan.
Kognisi (pikiran)
berperan penting dalam terjadinya emosi.
Kognisi menjadi gerbang masuknya stimulus yang kemudian melahirkan persepsi. Tentu kita sepakat bahwa perspektif adalah subyektif. Ini berarti bahwa emosipun demikian. Maka, sudah semestinya jika orang lain mampu mengondisikan salah satu jenis emosinya, yaitu marah, maka kita setidaknya harus terus berupaya menyadari pentingnya mengendalikan kemarahan kemudian memaksa diri sendiri untuk tidak mudah mengumbar kemarahan dan menjadikannya alasan. Weiten (2013) menuliskan, meskipun emosi adalah sesuatu yang sulit dikontrol, individu masih bisa memilih bagaimana respon mereka terhadap sesuatu yang memicu munculnya emosi.
Kognisi menjadi gerbang masuknya stimulus yang kemudian melahirkan persepsi. Tentu kita sepakat bahwa perspektif adalah subyektif. Ini berarti bahwa emosipun demikian. Maka, sudah semestinya jika orang lain mampu mengondisikan salah satu jenis emosinya, yaitu marah, maka kita setidaknya harus terus berupaya menyadari pentingnya mengendalikan kemarahan kemudian memaksa diri sendiri untuk tidak mudah mengumbar kemarahan dan menjadikannya alasan. Weiten (2013) menuliskan, meskipun emosi adalah sesuatu yang sulit dikontrol, individu masih bisa memilih bagaimana respon mereka terhadap sesuatu yang memicu munculnya emosi.
“...upaya mengendalikan rasa marah sejak dini pada akhirnya akan menghasilkan emosi yang lebih terkontrol dibandingkan berusaha menekan perasaan marah secara keseluruhan apalagi melampiaskan perasaan marah tersebut” (Gross dalam Carole & Tavris, 2007:137).
Adapun komponen ke
tiga dari emosi adalah perilaku ekspresif. Dalam hal ini Weiten (2013)
menjelaskan bahwa individu akan menampakkan emosinya dengan bahasa tubuh
seperti senyuman, perubahan mimik wajah, gerakan anggota tubuh tertentu, juga
keluarnya ucapan tertentu. Dalam konteks kasus kriminal berupa kekerasan hingga
pembunuhan seperti yang telah dicontohkan di atas, tindakan-tindakan tersebut
adalah perwujudan perilaku ekspresif dari emosi marah yang gagal mereka
kendalikan.
Melihat betapa
banyaknya kerugian yang mungkin ditimbulkan ketika individu tidak mampu
menguasai emosinya sendiri (dalam hal ini berupa rasa marah), perlu adanya
usaha yang berkelanjutan untuk membiasakan diri berada dalam kestabilan emosi
dalam menghadapi berbagai permasalahan yang pasti terjadi dalam kehidupan
setiap orang. Pertama, kita harus menyadari bahwa menghadapi kemarahan dengan
kemarahan hanya akan memperumit persoalan.
“…pengekspresian emosi secara bebas baik melalui isyarat verbal maupun
non verbal akan meningkatkan intensitas emosi tersebut. Ia yang membiarkan
munculnya bahasa tubuh yang kasar akan meningkatkan kemarahannya sendiri”(Darwin dalam Carole & Tavris,
2007:137).
Kedua, perlu dipahami
bahwa persepsi kita tidak selalu benar. Sebagai individu dewasa semestinya kita
telah memiliki beberapa pengalaman dalam menghadapi suatu masalah yang memicu
emosi. Kita harus mampu mengambil ilmu dari setiap kejadian tersebut. Seperti
yang kita ketahui bahwa apa yang kita pikirkan tidak selalu sesuai dengan apa
yang terjadi nanti. Oleh karena itu, kita perlu berpikir tenang dan matang,
serta tidak gegabah dalam menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.
“…sesuatu yang baik seringkali tidak sebaik yang kita bayangkan, dan
sesuatu yang buruk sering kali tidak seburuk yang kita bayangkan”(Wade & Tavris, 2007:125).
Ketiga, mood perlu dijaga. Sebagai salah satu
aspek subyektif, setiap orang mestinya mau berusaha memahami dirinya sendiri.
Ia harus tahu apa saja yang bisa membuat keadaan moodnya menjadi baik dan bagaimana mengembalikan mood menjadi baik lagi ketika ada faktor
eksternal yang merusak suasana hati. Taylor (2009) menyebutkan bahwa mood tidak hanya mempengaruhi penilaian,
ingatan, dan cara kita mengevaluasi dunia di sekeliling kita tetapi juga
mempengaruhi cara kita memberi penilaian. Karena itulah mood menjadi salah satu yang harus diberi perhatian lebih agar kita
berhasil mengendalikan kemarahan.
Keempat, tidak ada
salahnya jika kita mencoba tersenyum untuk menghadapi kemarahan. Tidak hanya
emosi yang dipercaya mampu mempengaruhi ekspresi wajah, ekspresi wajah pun
dipercaya mampu mempengaruhi emosi.Ini disebut dengan hipotesis umpan balik
fasial poligrafi. Hipotesis yang menyebut bahwa ekspresi wajah kita
mempengaruhi pengalaman emosional kita. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan
oleh Adelmann & Zajonc (1989) dalam (Pinel, 2012) disebutkan bahwa memang ekspresi
wajah berpengaruh pada kondisi emosi. Dicontohkan misalnya saat kita bersedih
dan kita mencoba untuk tersenyum maka setidaknya senyum yang kita upayakan itu
bisa membuat kita merasa lebih baik.
Kelima, saat kita
kondisi perasaan dan pikiran kita sudah relatif kondusif sebaiknya kita mencoba
berpikir jernih dan kritis atas apa yang telah terjadi. Kita harus berupaya
memunculkan serangkaian analisa yang nyata, mencoba mempertimbangkan
serangkaian sebab dan akibat yang mungkin terjadi ketika kita memutuskan untuk
mengambil suatu tindakan.
“…emosi bukanlah faktor yang menghambat kemampuan berpikir kritis.
Kegagalan berpikir kritislah yang menciptakan emosi-emosi tersebut…Saat
seseorang berada dalam kondisi emosi yang tidak menyenangkan mereka dapat merubah
perasaan tersebut dengan menganalisis ulang situasi dan persepsi mereka
terhadap perasaan tersebut”(Carole & Tavris, 2007:126).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa selama ini anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa emosi
sama dengan marah adalah sesuatu yang salah. Rasa marah hanyalah salah satu
dari banyak jenis emosi. Marah itu sendiri termasuk jenis emosi yang banyak
membawa kerugian sehingga sangat penting untuk dikendalikan.
Selama ini kemarahan menjadi salah satu alasan pembenar tindak kejahatan bahkan kriminalitas. Sebenarnya, meskipun emosi seakan-akan bersifat refleks, respon yang kita keluarkan saat kita merasa marah adalah sesuatu yang bergantung pada kemampuan kita mempersepsikan dan memutuskan. Jadi, emosi tidak seharusnya dijadikan kambing hitam atas perilaku-perilaku buruk yang bisa berdampak bukan hanya pada diri kita sendiri tetapi juga pada banyak orang di sekitar kita.
Selama ini kemarahan menjadi salah satu alasan pembenar tindak kejahatan bahkan kriminalitas. Sebenarnya, meskipun emosi seakan-akan bersifat refleks, respon yang kita keluarkan saat kita merasa marah adalah sesuatu yang bergantung pada kemampuan kita mempersepsikan dan memutuskan. Jadi, emosi tidak seharusnya dijadikan kambing hitam atas perilaku-perilaku buruk yang bisa berdampak bukan hanya pada diri kita sendiri tetapi juga pada banyak orang di sekitar kita.
Daftar Pustaka
Baron, Robert A.,
2001. Psychology Fifth Edition.
Needham Heights: Pearson Education Company.
Pinel, John P. J., 2012. Biopsikologi Edisi Ketujuh.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Taylor, Shelley E.,
dkk. 2009. Psikologi Sosial Edisi Kedua
Belas. Jakarta: Kencana.
Wade, Carole &
Carol Tavris. 2007. Psikologi Edisi
Kesembilan Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Weiten, Wayne. 2013. Psychology Themes and Variations 9th
Edition. Belmont: Wadsworth.
0 comments:
Post a Comment