Dalam
bingkai heningnya malam, aku merindukan hadirnya. Dia yang telah bekerja keras
untukku, bahkan merelakan hasrat masa mudanya demi mencukupi segala
kebutuhanku. Entah mengapa selarut ini dia belum juga pulang. Kupandangi
lekat-lekat kemeja dan jaket yang digantung di dinding kamarnya. Kuingat bahwa
itulah setelan pakaian yang paling sering dia kenakan. Masih kuingat juga
senyum bahagianya saat kuserahkan kemeja dan jaket itu sebagai hadiah usia
barunya.
Hitam
dan putih. Dia bilang itulah warna kesukaannya. Dia bertanya, bagaimana aku
bisa tahu ? Tidak, aku hanya ingin menyampaikan pesan. Dua simbol sederhana
yang menurutku bisa mewakili setiap fenomena kehidupan. Dalam tiap kejadian,
pasti ada keburukan dan kebaikan. Dibalik setiap kesulitan pasti ada kemudahan.
Sayangnya, hari ini hitam itu lebih dominan. Segelap hatiku yang sibuk
mengarungi kerinduan.
Ia
pergi dari rumah. Hilang sudah separuh hatiku, sandaran jiwaku. Meski aku sadar
bahwa setiap yang ada di bumi adalah milik-Nya, dia tetap saja terlalu berharga
untuk hilang tiba-tiba.
Dia
menggodaku, “Udah gede rupanya adek abang ini, kado dari siapa Neng?”.
“Mau
tau aja sih, dari temen kok Bang”, jawabku.
“Masa
sih, temen kok pake ngasih kembang segala?”.
“Emang
cuma Abang yang bisa beli kembang ? Lagian, Abang nggak pernah tuh beliin aku”.
“Iya
deh, besok bang Farid beliin kembang kamboja ya, ha ha ha”, jawabnya sambil
mencubit pipiku.
Sore
itu kami sangat bahagia. Hari saat aku lulus SMA dan dinyatakan diterima tanpa
tes di sebuah perguruan tinggi ternama. Berkat jerih payahnya, aku bisa
menyelesaikan sekolahku. Berkat segala pengorbanannya aku bisa memandang tegap
ke masa depan.
Dulu
aku kecewa dengan segala kesulitan yang kuhadapi, tapi kini aku merasa hina karena
lupa bersyukur kepada-Nya. Memang, aku bukan anak orang kaya. Aku juga bukan
anak orang yang punya kuasa. Biarlah orang di luar sana berkata apa. Satu yang
pasti, aku punya sosok laki-laki hebat yang tidak semua orang berkesempatan
menjalani hari bersamanya.
Aku
berpikir, jika nanti tiba saatnya bagiku untuk mengabdikan diri pada
seorang laki-laki, pria seperti dialah yang kuharapkan. Meski aku tak tahu
sudah sebaik itukah perangaiku. Sudah sehalus itukah tutur bahasaku. Sudah setunduk
itukah pandanganku. Sudah sesabar itukah aku. Sudah setaat itukah aku pada
Tuhanku. Entahlah, aku sendiri tak tahu apakah aku pantas mengharap begitu.
Dalam kaca mataku, dialah laki-laki yang mau dan mampu mempertanggungjawabkan
dirinya di hadapan Tuhannya.
Sayangnya,
waktu begitu cepat berlalu. Membawa damai dan senyumku menguap, terbang meski
tanpa sayap. Kuiingat, malam itu tangis ibu membangunkan tidurku.
“Maaf,
Bu. Farid harus pergi”.
“Mau
ke mana? Apa kamu nggak kasihan sama adik dan ibumu yang sudah tua ini?”.
“Maaf,
Bu. Mungkin Farid perlu waktu untuk sendiri, bukan di rumah ini. Farid ingin
cari tempat lain biar bisa mikir jernih untuk meyelesaikan masalah ini”.
Mungkin,
cinta memang buta atau memang tak perlu mata untuk melihat dunia seperti kita.
Cinta hanya butuh rasa saling menerima. Setelah sebulan berusaha meyakinkan
ayah untuk merestui pernikahannya dengan Sofia, Bang Farid memilih untuk pergi.
Sebagai
laki-laki, Bang Farid tak butuh wali untuk menikahi gadis yang dicintainya. Dia
juga sudah punya penghasilan sendiri, lebih dari cukup untuk membiayai keluarga
kecilnya nanti. Bisa jadi inilah sebabnya dia begitu berani menentang ayah.
Mungkin juga Bang Farid merasa sudah cukup sabar menghadapi amarah ayah selama
setahun terakhir saat mengetahui, gadis pujaannya bukan perempuan seagama.
Malam
ini aku merasa sepi. Desir angin malam mengingatkanku bukan kepada Bang Farid
saja, tetapi juga pendamping hidupnya, Sofia. Gadis cantik nan baik. Terakhir,
dia datang ke rumah ini bak bidadari surga. Gamis hijau toska berpadu jilbab
motif bunga itu menyibak kedalaman ketulusan, kedamaian, kesucian dan keindahannya
sebagai wanita. Dia sudah masuk Islam.
Rupanya
aku salah sangka. Saat Bang Farid memutuskan untuk pergi, aku berpikir bahwa dia
akan nekat menikahi Sofia meski mereka tidak seharusnya bersama. Kupikir, cinta
membuat kakakku lupa pada mimpinya untuk menikahi muslimah solehah yang akan diajaknya bersama berjuang meraih ridho-Nya.
Kini aku menyadari kedangkalan nalarku.
“Dina…..”,
Ibu memanggilku. Panggilan ibu, membuyarkan lamunanku. Betapa bodohnya aku. Bang
Farid sudah menikah. Malam ini tentu dia sudah pulang. Ya, tapi bukan ke rumah
ini. Ah, biarlah.. cukuplah bagiku berdoa untuknya. Pasti ia sedang meresapi indahnya rembulan bersama bidadarinya. Beginilah hidup yang akan terus berputar.
Kutinggalkan kemeja putih dan jaket hitam yang tergantung di kamarnya. Biarlah
dia tetap berada di sana. Menjadi saksi rangkaian kisah suka dan duka.
Oleh : Nursita Afifah
#belajar_nulis
hayo suka sama kakak sendiri, kakak kandung apa adopsi ini ceritanya?
ReplyDeletesepertinya kakak kandung aja Nun, kan di atas ada adegan bercandanya sama kakak, kalau bukan kakak kandung kan nggak blh begitu, ehm...bukan mahrom, haha.
DeleteTerima kasih atas kunjungannya di blog ini.
sering-sering main ke sini ya
main main juga ke rumahku hehe, blog maksudnya
ReplyDelete