Wednesday, 8 April 2015

Kemeja


Dalam bingkai heningnya malam, aku merindukan hadirnya. Dia yang telah bekerja keras untukku, bahkan merelakan hasrat masa mudanya demi mencukupi segala kebutuhanku. Entah mengapa selarut ini dia belum juga pulang. Kupandangi lekat-lekat kemeja dan jaket yang digantung di dinding kamarnya. Kuingat bahwa itulah setelan pakaian yang paling sering dia kenakan. Masih kuingat juga senyum bahagianya saat kuserahkan kemeja dan jaket itu sebagai hadiah usia barunya.

Hitam dan putih. Dia bilang itulah warna kesukaannya. Dia bertanya, bagaimana aku bisa tahu ? Tidak, aku hanya ingin menyampaikan pesan. Dua simbol sederhana yang menurutku bisa mewakili setiap fenomena kehidupan. Dalam tiap kejadian, pasti ada keburukan dan kebaikan. Dibalik setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Sayangnya, hari ini hitam itu lebih dominan. Segelap hatiku yang sibuk mengarungi kerinduan.

Ia pergi dari rumah. Hilang sudah separuh hatiku, sandaran jiwaku. Meski aku sadar bahwa setiap yang ada di bumi adalah milik-Nya, dia tetap saja terlalu berharga untuk hilang tiba-tiba.

Dia menggodaku, “Udah gede rupanya adek abang ini, kado dari siapa Neng?”.
“Mau tau aja sih, dari temen kok Bang”, jawabku.
“Masa sih, temen kok pake ngasih kembang segala?”.
“Emang cuma Abang yang bisa beli kembang ? Lagian, Abang nggak pernah tuh beliin aku”.
“Iya deh, besok bang Farid beliin kembang kamboja ya, ha ha ha”, jawabnya sambil mencubit pipiku.

Sore itu kami sangat bahagia. Hari saat aku lulus SMA dan dinyatakan diterima tanpa tes di sebuah perguruan tinggi ternama. Berkat jerih payahnya, aku bisa menyelesaikan sekolahku. Berkat segala pengorbanannya aku bisa memandang tegap ke masa depan.

Dulu aku kecewa dengan segala kesulitan yang kuhadapi, tapi kini aku merasa hina karena lupa bersyukur kepada-Nya. Memang, aku bukan anak orang kaya. Aku juga bukan anak orang yang punya kuasa. Biarlah orang di luar sana berkata apa. Satu yang pasti, aku punya sosok laki-laki hebat yang tidak semua orang berkesempatan menjalani hari bersamanya.

Aku berpikir, jika nanti tiba saatnya bagiku untuk mengabdikan diri pada seorang laki-laki, pria seperti dialah yang kuharapkan. Meski aku tak tahu sudah sebaik itukah perangaiku. Sudah sehalus itukah tutur bahasaku. Sudah setunduk itukah pandanganku. Sudah sesabar itukah aku. Sudah setaat itukah aku pada Tuhanku. Entahlah, aku sendiri tak tahu apakah aku pantas mengharap begitu. Dalam kaca mataku, dialah laki-laki yang mau dan mampu mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Tuhannya.

Sayangnya, waktu begitu cepat berlalu. Membawa damai dan senyumku menguap, terbang meski tanpa sayap. Kuiingat, malam itu tangis ibu membangunkan tidurku.  

“Maaf, Bu. Farid harus pergi”.
“Mau ke mana? Apa kamu nggak kasihan sama adik dan ibumu yang sudah tua ini?”.
“Maaf, Bu. Mungkin Farid perlu waktu untuk sendiri, bukan di rumah ini. Farid ingin cari tempat lain biar bisa mikir jernih untuk meyelesaikan masalah ini”.

Mungkin, cinta memang buta atau memang tak perlu mata untuk melihat dunia seperti kita. Cinta hanya butuh rasa saling menerima. Setelah sebulan berusaha meyakinkan ayah untuk merestui pernikahannya dengan Sofia, Bang Farid memilih untuk pergi.

Sebagai laki-laki, Bang Farid tak butuh wali untuk menikahi gadis yang dicintainya. Dia juga sudah punya penghasilan sendiri, lebih dari cukup untuk membiayai keluarga kecilnya nanti. Bisa jadi inilah sebabnya dia begitu berani menentang ayah. Mungkin juga Bang Farid merasa sudah cukup sabar menghadapi amarah ayah selama setahun terakhir saat mengetahui, gadis pujaannya bukan perempuan seagama.

Malam ini aku merasa sepi. Desir angin malam mengingatkanku bukan kepada Bang Farid saja, tetapi juga pendamping hidupnya, Sofia. Gadis cantik nan baik. Terakhir, dia datang ke rumah ini bak bidadari surga. Gamis hijau toska berpadu jilbab motif bunga itu menyibak kedalaman ketulusan, kedamaian, kesucian dan keindahannya sebagai wanita.  Dia sudah masuk Islam.

Rupanya aku salah sangka. Saat Bang Farid memutuskan untuk pergi, aku berpikir bahwa dia akan nekat menikahi Sofia meski mereka tidak seharusnya bersama. Kupikir, cinta membuat kakakku lupa pada mimpinya untuk menikahi muslimah solehah yang akan  diajaknya bersama berjuang meraih ridho-Nya. Kini aku menyadari kedangkalan nalarku.

“Dina…..”, Ibu memanggilku. Panggilan ibu, membuyarkan lamunanku. Betapa bodohnya aku. Bang Farid sudah menikah. Malam ini tentu dia sudah pulang. Ya, tapi bukan ke rumah ini. Ah, biarlah.. cukuplah bagiku berdoa untuknya. Pasti ia sedang meresapi indahnya rembulan bersama bidadarinya. Beginilah hidup yang akan terus berputar. Kutinggalkan kemeja putih dan jaket hitam yang tergantung di kamarnya. Biarlah dia tetap berada di sana. Menjadi saksi rangkaian kisah suka dan duka.

Oleh : Nursita Afifah

#belajar_nulis






3 comments:

  1. hayo suka sama kakak sendiri, kakak kandung apa adopsi ini ceritanya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. sepertinya kakak kandung aja Nun, kan di atas ada adegan bercandanya sama kakak, kalau bukan kakak kandung kan nggak blh begitu, ehm...bukan mahrom, haha.
      Terima kasih atas kunjungannya di blog ini.
      sering-sering main ke sini ya

      Delete
  2. main main juga ke rumahku hehe, blog maksudnya

    ReplyDelete