Alkisah, jam baru menunjukkan pukul 04.30. Aku bermimpi dibentak oleh sebuah suara yang sangat mengagetkan. Entah apa yang ia ucap, aku tidak ingat. Terbangun, dan berpikir sejenak. Apa atau siapa yang ada dalam mimpiku tadi ? Ternyata, cukup lama aku tertegun memikirkan mimpi. Saat kulihat kembali handphoneku, jam menunjukkan pukul 05.00, aku bergegas mandi.
Segar sudah badan dan suasana hati pagi ini setelah kemarin cukup muak dengan laptop yang ngadat saat tugas-tugas makalah mengejar untuk diseslesaikan detik itu juga. Seperti biasa, kegiatan rutin di pagi hari kuawali dengan menyibak tirai jendela, supaya sinar matahari menyinari ruang kamarku dan sejuknya udara pagi Surabaya yang limited edition bisa kunikmati dengan leluasa. Tanpa sengaja, aku melihat sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, ya, di bawah sana, tepat di sebuah rumah yang terletak di permpatan gang, asik bercanda berdua.
Si laki-laki tampil rapi dengan setelan seperti habis kondangan, dengan hem lengan panjang warna abu-abu dengan bawahan celana jeanz dan sepatu. Si wanita, tampil masih dengan kostum pagi ala anak kos, celana training dengan atasan kaos seadanya berbalut jaket kain sekenanya, sepertinya belum mandi. Pemandangan yang membuatku tertarik untuk mengamati dari balik jendela bukanlah penampilan mereka, melainkan buket bunga yang dipegang mesra di tangan kiri si wanita. Gila, sepagi ini ?. Kado ulang tahun mungkin ya...(mungkin juga kurir bunga :D)
Memang, awalnya aku terheran-heran saat pertama datang ke kota ini. Hampir setiap pulang dari kampus, tidak peduli malam maupun sore hari, di banyak rumah kos aku menyaksikan laki-laki dan wanita, ngobrol akrab layaknya suami istri. Lama-kelamaan aku jadi tak peduli. Kuanggap itu salah satu dampak westernisasi yang merusak batas dan norma luhur yang sebenarnya adalah aset budaya bangsa ini. Kalaupun aku peduli, apa yang bisa kulakukan untuk memperbaiki keadan ? Aku bingung.
Namun, "pemandangan" sepagi ini, dengan buket bunga mawar merah dan putih di bawah sana mengingatkanku akan salah satu pelajaran yang kuterima di kampus, mata kuliah psikologi perkembangan. Salah satu tokoh, Erik Erikson namanya, mengungkapkan bahwa salah satu tugas perkembangan yang diemban manusia usia dewasa awal adalah menjalin kedekatan (intimacy) atau hubungan dengan orang lain. Secara khusus, orang lain yang dimaksud adalah lawan jenis. Ya, tampaknya itu benar. Itulah jawaban mengapa banyak orang bingung menghadapi lingkungan yang mulai banyak bertanya sekaligus mendikte, "Kapan nikah?", "Mana pasangannya, kok sendirian saja?". Mereka yang sudah dewasa dianggap sudah semestinya menjalin hubungan dengan pasangan hidup.
Tetapi, sebetulnya apakah psikologi juga pernah menjelaskan bagaimana cara yang baik atau setidaknya cara ideal untuk menjalin kedekatan ? Spesifiknya, sebelum pernikahan ?. Tetapi berikutnya adalah, Erik Erikson itu tokoh dari barat, sementara Indonesia katanya termasuk daerah timur dan memegang adat ketimuran. Lalu, benarkah tugas perkembangan seperti disebutnya berlaku pada rentang usia yang sama untuk orang Indonesia?. Hasil browsingan menunjukkan, orang barat, di usia yang masih 17 tahunan sudah lepas dari keluarga. Mereka mulai berjuang hidup sendiri secara mandiri. Ya, itulah budaya barat yang individualis. Sementara itu, anak-anak bangsa ini, di usia 17 tahun bukankah kebanyakan masih berlindung di bawah orangtua, kasarannya, dalam hal keuangan juga masih minta orangtua ?. Itulah budaya kolektivis.
Lantas, dimanakah titik temu dua keadaan yang berbeda tersebut ? Bisakah, orang kita yang belum mandiri ikut-ikutan mengemban tugas perkembangan seperti disebutkan ? Ini yang belum kutemukan. Di satu sisi, ketertarikan terhadap lawan jenis adalah hal wajar. Tetapi, cara manusia "masa kini" mengekspresikannya sangatlah beragam. Sayang, sebagian diantaranya kebablasan dan salah jalan.
Jadi, apa manfaat tulisan ini ? Lagi-lagi sekedar berawal dan berakhir dengan tanda tanya.
0 comments:
Post a Comment