Terkadang
pesimisme terhadap masa depan Indonesia mencuat beriringan dengan keyakinan
akan datangnya masa depan yang lebih baik untuk bangsa ini. Adalah sebuah ironi
saat kita menyaksikan kenyataan bahwa di negeri yang disebut-sebut sebagai
tanah surga ini, masih saja ada anak-anak yang demi bisa bersekolah harus
mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi jembatan yang tinggal separuh bagian.
Belum lagi, mereka yang tinggal di daerah pinggiran harus bersekolah dalam mode waspada setiap saat karena atap sekolah yang nyaris rubuh. Ada juga yang dengan pantang menyerah menempuh jarak puluhan kilometer, berjalan kaki, menyeberang sungai tanpa sepatu dan tanpa seragam. Sementara itu di tempat lain, ada juga yang berkecukupan, orangtuanya memiliki kemampuan finansial berlebih, gedung sekolah layak dan buku yang banyak justru malas belajar, tidak tertarik untuk menjadi siswa terbaik. Lebih ekstrim lagi ada yang memilih untuk kabur dari rumah, enggan bersekolah dengan mengatas namakan pencarian kebebasan.
Belum lagi, mereka yang tinggal di daerah pinggiran harus bersekolah dalam mode waspada setiap saat karena atap sekolah yang nyaris rubuh. Ada juga yang dengan pantang menyerah menempuh jarak puluhan kilometer, berjalan kaki, menyeberang sungai tanpa sepatu dan tanpa seragam. Sementara itu di tempat lain, ada juga yang berkecukupan, orangtuanya memiliki kemampuan finansial berlebih, gedung sekolah layak dan buku yang banyak justru malas belajar, tidak tertarik untuk menjadi siswa terbaik. Lebih ekstrim lagi ada yang memilih untuk kabur dari rumah, enggan bersekolah dengan mengatas namakan pencarian kebebasan.
Mengapa
mereka yang serba terbatas mau bersusah-susah bersekolah sementara yang
dilengkapi segala fasilitas, dicukupi segela kebutuhan justru minim keinginan
untuk belajar ?
Mari,
merefleksikan ini pada diri kita sendiri. Anda yang saat ini masih berstatus pelajar,
pernahkah Anda merasa bahwa pendidikan itu membosankan, tidak berguna, bahkan
sia-sia? Anda yang saat ini sudah bekerja, masih ingatkah bagaimana dulu Anda
belajar di sekolah ? Termasuk siswa yang rajin dan penuh antusiaskah Anda ? Anda, yang saat ini sudah menjadi orangtua, apa yang Anda rasakan ketika anak
Anda gagal mencapai prestasi seperti yang Anda inginkan?
Kisah-kisah
inspiratif yang bertebaran di televisi, internet, hingga toko buku telah banyak
membuktikan bahwa kesulitan juga keterbatasan bukanlah penghalang kesuksesan.
Dari mulai Laskar Pelangi hingga Tegar si pengamen yang kini namanya telah
dikenal sebagai penyanyi, menjadi bukti hidup bahwa keterbatasan keadaan sama
sekali tidak berimplikasi pada kemustahilan membuat pencapaian. Lalu, apa yang
menyebabkan mereka, (anak-anak pelosok negeri yang harus bersekolah dalam
keprihatinan, anggota Laskar Pelangi, hingga Tegar si penyanyi cilik dan masih
banyak lagi pejuang hidup lainnya) bisa sedemikian gigih menghadapi kondisi
yang serba sulit itu ?
Faktor
mendasar yang mampu menggerakkan setiap perilaku manusia adalah jawabannya.
Biasanya kita menggunakan istilah motivasi untuk menyebut dorongan dari dalam
diri tersebut. Weiten (2013) mengartikan motivasi sebagai keinginan untuk
menakhlukan tantangan yang sulit, untuk menjadi lebih dari orang lain, dan
untuk mendapatkan standar keistimewaan yang tinggi. Sedangkan Baron (2001)
mendefinisikan motivasi sebagai proses internal yang tidak dapat diamati secara
langsung tetapi mampu mengaktifkan, memandu dan mengatur perilaku orang.
Weiten
(2013) menggolongkan motivasi menjadi beberapa jenis seperti motivasi memenuhi
kebutuhan makan, kebutuhan seks, serta kebutuhan akan pencapaian atau prestasi
(motivation of achievement). Dalam kasus
yang telah disebutkan di atas, dorongan akan suatu pencapaian bisa menjadi
jawaban bagi faktor penggerak individu hingga mereka tetap mau berusaha
mengukir prestasi. Lalu, apa yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa ada
siswa yang rela berjalan puluhan kilometer untuk mencapai sekolah, sementara
mereka yang dengan mudah bisa pergi ke sekolah dan memiliki gedung sekolah yang
megah masih ada saja yang enggan belajar ?
Atkinson
dalam Weiten (2013) menyebutkan ada tiga faktor situasional yang berperan
penting dalam menentukan perilaku seseorang untuk mencapai sesuatu yaitu :
-
Kekuatan motivasi untuk mencapai kesuksesan
-
Estimasi seseorang terhadap kemungkinan untuk mencapai kesuksesan
- Insentif
yang mungkin didapat jika berhasil mencapai sesuatu. Konsep ini berkaitan
dengan reward yang ingin didapat
sesorang jika ia memiliki suatu pencapaian.
Ini berarti bahwa terdapat perbedaan antarindividu dalam kadar motivasi, estimasi serta insentif. Setiap orang bisa memilih untuk memiliki motivasi yang rendah atau tinggi, melakukan estimasi positif maupun negatif, serta bisa dipegaruhi insentif sebagai penyemangat maupun tidak.
Mereka
yang dengan penuh semangat pergi ke sekolah meski harus menempuh perjalanan
yang sangat jauh tentu memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi dibanding
mereka yang difasilitasi secara lengkap tetapi malas belajar. Mereka yang
tinggal di daerah pelosok dan luput dari perhatian pemerintah, yang terpaksa
harus belajar dalam keprihatinan barangkali juga memiliki estimasi lebih
positif seperti, adanya keyakinan tinggi bahwa dengan belajar di sekolah itulah
mereka akan bisa mewujudkan cita-cita yang mereka miliki, mendapatkan pekerjaan
yang layak dan bisa menghasilkan lebih banyak uang untuk membantu orangtua
serta membeli apa saja yang saat ini sekedar mimpi bagi mereka. Baron (2001)
menyebutkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh adanya ekspektasi outcome di masa yang akan dating (expectancy theory).
Sedangkan
anak-anak yang dicukupi segala keperluannya tetapi masih malas belajar, ini
disebabkan oleh rendahnya dukungan situasi di sekeliling mereka sehingga tidak
ada paksaan atau keharusan bagi mereka untuk mengestimasikan masa depan. Salah
satu penyebabnya justru karena kecukupan fasilitas yang dimiliki saat ini
dianggap sebagai hal biasa. Misalnya dari segi finansial pun mereka telah
tercukupi sehingga estimasi dalam hal finansial dalam benak mereka tentu tidak
sama dengan mereka yang sejak kecil hidup dalam keterbatasan finansial.
Begitu pula dari segi insentif yang berkaitan dengan reward yang bisa didapat jika mereka mencapai keberhasilan dalam belajar. Misalnya, mereka yang hidup dalam kekurangan melihat hadiah berupa seragam baru sebagai benda yang istimewa. Sementara mereka yang merasa ‘kaya’ tentu menganggap seragam sekolah sebagai hadiah yang sangat biasa dan tidak menarik untuk diperjuangkan.
Tanpa mendapat prestasi di sekolah pun mereka sudah bisa memiliki benda tersebut.
Begitu pula dari segi insentif yang berkaitan dengan reward yang bisa didapat jika mereka mencapai keberhasilan dalam belajar. Misalnya, mereka yang hidup dalam kekurangan melihat hadiah berupa seragam baru sebagai benda yang istimewa. Sementara mereka yang merasa ‘kaya’ tentu menganggap seragam sekolah sebagai hadiah yang sangat biasa dan tidak menarik untuk diperjuangkan.
Tanpa mendapat prestasi di sekolah pun mereka sudah bisa memiliki benda tersebut.
Selain
itu, faktor yang juga ikut menentukan perilaku seseorang adalah seperti
dijelaskan oleh Wade & Tavris (2008) bahwa pendekatan yang umum digunakan
untuk memahami motivasi berprestasi adalah adanya tujuan. Baron (2001) menyebut
adanya keterkaitan antara tujuan dan motivasi sebagai goal-setting theory dimana tujuan memberi pengaruh sangat kuat pada
motivasi. Menurutnya tujuan akan dapat tercapai ketika ia bersifat specific, challenging, and attainable.
Selain itu tujuan juga hanya akan tercapai ketika seseorang memiliki komitmen
yang kuat untuk mencapainya.
Dalam kasus perbandingan semangat belajar antara mereka yang terbatas dari segi finansial dan sarana dengan mereka yang berkecukupan, pada dasarnya kita tidak dapat secara pasti menjelaskan apa kiranya yang menjadi tujuan dari tindakan mereka apabila tidak melakukan serangkaian pengamatan maupun wawancara mendalam. Namun, secara umum setiap orang pasti menginginkan hidup yang lebih baik terlebih, mereka yang saat ini memang sedang berada dalam kondisi yang kurang baik.
Elliot & Sheldon dalam (Wade & Tavris 2008:176) menyebut bahwa tujuan membuat individu menjadi lebih fokus pada kepuasan intrinsik yang bisa didapat saat prestasi yang dikejar menjadi kenyataan. Tujuan itu sendiri menurut Dweck & Sorich dalam (Wade & Tavris, 2008:178) dapat dibagi menjadi dua yaitu tujuan kinerja dan tujuan penguasaan.
“…orang-orang yang termotivasi dengan tujuan kinerja lebih mengutamakan penilaian positif yang diberikan orang lain terhadap dirinya, dan menghindari kritik dari orang lain. Orang-orang yang termotivasi oleh tujuan penguasaan akan lebih mengutamakan kepuasan intrinsik dalam proses pencapaian sasaran”. Dweck & Sorich dalam (Wade & Tavris, 2008:178)
Anak-anak negeri yang memiliki semangat pantang menyerah tentu dapat dikategorikan memiliki tujuan penguasaan. Mereka belajar untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka tentang bagaimana membaca, menghitung, dan menulis. Mereka belajar semata-mata untuk menguasai ilmu pengetahuan. Mereka sangat menghargai proses belajar. Tetap berangkatnya mereka ke sekolah meskipun bangunan sekolah sudah reyot, perjalanan ke sekolah yang penuh rintangan, guru yang kadang datang kadang juga tidak karena sulitnya medan yang harus ditempuh membuktikan bahwa ada keinginan kuat dalam diri mereka yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh apa yang terjadi di luar diri mereka.
Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi memegang peranan penting dalam mempengaruhi output perilaku setiap individu termasuk tunas-tunas bangsa ini yang semangat maupun kurang semangat dalam menuntut ilmu di sekolah. Diperlukan adanya motivasi intrinsik sebagai pondasi penggerak rasa ingin tahu dalam menuntut ilmu serta motivasi eksternal sebagai penguat keberlanjutan semangat mencapai prestasi. Sudah semestinya kita belajar dari mereka yang menjalani hari-harinya dengan keyakinan dan antusiasme tinggi karena motivasi itu sendiri sebetulnya bisa kita kondisikan agar selalu menyala sebagaimana seharusnya.
Daftar Pustaka
Baron,
Robert A., 2001. Psychology Fifth Edition.
Needham Heights: Pearson Education Company.
Taylor,
Shelley E.,dkk. 2009. Psikologi Sosial Edisi
Kedua Belas. Jakarta: Kencana.
Wade,
Carole & Carol Tavris. 2007. Psikologi
Edisi Kesembilan Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Weiten,
Wayne. 2013. Psychology Themes and
Variations 9th Edition. Belmont: Wadsworth.
0 comments:
Post a Comment