Saturday, 6 May 2017

Profil Kriminal Pembunuh Berantai : Tommy Lynn Sells

Pembunuhan yang dilakukan terhadap Katy Harris (10 tahun) disaksikan oleh Krystal Surles (7 tahun). Saat kejadian, keduanya sedang tidur dalam kamar dengan tempat tidur bertingkat. Keterangan tentang siapa pelaku yang menyebabkan hilangnya nyawa Katy Haris diperoleh dari keterangan yang disampaikan oleh Krystal Surles. Meski pelaku juga mencoba melukai Krystal Surles dengan menggorok leher gadis kecil ini, ia berhasil melalui masa pengobatan sampai akhirnya  mampu memberikan keterangan kepada pihak kepolisian tentang ciri-ciri pelaku.
Krystal menceritakan bahwa orang yang membunuh Katy dan melukai dirinya adalah seorang pria, berambut keriting yang panjangnya setengkuk (leher belakang), berbadan besar, terlihat mengerikan, wajahnya berjenggot tebal, dan rambut jambang dan jenggoot pria itu memenuhi mukanya. Mata pria tersebut gelap dan dalam. Krystal mampu mendeskripsikan secara jelas ciri-ciri fisik pelaku karena saat pembunuhan itu terjadi lampu kamar menyala (sebelum mereka tidur lampu telah dimatikan).
Malam hari saat kejadian, Krystal yang tidur di bagian atas kasur bertingkat terbangun karena mendengar teriakan Katy, kemudian saat membuka mata Krystal melihat dengan jelas (lampu kamar menyala) seorang pria memegang mulut Katy sedangkan tangan lainnya memegang pisau kemudian ia melukai leher Katy dengan pisau tersebut hingga Katy jatuh tersungkur dan menusuk Katy berulang kali.
Menurut keterangan Krystal, setelah menyaksikan korbannya tidak berdaya lagi, pelaku meninggalkan korban kemudian membuka pintu dan hampir mematikan lampu kamar sebelum akhirnya ia menyadari bahwa ada orang lain dalam ruangan itu (yaitu Krystal) yang memandang ke arahnya. Pelaku kemudian meraih korban (Krystal) yang berusaha menghindar ke sisi kanan tempat tidur, tetapi pelaku tetap berhasil menarik dan melukai leher Krystal. 
Krystal lalu jatuh tersungkur dan berpura-pura mati. Melihat korbannya "mati" pelaku pun pergi. Sesaat kemudian Krystal mendengar pintu kamar telah ditutup oleh pelaku. Ia kemudian melihat ke arah luar dan melihat cahaya dari rumah lain di seberang yang kemudian ia tuju untuk meminta pertolongan. Meski dengan luka parah di leher, Krystal yang menyangka bahwa semua orang di rumahnya telah dibunuh juga oleh pelaku, mengumpulkan segenap sisa tenaganya untuk menembus gelapnya malam ke arah rumah lain, sumber harapan adanya pertolongan.
Berdasarkan ciri fisik yang diutarakan melaui tulisan oleh Krystal, seorang seniman forensik diminta untuk membuat sketsa wajah pelaku. Sketsa wajah ini kemudian digunakan untuk mengumpulkan orang-orang yang memiliki kedekatan ciri sebagaimana digambarkan. Foto dari orang-orang itu kemudian dikumpulkan, dan Krystal diminta untuk menunjuk satu diantara foto itu yang merupakan foto pelaku. Krystal pun menunjuk foto Tommy Lyn Sells.

Tommy Lynn Sells
Sketsa Wajah Tommy Lynn Sells
Proses pencarian pun dilakukan terhadap Tommy dan akhirya penangkapan dilakukan tanpa perlawanan apapun dari Tommy, bahkan saat ditangkap ia mengatakan “Aku senang akhirnya bisa ditangkap. Aku merasa lelah melakukan semua ini”. Saat diminta untuk melakukan reka adegan saat ia membunuh Katy, Tommy kooperatif dan bersikap tenang, tidak menunjukkan tanda penyesalan atas apa yang dilakukan olehnya. 
Tommy mengaku masuk melalui jendela kemudian menemukan Katy yang sedang tertidur. Ia lalu memotong bra dan pakaian dalam Katy dan melakukan pelecehan terhadapnya. Saat Katy terbangun, Tommy kemudian menusuk Katy dari belakang lalu menggorok leher Katy. Bahkan, Tommy kemudian mengakui bahwa sebelumnya ia telah berkali-kali membunuh orang. Diketahui pula bahwa Tommy malam hari sebelum kejadian ia tampak berada di bar dan diusir karena menggoda seorang bartender.
Tommy adalah seorang pembunuh berantai (serial murder). Pembunuhan berantai adalah serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh satu orang pelaku (Brown & Campbell, 2010). Diketahui bahwa Tommy adalah pelaku atas lebih dari 70 pembunuhan yang tersebar di banyak tempat di Amerika. Seperti disebutkan sebelumnya, Tommy bahkan mengakui sendiri bahwa sebelum membunuh Katy, ia sudah penah melakukan pembunuhan lainnya. Umumya pembunuhan berantai berawal dari hasrat seksual (Brown & Campbell, 2010). 
Dalam kasus pembunuhan Katy, hal tersebut tampaknya juga terjadi. Sebelum akhirnya membunuh Katy, Tommy sempat memotong bra dan pakaian dalam Katy lalu melecehkan gadis tersebut. Malam sebelum kejadian, Tommy juga menggoda bartender di bar sampai akhirnya ia diusir. Meski demikian, motif seksual tidak selalu menjadi alasan Tommy untuk membunuh orang lain karena ia tidak hanya membunuh wanita tetapi juga pria dan anak-anak.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan dalam memahami alasan di balik pembunuhan ini adalah tidak adanya tanda penyesalan pada diri Tommy, bahkan ia mengatakan merasa senang bisa tertangkap. Dengan lancar dan tenang Tommy mampu menjelaskan tahap-tahap penyiksaan yang ia lakukan terhadap korbannya sampai meregang nyawa. Hal tersebut menunjukkan ketiadaan kepekaan emosional sekaligus adanya kendali penuh, kontrol dan kesadaran saat Tommy melukai dan membunuh korbannya. 
Davison, dkk. (2012) menyebut bahwa ciri perilaku gangguan kepribadian psikopatik, pertama yaitu ketidaklekatan emosional yang mana individu bersifat egois dan tidak memiliki penyesalan atas apa pun dan merasa senang (naik harga dirinya) jika mampu mengeksploitasi orang lain. Kedua, psikopati dicirikan dengan impulsivitas dan ketidak bertanggungjawaban.
Ketika ditelusuri Tommy Lyn Sells sebenarnya tidak memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga Harris (keluarga korban). Bahkan ayah Katy justru membantu Tommy dengan memberinya nasihat untuk kehidupan pernikahnnya. Apalagi dengan Katy dan Krystal, jelas Tommy tidak memiliki masalah apapun yang layak dijadikan dasar untuk melukai dan membunuh dua anak tersebut. Setelah kejadian juga tidak ditemukan adanya kehilangan atau kerugian barang berharga yang dialami keluarga tersebut. Dengan kata lain, tidak ada motif pencurian atau perampokan dalam kasus ini. Sehingga besar kemungkinan indikator kedua dari ciri psikopati yaitu impulsifitas dan ketidak bertanggungjawaban sebagaimana disebut dalam DSM V yang mencakup psikopati dalam Anti-social Personality Disorder (APD) terpenuhi. Tommy kemungkinan melukai dan membunuh korban tanpa alasan tertentu yang bisa diterima akal sehat, melainkan lebih karena mengikuti dorongan yang kuat dalam dirinya untuk menikmati sensasi saat ia bisa menguasai nyawa orang lain.
Dalam kasus psikopati, tidak adanya penyesalan dan rasa bersalah disebabkan oleh rendahnya respon emosional dan rasa empati pada diri psikopat (Cooke et al, 2005 dalam Marsh, 2013). Ini diyakini berhubungan dengan disfungsi pada daerah amigdala (pusat memori dan pengaturan emosi pada manusia, sehingga apabila amigdala tidak berfungsi dengan baik, maka akan mempengaruhi individu dalam merespon emosi.). Pada sebuah studi, pemindaian otak melalui fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) pada subjek psikopat menunjukkan abnormalitas pada amigdala. Seorang psikopat juga mengalami defisit dalam “respon takut” sehingga tidak memiliki kecemasan terhadap apa pun selayaknya manusia lainnya (Cleckey, 19981 dalam Marsh, 2013).
Seorang psikopat menurut Cleckley (1957 dalam Davison,dkk, 2012) tidak mampu mengambil hikmah dari pengalaman hidup termasuk dari hukuman. Sehingga tidak mengherankan apabila psikopat cenderung melanggar hukum dan seperti tidak pernah jera meski telah berulang kali dipenjara. Begitu pula dengan Tommy yang sebelumnya sudah beberapa kali keluar-masuk penjara akibat kasus pencurian maupun pembunuhan lalu kemudian kembali melukai dan membunuh orang. Kekebalan terhadap rasa cemas, takut, bersalah menjelaskan mengapa seorang psikopat tega menjadi sebab atas penderitaan bahkan kematian orang lain.
Menurut penelitian, psikopati salah satunya dapat dijelaskan akibat adanya gen psikopati yang diturunkan dan dibawa sebagai potensi sejak lahir. Lebih lanjut apakah gen tersebut akan berperan dalam menjadikan seseorang sebagai individu yang ‘jahat’ bahkan sadis dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama keluarga. 
McCord & McCord (1964 dalam Davison, dkk., 2012) menjelaskan bahwa sebab utama berkembangnya karakteristik psikopati disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dan penolakan orang tua. Selain itu perilaku psikopati juga berhubungan dengan inkonsistensi orangtua dalam mendisiplinkan anak, mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain, adanya penyiksaan fisik dan kehilangan orangtua (Marshall & Cooke, 1999; Johnson, dkk., 1999 dalam Davison, dkk, 2012). Sehingga orangtua sebagai pengasuh dianggap berperan dalam menentukan perkembangan karakter psikopati. Viding (2012) mengungkapkan bahwa anak dengan karakter psikopat tidak selalu menjadi jahat karena dia dapat bertingkah baik apabila dibesarkan dengan warm parenting (keluarga yang hangat, memberi kasih sayang yang cukup). Hal tersebut menunjukkan bahwa gen psikopat dapat ditutupi sehingga tidak muncul sebagai sifat (fenotip) dominan dalam diri seorang individu.
Sedangkan dalam kasus Tommy, ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak kondusif. Ibunya tidak memberi kasih sayang yang cukup dan cenderung bersifat dingin atau tidak mempedulikan anaknya. Tommy memiliki ibu seorang single parent. Tommy sempat diasuh oleh bibinya sampai umur lima tahun, sebelum akhirnya ibu Tommy menjemputnya kembali saat sang bibi sudah mulai menyayangi Tommy sebagai anak laki-lakinya. 
Kemudian saat diasuh oleh ibu kandungnya sendiri Tommy lebih banyak diabaikan. Ia juga jarang masuk sekolah dan di usia 7 tahun Tommy sudah mengonsumsi alkohol. Kemudian saat berusia 8 tahun Tommy tinggal bersama seorang pria (tetangganya) yang memberi perhatian dan banyak hadiah kepadanya. Namun selama hidup bersama pria ini, Tommy sering dianiaya. Meski demikian, Tommy sudah terbiasa karena penganiayaan itu sudah dialami sejak ia berusia 8 tahun. Saat berusia 10 tahun ia mulai menghisap mariyuana dan ia dikeluarkan dari sekolahnya. Saat itu pula ibu dan saudara-saudaranya meninggalkan dirinya begitu saja, sehingga Tommy mulai hidup berpindah-pindah dan melakukan apa saja termasuk mencuri apa yang ia inginkan. Tommy melakukan pembunuhan pertamanya saat berusia 16 tahun dan keluar-masuk penjara karena berbagai tindak kriminal.
Lingkungan yang buruk berperan besar dalam membentuk karakter Tommy yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap orang lain. Ia adalah individu yang dibesarkan dengan pengabaian dan kekerasan, sampai ia menganggap kekerasan adalah hal biasa. Ini diperparah dengan konsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat terlarang sejak ia masih kanak-kanak. Kasus pembunuhan kejam yang menimpa Katy bukan kasus pertama bagi Tommy, sebelumnya ia bahkan pernah menghabisi nyawa keluarga Dardeen, yang berbaik hati memberi Tommy Lynn Sells makanan di rumahnya. Namun yang terjadi justru pembantaian mengerikan yang mana Tommy menembak Dardeen dan memutilasi penisnya. Tommy juga membunuh anak Dardeen yang berusia 3 tahun menggunakan palu. Kemudian Tommy memukul istri Dardeen yang sedang hamil dengan palu sampai ia melahirkan bayi dalam kandungannya. Selanjutnya Tommy membunuh keduanya (ibu dan anak tersebut).
Berdasarkan kasus pembunuhan Katy dan keluarga Dardeen diketahui bahwa Tommy membunuh korban yang beragam karakteristiknya, dengan cara yang beragam pula. Ia bahkan tidak segan-segan menyiksa korbannya sebelum maupun sesudah kematian meski mereka sebenarnya tidak sedikitpun melakukan kesalahan terhadap Tommy Lynn Sells. Apabila diidentifikasi dengan skala kekejian (evil scale) yang disusun oleh Milestone, tindakan Tommy ada di level yang paling tinggi yaitu level 22, yang mana pembunuhan disertai dengan penyiksaan. Penyiksaan menjadi motif utama, sehingga pelaku menikmati proses penyiksaan lebih dari pembunuhan itu sendiri. Pada level 22, psikotisme seseorang ada pada tingkat yang paling tinggi, yang mana di sebagian besar kasus kejahatan ini disertai seksualitas sebagai motifnya.
Apabila dijelaskan dengan perspektif psikoanalisa, perilaku kejahatan sebagaimana yang dilakukan Tommy Lyn Sells adalah hasil dari instink (dorongan alamiah yang berasal dari dalam diri individu itu). Kejahatan disebabkan oleh tiga hal yaitu : (1) Ketidakmampuan mengontrol dorongan kriminal (id) karena lemahnya perkembangan ego dan superego; (2) Karakter antisosial terbentuk akibat gangguan pada perkembangan ego; dan (3) Perkembangan superego yang berlebihan membuat id sulit terpuaskan sehingga menyebabkan gangguan neurotik (Koentjoro, 2013). 
Tommy yang secara impulsif bisa membunuh “siapa saja” memiliki dorongan dari dalam yang meski sulit diterima akal sehat, faktanya ia memang tidak membuat rencana dan persiapan atau memiliki riwayat hubungan yang buruk dengan para korbannya. Sehingga Tommy kemungkinan membunuh ketika ada keinginan atau hasrat ingin membunuh sebagaimana dijelaskan mekanismenya dalam psikoanalisa ini. 
Sedangkan apabila dilihat dari sudut pandang behaviorisme, perilaku manusia adalah hasil belajar, maka perilaku Tommy kemungkinan adalah hal yang dipelajari bahkan sejak ia masih kanak-kanak (Koentjoro, 2013). Kekerasan telah menjadi keseharian baginya. Dari orang-orang terdekatnya pun kurang ada upaya untuk mencontohkan bagaimana perilaku yang positif atau ‘benar’. Tidak ada nilai-nilai, norma dan sikap orang-orang terdekatnya yang bisa dijadikan panutan. Bahkan Tommy diabaikan oleh ibunya sendiri. Padahal menurut Bowlby (1944 dalam Howitt, 2015)  perpisahan antara ibu dan anak mencegah terjadinya perkembangan kemampuan sosial. Buruknya kemampuan sosial diduga menjadi penyebab anak mengalami masalah jangka panjang dalam membangun relasi positif dengan orang lain dan cenderung mengarah pada pola perilaku antisosial.
Referensi :
American Psychiatric Assosiation. (2013). Diagnostic and satistical manual of mental disorders (5th ed.). Washington, DC : Author.
Brown, J.M. & Campbell, E.A. (2010). The cambridge handbook of forensic psychology. Cambridge, London.

Davison, G. C., Neale, J.M., Kring, A, M. (2012). Psikologi abnormal edisi ke-9. Jakarta: Rajawali Pers.

Howitt, D. (2015). Introduction to forensic and criminal psychology. Pearson : New Yor


Koentjoro. (2013). Kriminologi dalam perspektif psikologi sosial. Diakses dari http://koentjoro-psy.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/Kriminologi-1.pdf pada 24 April 2017.

Margaretha. (2014, 4 Oktober). Gradasi kekejian: tingkat pembunuhan keji menurut michael stone (2009). Psikologiforensik.com [on-line]. Diakses dari https://psikologiforensik.com/2014/10/04/gradasi-kekejian-tingkat-pembunuhan-keji-menurut-michael-stone-2009/ pada 24 April 2017. 
Marsh, A. (2013). What can we learn about emotion by studying psychopathy? Frontiers in Human Neuroscience, 7(May), 181. doi:10.3389/fnhum.2013.00181


Montaldo, C. (2017, 5 Februari). Profile of serial killer tommy lynn sells. Diakses dari https://www.thoughtco.com/serial-killer-tommy-lynn-sells-973154 pada 20 April 2017.

Rowe, C., Ruggiero, N., Ruotolo, C., & Smith, J. (2005). Sells, tommy lynn : Coast to coast killer. Diakses dari http://maamodt.asp.radford.edu/Psyc%20405/serial%20killers/Sells,%20Tommy%20Lynn%20-%202005.pdf pada 18 April 2017.

Viding, E., & McCrory, E. J. (2012). Genetic and neurocognitive contributions to the development of psychopathy. Development and Psychopathology, 24(3), 969–83. doi:10.1017/S095457941200048X
Young, C. (2010, 4 September). Live to tell:Krystal’s courage. Diakses dari http://www.cbsnews.com/news/live-to-tell-krystals-courage-04-09-2010/ pada 20 April 2017.
 


0 comments:

Post a Comment