Pembunuhan yang
dilakukan terhadap Katy Harris (10 tahun) disaksikan oleh Krystal Surles (7
tahun). Saat kejadian, keduanya sedang tidur dalam kamar dengan tempat tidur
bertingkat. Keterangan tentang siapa pelaku yang menyebabkan hilangnya nyawa
Katy Haris diperoleh dari keterangan yang disampaikan oleh Krystal Surles.
Meski pelaku juga mencoba melukai Krystal Surles dengan menggorok leher gadis kecil ini, ia berhasil melalui masa
pengobatan sampai akhirnya mampu memberikan keterangan kepada pihak
kepolisian tentang ciri-ciri pelaku.
Krystal
menceritakan bahwa orang yang membunuh Katy dan melukai dirinya adalah seorang
pria, berambut keriting yang panjangnya setengkuk (leher belakang), berbadan
besar, terlihat mengerikan, wajahnya berjenggot tebal, dan rambut jambang dan jenggoot
pria itu memenuhi mukanya. Mata pria tersebut gelap dan dalam. Krystal mampu
mendeskripsikan secara jelas ciri-ciri fisik pelaku karena saat pembunuhan itu
terjadi lampu kamar menyala (sebelum mereka tidur lampu telah dimatikan).
Malam hari saat
kejadian, Krystal yang tidur di bagian atas kasur bertingkat terbangun karena
mendengar teriakan Katy, kemudian saat membuka mata Krystal melihat dengan
jelas (lampu kamar menyala) seorang pria memegang mulut Katy sedangkan tangan
lainnya memegang pisau kemudian ia melukai leher Katy dengan pisau tersebut
hingga Katy jatuh tersungkur dan menusuk Katy berulang kali.
Menurut
keterangan Krystal, setelah menyaksikan korbannya tidak berdaya lagi, pelaku
meninggalkan korban kemudian membuka pintu dan hampir mematikan lampu kamar
sebelum akhirnya ia menyadari bahwa ada orang lain dalam ruangan itu (yaitu Krystal)
yang memandang ke arahnya. Pelaku kemudian meraih korban (Krystal) yang
berusaha menghindar ke sisi kanan tempat tidur, tetapi pelaku tetap berhasil
menarik dan melukai leher Krystal.
Krystal lalu jatuh tersungkur dan berpura-pura mati. Melihat korbannya "mati" pelaku pun pergi. Sesaat kemudian Krystal mendengar pintu kamar telah ditutup oleh pelaku. Ia kemudian melihat ke arah luar dan melihat cahaya dari rumah lain di seberang yang kemudian ia tuju untuk meminta pertolongan. Meski dengan luka parah di leher, Krystal yang menyangka bahwa semua orang di rumahnya telah dibunuh juga oleh pelaku, mengumpulkan segenap sisa tenaganya untuk menembus gelapnya malam ke arah rumah lain, sumber harapan adanya pertolongan.
Krystal lalu jatuh tersungkur dan berpura-pura mati. Melihat korbannya "mati" pelaku pun pergi. Sesaat kemudian Krystal mendengar pintu kamar telah ditutup oleh pelaku. Ia kemudian melihat ke arah luar dan melihat cahaya dari rumah lain di seberang yang kemudian ia tuju untuk meminta pertolongan. Meski dengan luka parah di leher, Krystal yang menyangka bahwa semua orang di rumahnya telah dibunuh juga oleh pelaku, mengumpulkan segenap sisa tenaganya untuk menembus gelapnya malam ke arah rumah lain, sumber harapan adanya pertolongan.
Berdasarkan ciri
fisik yang diutarakan melaui tulisan oleh Krystal, seorang seniman forensik
diminta untuk membuat sketsa wajah pelaku. Sketsa wajah ini kemudian digunakan
untuk mengumpulkan orang-orang yang memiliki kedekatan ciri sebagaimana
digambarkan. Foto dari orang-orang itu kemudian dikumpulkan, dan Krystal
diminta untuk menunjuk satu diantara foto itu yang merupakan foto pelaku. Krystal
pun menunjuk foto Tommy Lyn Sells.
Tommy Lynn Sells |
Sketsa Wajah Tommy Lynn Sells |
Proses pencarian
pun dilakukan terhadap Tommy dan akhirya penangkapan dilakukan tanpa perlawanan
apapun dari Tommy, bahkan saat ditangkap ia mengatakan “Aku senang akhirnya
bisa ditangkap. Aku merasa lelah melakukan semua ini”. Saat diminta untuk
melakukan reka adegan saat ia membunuh Katy, Tommy kooperatif dan bersikap
tenang, tidak menunjukkan tanda penyesalan atas apa yang dilakukan olehnya.
Tommy mengaku masuk melalui jendela kemudian menemukan Katy yang sedang tertidur. Ia lalu memotong bra dan pakaian dalam Katy dan melakukan pelecehan terhadapnya. Saat Katy terbangun, Tommy kemudian menusuk Katy dari belakang lalu menggorok leher Katy. Bahkan, Tommy kemudian mengakui bahwa sebelumnya ia telah berkali-kali membunuh orang. Diketahui pula bahwa Tommy malam hari sebelum kejadian ia tampak berada di bar dan diusir karena menggoda seorang bartender.
Tommy mengaku masuk melalui jendela kemudian menemukan Katy yang sedang tertidur. Ia lalu memotong bra dan pakaian dalam Katy dan melakukan pelecehan terhadapnya. Saat Katy terbangun, Tommy kemudian menusuk Katy dari belakang lalu menggorok leher Katy. Bahkan, Tommy kemudian mengakui bahwa sebelumnya ia telah berkali-kali membunuh orang. Diketahui pula bahwa Tommy malam hari sebelum kejadian ia tampak berada di bar dan diusir karena menggoda seorang bartender.
Tommy adalah
seorang pembunuh berantai (serial murder). Pembunuhan berantai adalah
serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh satu orang pelaku (Brown &
Campbell, 2010). Diketahui bahwa Tommy adalah pelaku atas lebih dari 70
pembunuhan yang tersebar di banyak tempat di Amerika. Seperti disebutkan sebelumnya, Tommy bahkan
mengakui sendiri bahwa sebelum membunuh Katy, ia sudah penah melakukan
pembunuhan lainnya. Umumya pembunuhan berantai berawal dari hasrat seksual
(Brown & Campbell, 2010).
Dalam kasus pembunuhan Katy, hal tersebut tampaknya juga terjadi. Sebelum akhirnya membunuh Katy, Tommy sempat memotong bra dan pakaian dalam Katy lalu melecehkan gadis tersebut. Malam sebelum kejadian, Tommy juga menggoda bartender di bar sampai akhirnya ia diusir. Meski demikian, motif seksual tidak selalu menjadi alasan Tommy untuk membunuh orang lain karena ia tidak hanya membunuh wanita tetapi juga pria dan anak-anak.
Dalam kasus pembunuhan Katy, hal tersebut tampaknya juga terjadi. Sebelum akhirnya membunuh Katy, Tommy sempat memotong bra dan pakaian dalam Katy lalu melecehkan gadis tersebut. Malam sebelum kejadian, Tommy juga menggoda bartender di bar sampai akhirnya ia diusir. Meski demikian, motif seksual tidak selalu menjadi alasan Tommy untuk membunuh orang lain karena ia tidak hanya membunuh wanita tetapi juga pria dan anak-anak.
Hal lain yang
penting untuk diperhatikan dalam memahami alasan di balik pembunuhan ini adalah
tidak adanya tanda penyesalan pada diri Tommy, bahkan ia mengatakan merasa
senang bisa tertangkap. Dengan lancar dan tenang Tommy mampu menjelaskan
tahap-tahap penyiksaan yang ia lakukan terhadap korbannya sampai meregang
nyawa. Hal tersebut menunjukkan ketiadaan kepekaan emosional sekaligus adanya
kendali penuh, kontrol dan kesadaran saat Tommy melukai dan membunuh korbannya.
Davison, dkk. (2012) menyebut bahwa ciri perilaku gangguan kepribadian psikopatik, pertama yaitu ketidaklekatan emosional yang mana individu bersifat egois dan tidak memiliki penyesalan atas apa pun dan merasa senang (naik harga dirinya) jika mampu mengeksploitasi orang lain. Kedua, psikopati dicirikan dengan impulsivitas dan ketidak bertanggungjawaban.
Davison, dkk. (2012) menyebut bahwa ciri perilaku gangguan kepribadian psikopatik, pertama yaitu ketidaklekatan emosional yang mana individu bersifat egois dan tidak memiliki penyesalan atas apa pun dan merasa senang (naik harga dirinya) jika mampu mengeksploitasi orang lain. Kedua, psikopati dicirikan dengan impulsivitas dan ketidak bertanggungjawaban.
Ketika
ditelusuri Tommy Lyn Sells sebenarnya tidak memiliki hubungan yang buruk dengan
keluarga Harris (keluarga korban). Bahkan ayah Katy justru membantu Tommy
dengan memberinya nasihat untuk kehidupan pernikahnnya. Apalagi dengan Katy dan
Krystal, jelas Tommy tidak memiliki masalah apapun yang layak dijadikan dasar
untuk melukai dan membunuh dua anak tersebut. Setelah kejadian juga tidak
ditemukan adanya kehilangan atau kerugian barang berharga yang dialami keluarga
tersebut. Dengan kata lain, tidak ada motif pencurian atau perampokan dalam
kasus ini. Sehingga besar kemungkinan indikator kedua dari ciri psikopati yaitu
impulsifitas dan ketidak bertanggungjawaban sebagaimana disebut dalam DSM V
yang mencakup psikopati dalam Anti-social Personality Disorder (APD) terpenuhi. Tommy kemungkinan melukai dan membunuh korban tanpa
alasan tertentu yang bisa diterima akal sehat, melainkan lebih karena mengikuti
dorongan yang kuat dalam dirinya untuk menikmati sensasi saat ia bisa menguasai
nyawa orang lain.
Dalam kasus
psikopati, tidak adanya penyesalan dan rasa bersalah disebabkan oleh rendahnya
respon emosional dan rasa empati pada diri psikopat (Cooke et al, 2005 dalam
Marsh, 2013). Ini diyakini berhubungan dengan disfungsi pada daerah
amigdala
(pusat memori dan pengaturan
emosi pada manusia, sehingga apabila amigdala tidak berfungsi dengan baik, maka
akan mempengaruhi individu dalam merespon emosi.). Pada sebuah studi, pemindaian otak melalui fMRI (functional Magnetic
Resonance Imaging) pada subjek
psikopat menunjukkan abnormalitas pada amigdala. Seorang psikopat juga
mengalami defisit dalam “respon takut” sehingga tidak memiliki
kecemasan terhadap apa pun selayaknya manusia lainnya (Cleckey, 19981 dalam Marsh, 2013).
Seorang psikopat
menurut Cleckley (1957 dalam Davison,dkk, 2012) tidak mampu mengambil hikmah
dari pengalaman hidup termasuk dari hukuman. Sehingga tidak mengherankan
apabila psikopat cenderung melanggar hukum dan seperti tidak pernah jera meski
telah berulang kali dipenjara. Begitu pula dengan Tommy yang sebelumnya sudah
beberapa kali keluar-masuk penjara akibat kasus pencurian maupun pembunuhan
lalu kemudian kembali melukai dan membunuh orang.
Kekebalan terhadap rasa cemas, takut, bersalah menjelaskan mengapa seorang
psikopat tega menjadi sebab atas penderitaan bahkan kematian orang lain.
Menurut penelitian, psikopati salah
satunya dapat dijelaskan akibat adanya gen psikopati yang diturunkan dan dibawa
sebagai potensi sejak lahir. Lebih lanjut apakah gen tersebut akan berperan
dalam menjadikan seseorang sebagai individu yang ‘jahat’ bahkan sadis
dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama keluarga.
McCord & McCord (1964 dalam Davison, dkk., 2012) menjelaskan bahwa sebab utama berkembangnya karakteristik psikopati disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dan penolakan orang tua. Selain itu perilaku psikopati juga berhubungan dengan inkonsistensi orangtua dalam mendisiplinkan anak, mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain, adanya penyiksaan fisik dan kehilangan orangtua (Marshall & Cooke, 1999; Johnson, dkk., 1999 dalam Davison, dkk, 2012). Sehingga orangtua sebagai pengasuh dianggap berperan dalam menentukan perkembangan karakter psikopati. Viding (2012) mengungkapkan bahwa anak dengan karakter psikopat tidak selalu menjadi jahat karena dia dapat bertingkah baik apabila dibesarkan dengan warm parenting (keluarga yang hangat, memberi kasih sayang yang cukup). Hal tersebut menunjukkan bahwa gen psikopat dapat ditutupi sehingga tidak muncul sebagai sifat (fenotip) dominan dalam diri seorang individu.
McCord & McCord (1964 dalam Davison, dkk., 2012) menjelaskan bahwa sebab utama berkembangnya karakteristik psikopati disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dan penolakan orang tua. Selain itu perilaku psikopati juga berhubungan dengan inkonsistensi orangtua dalam mendisiplinkan anak, mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain, adanya penyiksaan fisik dan kehilangan orangtua (Marshall & Cooke, 1999; Johnson, dkk., 1999 dalam Davison, dkk, 2012). Sehingga orangtua sebagai pengasuh dianggap berperan dalam menentukan perkembangan karakter psikopati. Viding (2012) mengungkapkan bahwa anak dengan karakter psikopat tidak selalu menjadi jahat karena dia dapat bertingkah baik apabila dibesarkan dengan warm parenting (keluarga yang hangat, memberi kasih sayang yang cukup). Hal tersebut menunjukkan bahwa gen psikopat dapat ditutupi sehingga tidak muncul sebagai sifat (fenotip) dominan dalam diri seorang individu.
Sedangkan dalam
kasus Tommy, ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak kondusif. Ibunya tidak
memberi kasih sayang yang cukup dan cenderung bersifat dingin atau tidak
mempedulikan anaknya. Tommy memiliki ibu seorang single parent. Tommy
sempat diasuh oleh bibinya sampai umur lima tahun, sebelum akhirnya ibu Tommy
menjemputnya kembali saat sang bibi sudah mulai menyayangi Tommy sebagai anak
laki-lakinya.
Kemudian saat diasuh oleh ibu kandungnya sendiri Tommy lebih banyak diabaikan. Ia juga jarang masuk sekolah dan di usia 7 tahun Tommy sudah mengonsumsi alkohol. Kemudian saat berusia 8 tahun Tommy tinggal bersama seorang pria (tetangganya) yang memberi perhatian dan banyak hadiah kepadanya. Namun selama hidup bersama pria ini, Tommy sering dianiaya. Meski demikian, Tommy sudah terbiasa karena penganiayaan itu sudah dialami sejak ia berusia 8 tahun. Saat berusia 10 tahun ia mulai menghisap mariyuana dan ia dikeluarkan dari sekolahnya. Saat itu pula ibu dan saudara-saudaranya meninggalkan dirinya begitu saja, sehingga Tommy mulai hidup berpindah-pindah dan melakukan apa saja termasuk mencuri apa yang ia inginkan. Tommy melakukan pembunuhan pertamanya saat berusia 16 tahun dan keluar-masuk penjara karena berbagai tindak kriminal.
Kemudian saat diasuh oleh ibu kandungnya sendiri Tommy lebih banyak diabaikan. Ia juga jarang masuk sekolah dan di usia 7 tahun Tommy sudah mengonsumsi alkohol. Kemudian saat berusia 8 tahun Tommy tinggal bersama seorang pria (tetangganya) yang memberi perhatian dan banyak hadiah kepadanya. Namun selama hidup bersama pria ini, Tommy sering dianiaya. Meski demikian, Tommy sudah terbiasa karena penganiayaan itu sudah dialami sejak ia berusia 8 tahun. Saat berusia 10 tahun ia mulai menghisap mariyuana dan ia dikeluarkan dari sekolahnya. Saat itu pula ibu dan saudara-saudaranya meninggalkan dirinya begitu saja, sehingga Tommy mulai hidup berpindah-pindah dan melakukan apa saja termasuk mencuri apa yang ia inginkan. Tommy melakukan pembunuhan pertamanya saat berusia 16 tahun dan keluar-masuk penjara karena berbagai tindak kriminal.
Lingkungan yang
buruk berperan besar dalam membentuk karakter Tommy yang tidak mempunyai belas
kasihan terhadap orang lain. Ia adalah individu yang dibesarkan dengan
pengabaian dan kekerasan, sampai ia menganggap kekerasan adalah hal biasa. Ini
diperparah dengan konsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat terlarang sejak ia
masih kanak-kanak. Kasus pembunuhan kejam yang menimpa Katy bukan kasus pertama
bagi Tommy, sebelumnya ia bahkan pernah menghabisi nyawa keluarga Dardeen, yang
berbaik hati memberi Tommy Lynn Sells makanan di rumahnya. Namun yang terjadi
justru pembantaian mengerikan yang mana Tommy menembak Dardeen dan memutilasi
penisnya. Tommy juga membunuh anak Dardeen yang berusia 3 tahun menggunakan
palu. Kemudian Tommy memukul istri Dardeen yang sedang hamil dengan palu sampai
ia melahirkan bayi dalam kandungannya. Selanjutnya Tommy membunuh keduanya (ibu
dan anak tersebut).
Berdasarkan
kasus pembunuhan Katy dan keluarga Dardeen diketahui bahwa Tommy membunuh
korban yang beragam karakteristiknya, dengan cara yang beragam pula. Ia bahkan
tidak segan-segan menyiksa korbannya sebelum maupun sesudah kematian meski
mereka sebenarnya tidak sedikitpun melakukan kesalahan terhadap Tommy Lynn
Sells. Apabila diidentifikasi dengan skala kekejian (evil scale) yang
disusun oleh Milestone, tindakan Tommy ada di level yang paling tinggi yaitu
level 22, yang mana pembunuhan disertai dengan penyiksaan. Penyiksaan menjadi
motif utama, sehingga pelaku menikmati proses penyiksaan lebih dari pembunuhan
itu sendiri. Pada level 22, psikotisme seseorang ada pada tingkat yang paling
tinggi, yang mana di sebagian besar kasus kejahatan ini disertai seksualitas
sebagai motifnya.
Apabila
dijelaskan dengan perspektif psikoanalisa, perilaku kejahatan sebagaimana yang
dilakukan Tommy Lyn Sells adalah hasil dari instink (dorongan alamiah yang
berasal dari dalam diri individu itu). Kejahatan disebabkan oleh tiga hal yaitu
: (1) Ketidakmampuan mengontrol dorongan kriminal (id) karena lemahnya
perkembangan ego dan superego; (2) Karakter antisosial terbentuk akibat
gangguan pada perkembangan ego; dan (3) Perkembangan superego yang berlebihan
membuat id sulit terpuaskan sehingga menyebabkan gangguan neurotik (Koentjoro,
2013).
Tommy yang secara impulsif bisa membunuh “siapa saja” memiliki dorongan dari dalam yang meski sulit diterima akal sehat, faktanya ia memang tidak membuat rencana dan persiapan atau memiliki riwayat hubungan yang buruk dengan para korbannya. Sehingga Tommy kemungkinan membunuh ketika ada keinginan atau hasrat ingin membunuh sebagaimana dijelaskan mekanismenya dalam psikoanalisa ini.
Tommy yang secara impulsif bisa membunuh “siapa saja” memiliki dorongan dari dalam yang meski sulit diterima akal sehat, faktanya ia memang tidak membuat rencana dan persiapan atau memiliki riwayat hubungan yang buruk dengan para korbannya. Sehingga Tommy kemungkinan membunuh ketika ada keinginan atau hasrat ingin membunuh sebagaimana dijelaskan mekanismenya dalam psikoanalisa ini.
Sedangkan
apabila dilihat dari sudut pandang behaviorisme, perilaku manusia adalah hasil
belajar, maka perilaku Tommy kemungkinan adalah hal yang dipelajari bahkan
sejak ia masih kanak-kanak (Koentjoro, 2013). Kekerasan telah menjadi
keseharian baginya. Dari orang-orang terdekatnya pun kurang ada upaya untuk
mencontohkan bagaimana perilaku yang positif atau ‘benar’. Tidak ada
nilai-nilai, norma dan sikap orang-orang terdekatnya yang bisa dijadikan
panutan. Bahkan Tommy diabaikan oleh ibunya sendiri. Padahal menurut Bowlby
(1944 dalam Howitt, 2015) perpisahan
antara ibu dan anak mencegah terjadinya perkembangan kemampuan sosial. Buruknya
kemampuan sosial diduga menjadi penyebab anak mengalami masalah jangka panjang
dalam membangun relasi positif dengan orang lain dan cenderung mengarah pada
pola perilaku antisosial.
Referensi :
American
Psychiatric Assosiation. (2013). Diagnostic and
satistical manual of mental disorders (5th
ed.). Washington, DC : Author.
Brown, J.M. & Campbell,
E.A. (2010). The cambridge handbook of forensic psychology. Cambridge,
London.
Davison, G. C., Neale, J.M.,
Kring, A, M. (2012). Psikologi abnormal edisi ke-9. Jakarta: Rajawali
Pers.
Howitt, D. (2015). Introduction
to forensic and criminal psychology. Pearson : New Yor
Koentjoro. (2013). Kriminologi
dalam perspektif psikologi sosial. Diakses dari http://koentjoro-psy.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/Kriminologi-1.pdf pada 24 April 2017.
Margaretha.
(2014, 4 Oktober). Gradasi kekejian: tingkat pembunuhan keji menurut michael
stone (2009). Psikologiforensik.com [on-line]. Diakses dari https://psikologiforensik.com/2014/10/04/gradasi-kekejian-tingkat-pembunuhan-keji-menurut-michael-stone-2009/ pada 24 April
2017.
Marsh,
A. (2013). What can we learn about emotion by studying psychopathy? Frontiers
in Human Neuroscience, 7(May), 181. doi:10.3389/fnhum.2013.00181
Montaldo, C. (2017, 5 Februari). Profile
of serial killer tommy lynn sells. Diakses dari https://www.thoughtco.com/serial-killer-tommy-lynn-sells-973154
pada 20 April 2017.
Rowe, C., Ruggiero, N., Ruotolo, C.,
& Smith, J. (2005). Sells, tommy lynn : Coast to coast killer. Diakses dari
http://maamodt.asp.radford.edu/Psyc%20405/serial%20killers/Sells,%20Tommy%20Lynn%20-%202005.pdf pada 18 April
2017.
Viding, E., & McCrory, E.
J. (2012). Genetic and neurocognitive contributions to the development of
psychopathy. Development and Psychopathology, 24(3), 969–83.
doi:10.1017/S095457941200048X
Young, C. (2010, 4 September). Live
to tell:Krystal’s courage. Diakses dari http://www.cbsnews.com/news/live-to-tell-krystals-courage-04-09-2010/ pada 20 April
2017.
0 comments:
Post a Comment