Bukan hanya wanita yang senang memberi tanda atau kode-kode
untuk mengungkapkan maksud hatinya. Laki-laki pun pasti pernah
menggunakannya. Disadari maupun tidak, dalam setiap komunikasi langsung yang
kita kerjakan, selalu melibatkan gerakan tangan, ekspresi wajah, serta
penyesuaian postur tubuh. Misalnya saat sedang marah, tentu ekspresi yang kita
tunjukkan akan berbeda dengan orang yang sedang bahagia. Begitu pula saat ingin
bicara serius dengan ngobrol santai saja.
Bahasa non-verbal (bukan bahasa lisan) adalah anugerah Tuhan
yang mutlak harus disyukuri manusia. Bisa dibayangkan betapa hampanya hidup kita
jika tanpa ada ekspresi wajah, tanpa ada gerakan tangan dan badan. Bukankah
akan sangat mengerikan jika lawan bicara Anda hanya berbicara tanpa ekspresi, tanpa
gerakan sedikit pun, dengan mata yang menatap lurus ke depan, kosong ? Kalau
saya sih, memilih jalan memutar sebelum bertemu dengannya… Sungguh mengerikan.
Imajinasi di atas adalah bukti bahwa kita sudah sangat
terbiasa dengan adanya bahasa non verbal. Inilah sebabnya, sulit bagi kita
menerima untuk membayangkan situasi adanya manusia kaku seperti itu. Pada
umumnya manusia menggunakan ekspresi wajah, kontak mata, gerakan tangan dan
lain-lain untuk menguatkan pesan yang ingin ia sampaikan. Di luar sana banyak
sekali upaya yang telah dilakukan untuk memahami apa dan bagaimana bahasa non
verbal yang perlu diperhatikan agar kita mampu menangkap makna di baliknya.
Lagi-lagi, inilah uniknya manusia, gerakan alis sekalipun bisa jadi topik yang
sangat mengusik.
Sebelum membahas lebih dalam tentang bahasa non verbal,
perlu dikenali terlebih dahulu karakteristik bahasa non verbal yang memang
memiliki makna tertentu. Ya, tidak semua bahasa non verbal yang ditunjukkan
lawan bicara harus Anda pusingkan. Knapp (1978) dalam Hyes (2002) mengungkapkan
enam jenis penggunaan bahasa non verbal bisa berkaitan dengan bahasa verbal (ikut
menguatkan atau melemahkan bahasa verbal) yaitu :
1. Repeating (terjadi secara berulang)
Misalnya ketika seseorang menceritakan
suatu tempat, ia secara berulang menunjuk ke arah tertentu.
2. Contradicting (muncul
bahasa verbal yang bertentangan dengan bahasa non verbal)
Misalnya seseorang yang menggebrak meja
dengan keras sambil mengatakan, “Saya tidak sedang marah !”
3. Subtituting (bahasa non
verbal yang digunakan untuk menggantikan bahasa verbal)
Misalnya setelah memakan bakso, seseorang
mengangkat jempol kepada temannya di seberang yang bisa bermakna “Bakso ini
enak”.
4. Complementing (bahasa non
verbal yang bersifat melengkapi bahasa verbal)
Misalnya dalam budaya kita terdapat anjuran
untuk membungkuk saat lewat di depan orang yang lebih tua sambil mengatakan “Permisi..”.
5. Accenting (bahasa non
verbal yang berfungsi menekankan atau menguatkan sesuatu)
Misalnya seseorang yang menunjuk lawan
bicaranya sambil berkata “Kamu !”
6. Regulating (digunakannya
bahasa non verbal untuk mengatur jalannya pembicaraan)
Misalnya seseorang yang selalu berusaha
menjaga kontak mata dengan lawan bicaranya. Contoh lainnya, saat seseorang ingin
mengungkapkan pendapat dalam rapat, ia mengangkat tangan untuk masuk dalam
pembicaraan.
Bahasa non verbal memang tergolong kompleks
untuk dimengerti karena sejauh ini kita tidak mengenal kamus bahasa non verbal.
Begitu banyaknya jumlah bahasa non verbal, membuatnya sulit bahkan mustahil
untuk dibukukan. Selain itu bahasa non verbal juga berlainan satu dengan
lainnya, sebagai akibat dari faktor budaya. Sebagai contoh, bisa Anda
bandingkan gelengan kepala orang Indonesia dan India yang tentu berbeda
maknanya.
Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk melihat diri sendiri bagaimana bahasa non verbal yang selama ini kita gunakan ? Apakah itu sudah cukup untuk mengekspresikan apa yang sebenarnya ingin kita sampaikan ? Jika belum, Anda bisa mulai belajar membiasakan diri untuk menyesuaikan antara bahasa verbal dan non verbal. Meskipun Hayes (2002) menyebutkan bahwa mayoritas orang memang merasa kesulitan untuk mengontrol cara mereka berperilaku dan bahasa non verbal yang mereka tampilkan.
Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk melihat diri sendiri bagaimana bahasa non verbal yang selama ini kita gunakan ? Apakah itu sudah cukup untuk mengekspresikan apa yang sebenarnya ingin kita sampaikan ? Jika belum, Anda bisa mulai belajar membiasakan diri untuk menyesuaikan antara bahasa verbal dan non verbal. Meskipun Hayes (2002) menyebutkan bahwa mayoritas orang memang merasa kesulitan untuk mengontrol cara mereka berperilaku dan bahasa non verbal yang mereka tampilkan.
Bahasa non verbal adalah sumber informasi yang
sangat kaya. Ibaratnya, bahasa non verbal adalah kode-kode rahasia yang secara
brsama-sama dengan bahasa verbal harus kita pahami untuk mengetahui makna pesan
sebenarnya yang ingin disampaikan orang lain kepada kita. Begitu pula sebaliknya. Jika kita menginginkan orang lain menangkap pesan yang kita sampaikan kepada mereka, maka sepatutnya pula kita berusaha menyesuaikan antara bahasa verbal dan non verbal yang kita tampilkan. Jika tidak, ini mungkin saja akan menjadi awal kesalahpahaman.
Referensi
Hayes, John. (2002). Interpersonal Skills: Goal Directed
Behavior at Work. New York : Routledge.
mbak nur .... keren masih sering blogging
ReplyDeletewaaahh...senangnya dikunjungi seniman,kangen, lama tak jumpa :)
Delete