Perilaku sebagai
aspek yang tampak mampu mencerminkan hal-hal yang dipikirkan dan dirasakan oleh
manusia. Secara biologis, otak telah disepakati sebagai pusat kendali atas
setiap perilaku yang dimunculkan manusia (Weiten, 2013). Beriringan dengan hal
tersebut harus dipahami bahwa sebagai makhluk yang kompleks, hubungan antara
fungsi kognitif yang dilaksanakan oleh otak dengan ekspresi perilaku yang
muncul tidak mutlak sebagai hukum sebab akibat. Begitu pula dalam memahami
perilaku sehat yang relatif beragam.
Transtheoritical
model hadir sebagai kerangka berpikir
untuk menjelaskan bagaimana seseorang atau sekelompok orang mau merubah
perilaku dan terus melakukannya secara berkelanjutan untuk mengoptimalkan
kesehatan (Shumaker, et al., 2009). Teori ini menyajikan tahapan-tahapan yang
dijalani seseorang atau sekelompok orang yang memutuskan untuk mengadopsi suatu
perilaku dengan tujuan mendapatkan dan menjaga kesehatan.
Kekhasan teori
ini dibanding lainnya adalah menggunakan dimensi waktu dan tahapan perubahan untuk
mengintegrasikan proses dan prinsip perubahan perilaku dari berbagai teori
pendahulu, sehingga dinamakan ‘transtheoritical’. Model yang muncul dari
teori psikoterapi dan perubahan perilaku ini bertujuan mengintegrasikan lebih
dari 300 teori yang telah terbagi-bagi. Analisis komparatif yang dilakukan,
mengidentifikasi 10 proses dalam perubahan perilaku, seperti adanya kesadaran
(dalam Freudian), manajemen kemungkinan (dalam Skinnerian) serta helping
relationship (dalam Rogerian) (Prochaska, J. O. & Wayne F.V, 1997).
James O.
Prochaska melihat bahwa meskipun para tokoh psikoterapi tampak berbeda satu
dengan lainnya, terdapat kesamaan tentang bagaimana mereka memandang proses
perubahan (Manoj Sharma & J. A Romas, 2012). Dalam penelitiannya, James O.
Prochaska & Wayne F.V (tokoh transtheoritical model) menganalisis perokok yang berusaha
merubah perilaku merokoknya sendiri dibandingkan mereka yang berada dalam
penanganan profesional. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa mereka
menggunakan proses yang berbeda dari waktu ke waktu saat berjuang untuk
berhenti merokok. Diketahui pula bahwa perubahan perilaku terjadi dalam seperangkat
tahapan. Berdasarkan penelitian ini, model yang telah disusun digunakan secara
luas dalam menjelaskan perilaku sehat termasuk kesehatan mental.
Definisi dan Komponen Transtheoritical Model (TTM)
TTM adalah
model integratif yang menjelaskan bahwa di tahap awal perubahan perilaku ,
orang melibatkan proses kognitif, afektif dan evaluatif untuk membantu mereka
berkembang atau mencapai kemajuan secara bertahap (Shumaker, et al., 2009). Konstruk inti dalam transtheoritical
model mencakup enam tahap, sepuluh proses, pro dan kontra perubahan
perilaku, self efficacy serta hal-hal yang merintangi seseorang untuk
berubah. James O. Prochaska & Wayne F.V (1997) menyatakan bahwa dalam transtheoritical
model perubahan dimaknai sebagai proses perkembangan yang berlangsung dalam
waktu dan melalui enam tahap. Mereka menjelaskan tahap-tahap tersebut sebagai berikut :
1.
Precontemplation adalah tahap saat seseorang masih
tidak berniat mengubah perilakunya. Tahapan yang mungkin terjadi karena tidak
adanya informasi yang diperoleh ini, biasanya berlangsung selama enam bulan. Tidak
adanya niat untuk berubah juga bisa disebabkan karena seseorang dahulu sudah pernah
beberapa kali mencoba merubah perilaku tetapi belum mencapai keberhasilan
sehingga semangat mereka menurun. Indikasi dalam tahap precontemplation adalah
keengganan seseorang untuk membaca, membicarakan atau memikirkan perilaku
berisikonya.
2.
Contemplation adalah tahap saat seseorang
memiliki niatan untuk berubah dalam enam bulan ke depan. Seseorang berada dalam
tahap lebih peduli terhadap sisi positif dan negatif perubahan perilaku. Namun
demikian, keseimbangan yang mungkin terbentuk antara cost (usaha atau
pengorbanan) dalam merubah perilaku dengan benefit (manfaat yang
diharapkan) justru dapat menjadikan seseorang menunda perubahan. Akibatnya,
mereka tidak beranjak dari tahap ini dalam waktu yang lama.
3.
Preparation adalah tahap saat seseorang siap
bertindak, siap berubah dalam waktu dekat. Biasanya dihitung selama 1 bulan.
Mereka telah memiliki rencana untuk membuat perubahan misalnya dengan mengikuti
kelas edukasi kesehatan, berkonsultasi dengan konselor dan lain-lain.
4.
Action adalah tahap yang mana seseorang telah
memperlihatkan perubahan perilaku yang jelas dan spesifik dalam gaya hidupnya
selama enam bulan terakhir. Artinya, tidak semua perubahan perilaku dianggap
sebagai action. Perubahan perilaku seseorang yang bisa dikategorikan
masuk dalam tahap action hanyalah perilaku yang memang bertujuan
mengurangi risiko penyakit.
5.
Maintenance adalah tahap saat seseorang
berupaya mencegah dirinya kembali pada
perilaku lama (perilaku tidak sehat). Pada tahap ini proses perubahan yang
dijalani tidak sesering tahap action. Mereka semakin percaya diri untuk
mempertahankan dan melanjutkan perubahan yang telah dilakukan. Diperkirakan
tahap ini berlangsung antara enam hingga lima tahun.
6.
Termination adalah
tahap ketika seorang individu tidak memiliki keinginan sama sekali untuk kembali
melakukan kebiasaan lama yang tidak sehat. Mereka memiliki self efficacy 100% (rasa mampu berperilaku sehat). Apa pun yang terjadi, entah itu depresi, bosan,
cemas, sendirian, marah, atau stres, mereka tidak akan kembali pada kebiasaan
lama (yang tidak sehat) untuk menghadapinya.
Keputusan untuk beralih ke perilaku sehat,
dalam pandangan transtheoritical model berlangsung dalam enam tahapan
seperti dijelaskan di atas. Perubahan tersebut bisa diperoleh dengan adanya
proses yang mencakup aktivitas tampak dan tidak tampak. Proses adalah
variabel-variabel independen yang dibutuhkan seseorang untuk bisa melalui tahap
demi tahap tersebut. Berdasarkan penelitian James O. Prochaska & Wayne F.V
(1997) ada sepuluh proses dalam transtheoritical model yaitu :
1. Consciousness raising (peningkatan kesadaran) yaitu terdapat peningkatan kesadaran tentang penyebab, konsekuensi, dan
penyembuhan untuk masalah perilaku tertentu. Intervensi yang dapat meningkatkan kesadaran contohnya feedback
(umpan balik), edukasi, konfrontasi, interpretasi, bibliotherapy, dan kampanye media.
2. Dramatic relief adalah hal-hal yang bisa meningkatkan pengalaman emosional sehingga seseorang
menginginkan perubahan perilaku, contohnya psikodrama, role
playing, testimoni personal, dan kampanye media.
3. Self-reevaluation yaitu saat seseorang menggabungkan penilaian kognitif
dan afektif atas dirinya, dengan dan tanpa kebiasaan tidak sehat tertentu.
Contohnya saat seseorang mengklarifikasi nilai dan membandingkan diri sendiri
dengan role model yang sehat.
4. Environmental reevaluation adalah penilaian afektif dan kognitif tentang ada atau tidaknya
dan bagaimana kebiasaan pribadi yang tidak sehat mempengaruhi lingkungan sosial seperti pengaruh merokok
pada orang lain. Hal ini juga dapat menyebabkan seseorang mempunyai kesadaran bahwa
ia telah menjadi model peran positif atau negatif bagi orang lain. Pelatihan
empati, dokumenter, dan intervensi keluarga bisa menjadi awal
environmental reevaluation.
5. Self-liberation adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu berubah dan memiliki komitmen
untuk berubah. Contohnya, resolusi tahun baru, kesaksian publik, dan pilihan
tindakan yang lebih dari 1, diyakini dapat
meningkatkan willpower (kekuatan kemauan).
6. Social liberation berarti ketersediaan kesempatan sosial atau alternatif khususnya bagi
orang-orang yang relatif tertindas oleh perilaku tidak sehat. Advokasi, prosedur pemberdayaan, dan kebijakan yang tepat
diperlukan
agar social liberation meningkat, contohnya zona bebas asap dan peraturan dilarang merokok.
7. Counterconditioning artinya diperlukan
pembelajaran perilaku sehat yang dapat menggantikan perilaku yang bermasalah.
Misalnya relaksasi sebagai counter
stress, makanan bebas lemak sebagai pengganti makanan yang berkalori
banyak.
8. Stimulus control adalah menghilangkan isyarat kebiasaan yang tidak sehat dan menambah alternatif anjuran yang lebih sehat. Penghindaran, rekayasa ulang
lingkungan, dan kelompok bantuan dapat memberi rangsangan yang mendukung
perubahan perilaku. Contohnya, pembuatan tempat parkir yang letaknya
memerlukan waktu dua menit dicapai dengan jalan kaki dari kantor serta membuat
lukisan seni di tangga gedung bisa mendukung orang untuk berolahraga ringan.
9. Contingency management adalah
ketersediaan konsekuensi saat seseorang mengambil langkah untuk berubah. Dalam
penelitian James
O. Prochaska & Wayne F.V (1997) diketahui bahwa reward lebih mudah
membuat seseorang melakukan perubahan perilaku dibanding dengan punishment.
Artinya, diperlukan penguatan supaya seseorang mau mengulang perilaku sehatnya.
10. Helping relationship adalah adanya kepedulian, kepercayaan, keterbukaan dan penerimaan dari
lingkungan sosial seperti kerabat dan teman dekat bisa meningkatkan kemungkinan
seseorang mau merubah dirinya dan berperilaku sehat.
Dalam transtheoritical model juga terdapat konsep decisional
balance, self efficacy dan temptation yang ikut berpengaruh terhadap proses perubahan
perilaku (James
O. Prochaska & Wayne F.V., 1997). Decisional balance merefleksikan pertimbangan sisi positif dan negatif
yang dilakukan seseorang yang akan merubah perilaku. Pertimbangan yang
dilakukan bisa menguatkan keinginan untuk berubah dan bisa sebaliknya. Begitu
pula dengan self
efficacy (keyakinan seseorang tentang
kemampuannya merubah perilaku) dan temptation
(intensitas faktor pendukung munculnya perilaku
tertentu dalam situasi yang sulit).
Aplikasi
dan Penerapan
James O. Prochaska & Wayne F.V (1997) menyebut penerapan transtheoritical
model yang paling umum dilakukan
adalah dengan menyesuaikan sistem komunikasi ahli yang digunakan dengan
kebutuhan masing-masing target individu yang akan dirubah perilakunya.
Perlakuan yang diberikan disesuaikan dengan sejauh mana subyek telah mencapai
tahap-tahap dalam transtheoritical model. Beberapa penelitian, membuat intervensi
berdasarkan transtheoritical
model untuk menghadapi perilaku seperti
merokok, penyalahgunaan alkohol, penggunaan kondom, manajemen stress, mencegah bullying dan lain-lain.
Dicontohkan
bahwa untuk menghentikan perilaku merokok, intervensi diawali dengan langkah merekrut
subyek penelitian dengan menelepon atau menelepon dengan disertai pengiriman
surat ke rumah subyek. Kemudian peneliti berupaya mencocokkan keadaan subyek
dengan tahap-tahap dalam transtheoritical model. Mengetahui keberadaan subyek dalam
tahapan tersebut penting dilakukan agar intervensi menjadi tepat sasaran.
Intervensi yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan peran teknologi
(program komputer) dan konselor. Subyek diberi informasi tentang “status” tahap
perilaku merokoknya disertai anjuran perilaku yang sesuai. Misalnya, subyek
yang berada dalam tahap contemplation stage dianjurkan untuk menunda
selama 30 menit aktivitas merokok di pagi hari. Sementara itu subyek yang telah
mampu melalui tahap ini, diberi penguatan agar perubahan perilakunya konsisten
(James O. Prochaska & Wayne F.V, 1997).
Contoh penerapan lainnya yang bisa dilakukan berdasarkan transtheoritical
model adalah mengurangi konsumsi makanan cepat saji yang berlebihan.
Pertama, dilakukan asesmen terhadap individu untuk mengetahui di tahap mana
perilakunya berada. Kemudian, disusun intervensi sesuai kondisi tersebut.
Variabel-variabel dalam proses transtheoritical model dmunculkan agar
perubahan perilaku yang diinginkan menjadi optimal. Misalnya seseorang berada
dalam tahap contemplation. Ini bisa dioptimalkan dengan paparan dramatic
relief agar ia segera yakin untuk
berusaha merubah perilaku kemudian berlanjut pada tahap action dan
seterusnya.
Kelebihan
dan Kelemahan Transtheoritical Model
Kelebihan
yang dimiliki TTM adalah adanya seperangkat pola umum dalam proses perubahan
yang bisa diaplikasikan secara luas (digeneralisasikan) dalam berbagai macam perilaku.
Selain itu, TTM mampu mengintegrasikan teori-teori terdahulu yang berusaha
menjelaskan fenomena di balik perubahan perilaku. Sedangkan kelemahannya, TTM tidak
menjelaskan sejauh mana kemungkinan adanya faktor lain seperti perceived risk, subjective norms,
dan
severity of the problem ikut
mempengaruhi perubahan perilaku (Shumaker,
et al., 2009). Menurut Bandura dalam (Lenio, n.d.) kelemahan
TTM yaitu, fungsi manusia terlalu kompleks dan multidimensi untuk dapat
dikategorikan dalam tahap tertentu. Di samping itu, tidak ada bukti empiris
yang menjelaskan bahwa enam bulan adalah rentang waktu yang sesuai dalam tahap
TTM (Kraft, et al. dalam Lenio, n.d).
Referensi
Lenio, James A.
(n.d.). Analysis of the Transtheoretical Model of Behavior Change. Journal
of Student Research, 73-86
Prochaska , J. O. & Wayne F.V. (1997). The Transtheoretical Model of
Health Behavior Change. American Journal of Health Promotion: September/October 1997, Vol. 12, No. 1, pp.
38-48.
Sharma, Manoj &
J. A. Romas. (2012). Theoretical Fondation of Health Education and Helath
Promotion Second Edition. Sudbury : Jones & Bartlett Learning.
Shumaker, et al. (Ed). (2009). The Handbook of Health Behavior
Change. New York : Springer.
Weiten, Wayne. (2013). Psychology Themes and Variations 9th
Edition. Belmont: Wadsworth.
0 comments:
Post a Comment