Saturday, 24 October 2015

Perilaku Sehat dalam Perspektf Transtheoritical Model



Perilaku sebagai aspek yang tampak mampu mencerminkan hal-hal yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Secara biologis, otak telah disepakati sebagai pusat kendali atas setiap perilaku yang dimunculkan manusia (Weiten, 2013). Beriringan dengan hal tersebut harus dipahami bahwa sebagai makhluk yang kompleks, hubungan antara fungsi kognitif yang dilaksanakan oleh otak dengan ekspresi perilaku yang muncul tidak mutlak sebagai hukum sebab akibat. Begitu pula dalam memahami perilaku sehat yang relatif beragam.

Transtheoritical model hadir sebagai kerangka berpikir untuk menjelaskan bagaimana seseorang atau sekelompok orang mau merubah perilaku dan terus melakukannya secara berkelanjutan untuk mengoptimalkan kesehatan (Shumaker, et al., 2009). Teori ini menyajikan tahapan-tahapan yang dijalani seseorang atau sekelompok orang yang memutuskan untuk mengadopsi suatu perilaku dengan tujuan mendapatkan dan menjaga kesehatan.

Kekhasan teori ini dibanding lainnya adalah menggunakan dimensi waktu dan tahapan perubahan untuk mengintegrasikan proses dan prinsip perubahan perilaku dari berbagai teori pendahulu, sehingga dinamakan ‘transtheoritical’. Model yang muncul dari teori psikoterapi dan perubahan perilaku ini bertujuan mengintegrasikan lebih dari 300 teori yang telah terbagi-bagi. Analisis komparatif yang dilakukan, mengidentifikasi 10 proses dalam perubahan perilaku, seperti adanya kesadaran (dalam Freudian), manajemen kemungkinan (dalam Skinnerian) serta helping relationship (dalam Rogerian) (Prochaska, J. O. & Wayne F.V, 1997).

James O. Prochaska melihat bahwa meskipun para tokoh psikoterapi tampak berbeda satu dengan lainnya, terdapat kesamaan tentang bagaimana mereka memandang proses perubahan (Manoj Sharma & J. A Romas, 2012). Dalam penelitiannya, James O. Prochaska & Wayne F.V  (tokoh transtheoritical model) menganalisis perokok yang berusaha merubah perilaku merokoknya sendiri dibandingkan mereka yang berada dalam penanganan profesional. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa mereka menggunakan proses yang berbeda dari waktu ke waktu saat berjuang untuk berhenti merokok. Diketahui pula bahwa perubahan perilaku terjadi dalam seperangkat tahapan. Berdasarkan penelitian ini, model yang telah disusun digunakan secara luas dalam menjelaskan perilaku sehat termasuk kesehatan mental.

Definisi dan Komponen Transtheoritical Model (TTM)

TTM adalah model integratif yang menjelaskan bahwa di tahap awal perubahan perilaku , orang melibatkan proses kognitif, afektif dan evaluatif untuk membantu mereka berkembang atau mencapai kemajuan secara bertahap (Shumaker, et al., 2009). Konstruk inti dalam transtheoritical model mencakup enam tahap, sepuluh proses, pro dan kontra perubahan perilaku, self efficacy serta hal-hal yang merintangi seseorang untuk berubah. James O. Prochaska & Wayne F.V (1997) menyatakan bahwa dalam transtheoritical model perubahan dimaknai sebagai proses perkembangan yang berlangsung dalam waktu dan melalui enam tahap. Mereka menjelaskan tahap-tahap tersebut sebagai berikut :
1.        Precontemplation adalah tahap saat seseorang masih tidak berniat mengubah perilakunya. Tahapan yang mungkin terjadi karena tidak adanya informasi yang diperoleh ini, biasanya berlangsung selama enam bulan. Tidak adanya niat untuk berubah juga bisa disebabkan karena seseorang dahulu sudah pernah beberapa kali mencoba merubah perilaku tetapi belum mencapai keberhasilan sehingga semangat mereka menurun. Indikasi dalam tahap precontemplation adalah keengganan seseorang untuk membaca, membicarakan atau memikirkan perilaku berisikonya.
2.        Contemplation adalah tahap saat seseorang memiliki niatan untuk berubah dalam enam bulan ke depan. Seseorang berada dalam tahap lebih peduli terhadap sisi positif dan negatif perubahan perilaku. Namun demikian, keseimbangan yang mungkin terbentuk antara cost (usaha atau pengorbanan) dalam merubah perilaku dengan benefit (manfaat yang diharapkan) justru dapat menjadikan seseorang menunda perubahan. Akibatnya, mereka tidak beranjak dari tahap ini dalam waktu yang lama.
3.        Preparation adalah tahap saat seseorang siap bertindak, siap berubah dalam waktu dekat. Biasanya dihitung selama 1 bulan. Mereka telah memiliki rencana untuk membuat perubahan misalnya dengan mengikuti kelas edukasi kesehatan, berkonsultasi dengan konselor dan lain-lain.
4.        Action adalah tahap yang mana seseorang telah memperlihatkan perubahan perilaku yang jelas dan spesifik dalam gaya hidupnya selama enam bulan terakhir. Artinya, tidak semua perubahan perilaku dianggap sebagai action. Perubahan perilaku seseorang yang bisa dikategorikan masuk dalam tahap action hanyalah perilaku yang memang bertujuan mengurangi risiko penyakit.
5.        Maintenance adalah tahap saat seseorang berupaya mencegah dirinya  kembali pada perilaku lama (perilaku tidak sehat). Pada tahap ini proses perubahan yang dijalani tidak sesering tahap action. Mereka semakin percaya diri untuk mempertahankan dan melanjutkan perubahan yang telah dilakukan. Diperkirakan tahap ini berlangsung antara enam hingga lima tahun.
6.        Termination adalah tahap ketika seorang individu tidak memiliki keinginan sama sekali untuk kembali melakukan kebiasaan lama yang tidak sehat. Mereka memiliki self efficacy 100% (rasa mampu berperilaku sehat). Apa  pun yang terjadi, entah itu depresi, bosan, cemas, sendirian, marah, atau stres, mereka tidak akan kembali pada kebiasaan lama (yang tidak sehat) untuk menghadapinya.

Keputusan untuk beralih ke perilaku sehat, dalam pandangan transtheoritical model berlangsung dalam enam tahapan seperti dijelaskan di atas. Perubahan tersebut bisa diperoleh dengan adanya proses yang mencakup aktivitas tampak dan tidak tampak. Proses adalah variabel-variabel independen yang dibutuhkan seseorang untuk bisa melalui tahap demi tahap tersebut. Berdasarkan penelitian James O. Prochaska & Wayne F.V (1997) ada sepuluh proses dalam transtheoritical model yaitu :
1.    Consciousness raising (peningkatan kesadaran) yaitu terdapat peningkatan kesadaran tentang penyebab, konsekuensi, dan penyembuhan untuk masalah perilaku tertentu. Intervensi yang dapat meningkatkan kesadaran contohnya feedback (umpan balik), edukasi, konfrontasi, interpretasi, bibliotherapy, dan kampanye media.
2.    Dramatic relief adalah hal-hal yang bisa meningkatkan pengalaman emosional sehingga seseorang menginginkan perubahan perilaku, contohnya psikodrama, role playing, testimoni personal, dan kampanye media.
3.    Self-reevaluation yaitu saat seseorang menggabungkan penilaian kognitif dan afektif atas dirinya, dengan dan tanpa kebiasaan tidak sehat tertentu. Contohnya saat seseorang mengklarifikasi nilai dan membandingkan diri sendiri dengan role model yang sehat.
4.    Environmental reevaluation adalah penilaian afektif dan kognitif tentang ada atau tidaknya dan bagaimana kebiasaan pribadi yang tidak sehat mempengaruhi lingkungan sosial seperti pengaruh merokok pada orang lain. Hal ini juga dapat menyebabkan seseorang mempunyai kesadaran bahwa ia telah menjadi model peran positif atau negatif bagi orang lain. Pelatihan empati, dokumenter, dan intervensi keluarga bisa menjadi awal environmental reevaluation.
5.    Self-liberation adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu berubah dan memiliki komitmen untuk berubah. Contohnya, resolusi tahun baru, kesaksian publik, dan pilihan tindakan  yang lebih dari 1, diyakini dapat meningkatkan willpower (kekuatan kemauan).
6.    Social liberation berarti ketersediaan kesempatan sosial atau alternatif khususnya bagi orang-orang yang relatif tertindas oleh perilaku tidak sehat. Advokasi, prosedur pemberdayaan, dan kebijakan yang tepat diperlukan agar social liberation meningkat, contohnya zona bebas asap dan peraturan dilarang merokok.
7.    Counterconditioning  artinya diperlukan pembelajaran perilaku sehat yang dapat menggantikan perilaku yang bermasalah. Misalnya relaksasi sebagai counter stress, makanan bebas lemak sebagai pengganti makanan yang berkalori banyak.
8.    Stimulus control adalah menghilangkan isyarat kebiasaan yang tidak sehat dan menambah alternatif anjuran yang lebih sehat. Penghindaran, rekayasa ulang lingkungan, dan kelompok bantuan dapat memberi rangsangan yang mendukung perubahan perilaku. Contohnya, pembuatan tempat parkir yang letaknya memerlukan waktu dua menit dicapai dengan jalan kaki dari kantor serta membuat lukisan seni di tangga gedung bisa mendukung orang untuk berolahraga ringan.
9.    Contingency management adalah ketersediaan konsekuensi saat seseorang mengambil langkah untuk berubah. Dalam penelitian James O. Prochaska & Wayne F.V (1997) diketahui bahwa reward lebih mudah membuat seseorang melakukan perubahan perilaku dibanding dengan punishment. Artinya, diperlukan penguatan supaya seseorang mau mengulang perilaku sehatnya.
10. Helping relationship adalah adanya kepedulian, kepercayaan, keterbukaan dan penerimaan dari lingkungan sosial seperti kerabat dan teman dekat bisa meningkatkan kemungkinan seseorang mau merubah dirinya dan berperilaku sehat.

Dalam transtheoritical model juga terdapat konsep decisional balance, self efficacy dan temptation yang ikut berpengaruh terhadap proses perubahan perilaku (James O. Prochaska & Wayne F.V., 1997). Decisional balance merefleksikan pertimbangan sisi positif dan negatif yang dilakukan seseorang yang akan merubah perilaku. Pertimbangan yang dilakukan bisa menguatkan keinginan untuk berubah dan bisa sebaliknya. Begitu pula dengan self efficacy (keyakinan seseorang tentang kemampuannya merubah perilaku) dan temptation (intensitas faktor pendukung munculnya perilaku tertentu dalam situasi yang sulit).

Aplikasi dan Penerapan

James O. Prochaska & Wayne F.V (1997) menyebut penerapan transtheoritical model yang paling umum dilakukan adalah dengan menyesuaikan sistem komunikasi ahli yang digunakan dengan kebutuhan masing-masing target individu yang akan dirubah perilakunya. Perlakuan yang diberikan disesuaikan dengan sejauh mana subyek telah mencapai tahap-tahap dalam  transtheoritical model. Beberapa penelitian, membuat intervensi berdasarkan transtheoritical model untuk menghadapi perilaku seperti merokok, penyalahgunaan alkohol, penggunaan kondom, manajemen stress, mencegah bullying dan lain-lain.

Dicontohkan bahwa untuk menghentikan perilaku merokok, intervensi diawali dengan langkah merekrut subyek penelitian dengan menelepon atau menelepon dengan disertai pengiriman surat ke rumah subyek. Kemudian peneliti berupaya mencocokkan keadaan subyek dengan tahap-tahap dalam transtheoritical model. Mengetahui keberadaan subyek dalam tahapan tersebut penting dilakukan agar intervensi menjadi tepat sasaran. Intervensi yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan peran teknologi (program komputer) dan konselor. Subyek diberi informasi tentang “status” tahap perilaku merokoknya disertai anjuran perilaku yang sesuai. Misalnya, subyek yang berada dalam tahap contemplation stage dianjurkan untuk menunda selama 30 menit aktivitas merokok di pagi hari. Sementara itu subyek yang telah mampu melalui tahap ini, diberi penguatan agar perubahan perilakunya konsisten (James O. Prochaska & Wayne F.V, 1997).

Contoh penerapan lainnya yang bisa dilakukan berdasarkan transtheoritical model adalah mengurangi konsumsi makanan cepat saji yang berlebihan. Pertama, dilakukan asesmen terhadap individu untuk mengetahui di tahap mana perilakunya berada. Kemudian, disusun intervensi sesuai kondisi tersebut. Variabel-variabel dalam proses transtheoritical model dmunculkan agar perubahan perilaku yang diinginkan menjadi optimal. Misalnya seseorang berada dalam tahap contemplation. Ini bisa dioptimalkan dengan paparan dramatic relief  agar ia segera yakin untuk berusaha merubah perilaku kemudian berlanjut pada tahap action dan seterusnya.

Kelebihan dan Kelemahan Transtheoritical Model

Kelebihan yang dimiliki TTM adalah adanya seperangkat pola umum dalam proses perubahan yang bisa diaplikasikan secara luas (digeneralisasikan) dalam berbagai macam perilaku. Selain itu, TTM mampu mengintegrasikan teori-teori terdahulu yang berusaha menjelaskan fenomena di balik perubahan perilaku. Sedangkan kelemahannya, TTM tidak menjelaskan sejauh mana kemungkinan adanya faktor lain seperti perceived risk, subjective norms, dan severity of the problem ikut mempengaruhi perubahan perilaku (Shumaker, et al., 2009). Menurut Bandura dalam (Lenio, n.d.) kelemahan TTM yaitu, fungsi manusia terlalu kompleks dan multidimensi untuk dapat dikategorikan dalam tahap tertentu. Di samping itu, tidak ada bukti empiris yang menjelaskan bahwa enam bulan adalah rentang waktu yang sesuai dalam tahap TTM (Kraft, et al. dalam Lenio, n.d).

Referensi
Lenio, James A. (n.d.). Analysis of the Transtheoretical Model of Behavior Change. Journal of Student Research, 73-86
Prochaska , J. O. & Wayne F.V. (1997). The Transtheoretical Model of Health Behavior Change. American Journal of Health Promotion: September/October 1997, Vol. 12, No. 1, pp. 38-48.

Sharma, Manoj & J. A. Romas. (2012). Theoretical Fondation of Health Education and Helath Promotion Second Edition. Sudbury : Jones & Bartlett Learning.

Shumaker, et al. (Ed). (2009). The Handbook of Health Behavior Change. New York : Springer.
Weiten, Wayne. (2013). Psychology Themes and Variations 9th Edition. Belmont: Wadsworth.

0 comments:

Post a Comment