Saturday, 24 October 2015

Health Belief Model sebagai Landasan Berpikir dalam Perilaku Sehat

Kesehatan adalah aset berharga setiap manusia agar bisa beraktifitas sebagaimana seharusnya. Namun masing-masing orang memiliki perbedaan dalam usaha menjaga maupun memulihkan kesehatan. Fenomena ini salah satunya dijelaskan dengan health belief model yang menggunakan pendekatan kognisi sosial dalam memahami perilaku sehat.

Sejarah Health Belief Model

HBM (Health Belief Model) adalah salah satu teori yang banyak digunakan dalam upaya promosi dan edukasi kesehatan. Hochbaum dalam (Conner & Norman, 2003) menyebut bahwa teori ini awalnya dikembangkan pada 1950 untuk menjelaskan mengapa program edukasi kesehatan yang ditawarkan oleh US Public Health Service tidak sepenuhnya efektif. Terdapat faktor demografis yang berpengaruh terhadap perilaku sehat yang bersifat preventif serta penggunaan layanan kesehatan (Rosenstock dalam Conner & Norman, 2003). Sayangnya, meski faktor-faktor tersebut telah diminimalisir, ini tidak langsung berdampak pada munculnya perilaku sehat. 

Oleh karena itu diperlukan edukasi kesehatan yang tepat sesuai dengan karakterisitik individu yang dituju. Dalam hal ini belief (keyakinan) yang diperoleh dari sosialisasi, dianggap akan berpengaruh terhadap perilaku yang dimunculkan seseorang. Hal tersebut dijelaskan oleh Lewin (1951) dalam konsep valensi (penjelasan tentang sebab perilaku menjadi lebih atau semakin kurang menarik) yang kemudian menghasilkan expectancy value theory (suatu kejadian dianggap menarik atau tdak menarik tergantung evaluasi positif maupun negatif yang dikembangkan individu) (Conner & Norman, 2003). Evaluasi individual inilah manifestasi belief yang mungkin berbeda antara satu orang dengan lainnya, kemudian berpengaruh terhadap kemauan mereka melakukan sebuah aktivitas dalam upaya mendapatkan kesehatan. 

Rosenstock adalah orang pertama yang menghubungkan penelitian tentang health belief model dengan studi yang dilakukan Hochbaum pada tahun 1958 tentang screening X-ray terhadap penderita tuberkulosis. Studi tersebut menemukan bahwa kesadaran individu akan risiko penyakit tuberkulosis serta keyakinan adanya manfaat melakukan screening membedakan pilihan yang mereka ambil untuk mengikuti atau tidak mengikuti chest X-rays (Conner & Norman, 2003). 

Temuan tersebut juga diperkuat dengan studi ilmuwan-ilmuwan lainnya hingga pada 1970 Haefner and Kirscht melakukan penelitian lebih lanjut dengan membuat intervensi edukasi kesahatan yang didesain untuk meningkatkan perceived susceptibility, perceived severity dan anticipated benefits pasien. Hasilnya, terdapat peningkatan kunjungan check-up kepada dokter. Sehingga, pada tahun yang sama, diusulkan bahwa faktor-faktor tersebut adalah konsep utama yang mampu meberikan kerangka berpikir untuk memahami perbedaan perilaku sehat antarindividu dan merancang intervensi untuk mengubah perilaku (Conner & Norman, 2003). Kemudian HBM dikonsolidasikan saat Beckeret al. (1977) mempublikasikan pernyataan konsensus dari  Carnegie Grant Subcommittee on Modification of Patient Behaviour for Health Maintenance and Disease Control.

Definisi dan Komponen Health Belief Model

Konsep dasar dalam HBM adalah perilaku sehat dipengaruhi oleh keyakinan masing-masing individu atau persepsi tentang ancaman (threat perception) dan evaluasi perilaku (behavior evaluation) (Conner & Norman, 2003). Threat perception menerangkan dua keyakinan utama yaitu perceived susceptibility to illness atau health problems dan anticipated severity of the consequences of illnesses. Behavioural evaluation juga terdiri atas dua keyakinan adanya manfaat dan kepercayaan kemampuan (efficacy) serta adanya pengorbanan dan hambatan (dalam berperilaku sehat). 

Menurut Conner & Norman (2003) konstruk perceived susceptibility (risiko yang dirasakan) juga mempengaruhi munculnya perilaku sehat. Ketika seseorang mengetahui bahwa dirinya berisiko terkena suatu penyakit, maka terbentuk keyakinan bahwa dirinya memang berisiko. Oleh karena itu, ia akan berusaha melakukan hal-hal yang dianggapnya mampu mengurangi potensi risiko tersebut. Semakin tinggi risiko yang diyakini seseorang, semakin tinggi pula kecenderungannya untuk berperilaku sehat dengan harapan mengurangi risiko tersebut. Sayangnya, ini juga berlaku sebaliknya. Ketika seseorang merasa tidak berisiko terkena penyakit, ia juga cenderung berperilaku tidak sehat (Hayden, 2014). Meski demikian, pernyataan tersebut bukan hukum mutlak, Terkadang keyakinan akan risiko penyakit tidak berimplikasi pada perilaku sehat maupun tidak sehat.

Konstruk anticipated severity adalah keyakinan individu tentang keseriusan suatu penyakit (Conner & Norman, 2003). Persepsi tentang seberapa serius suatu penyakit bisa diperoleh dari pengetahuan atau informasi medis yang didapat serta bisa berasal dari keyakinan seseorang tentang dampak yang mungkin muncul dalam hidupnya akibat penyakit tersebut. Contohnya, penyakit flu umumnya dianggap sebagai penyakit yang ringan. Namun jika seseorang mengalami flu yang berkepanjangan, ini mungkin membuatnya berpikir bahwa ia terkena penyakit serius.

 Kemudian konstruk perceived benefit, diartikan bahwa individu berperilaku sehat karena ia meyakini bahwa sesuatu yang dilakukannya akan memberi manfaat terutama dalam mengurangi potensi terkena suatu penyakit (Hayden, 2014). Perilaku sehat yang dilakukan individu karena adanya keyakinan tentang manfaat suatu aktivitas baru, biasanya bersifat mencegah datangnya penyakit. Misalnya, seseorang rela mengeluarkan biaya lebih untuk mengonsumsi sayur organik demi mendapatkan asupan nutrisi yang cukup dan aman dari ancaman bahaya pestisida. Hal tersebut dilakukan karena individu meyakini adanya manfaat lebih dari sayur organik bagi kesehatan tubuhnya. 

Konstruk lain dalam health belief model adalah perceived barrier. Konstruk ini menjelaskan bahwa perubahan perilaku, menjalani sebuah aktivitas baru dalam upaya menjadi, menjaga atau meningkatkan kesehatan bukan hal mudah karena terdapat hambatan. Hambatan tersebut sebenarnya adalah evaluasi pribadi itu sendiri (Hayden, 2014). Contohnya, rasa takut, malu dan ragu untuk melakukan sebuah tes kesehatan. Contoh lainnya adalah perokok yang khawatir produktivitasnya akan terhambat jika ia berhenti merokok. Hal tersebut sebenarnya adalah hambatan yang muncul karena evaluasinya sendiri. Oleh karena itu, individu memerlukan sebuah keyakinan untuk bisa mengalahkan penghalang dalam pikirannya, bahwa perilaku baru yang dilakukannya akan lebih bermanfaat daripada melanjutkan kebiasaan lama.

Keempat konstruk tersebut baik sendiri maupun bersamaan, dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku sehat. Baru-baru ini dalam HBM juga ditambahkan motivating factors, cues to action, , dan self efficacy. Konstruk atau komponen dalam HBM juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (motivating factors) seperti : budaya, tingkat pendidikan, pengalaman masa lalu, keahlian, dan motivasi. Faktor-faktor tersebut adalah karakteristik personal yang berbeda antara satu individu dengan lainnya. Selain itu, HBM juga dipengaruhi oleh adanya cues to action. Cues to action adalah kejadian, orang atau benda yang membuat seseorang mengubah perilakunya seperti, anggota keluarga yang sakit, iklan kesehatan, serta nasihat dari orang lain (Hayden, 2014).

Kemudian pada 1988 ditambahkan self efficacy dalam komponen health belief model (Conner & Norman, 2003). Self efficacy (persepsi individu tentang kemampuan yang dimilikinya) dianggap mempengaruhi perilaku sehatnya. Apabila individu merasa bahwa ia mampu melakukan hal baru yang akan membuatnya hidup lebih sehat, maka keyakinan ini kemungkinan besar benar terwujud dalam perilakunya. Namun demikian, apabila individu menginginkan perubahan dengan hidup lebih sehat tetapi ia merasa tidak mampu melakukan aktivitas tersebut, maka kemungkinan keyakinan akan ketidakmampuan ini membuat individu tersebut mengurungkan niat, kemudian tidak muncul perilaku sehat yang ditargetkan.

Aplikasi dan Penerapan
 
Conner & Norman (2003) mengungkapkan bahwa Health belief model telah banyak digunakan untuk memahami perilaku sehat, beberapa hal yang bisa diidentifikasi dengan HBM diantaranya : (1) perilaku sehat yang bersifat preventif; termasuk promosi kesehatan (contoh: diet, olahraga) dan risiko kesehatan (2) perilaku saat sakit, kepatuhan mentaati rekomendasi medis (3) penggunaan klinis.

Perilaku seperti berhenti merokok, mengonsumsi alkohol, penggunaan kondom dalam mencegah HIV, makan makanan sehat, dan vaksinasi campak adalah beberapa contoh aplikasi studi terdahulu yang menggunakan health belief model. (Conner & Norman, 2003). Lebih lanjut, health belief model juga dioperasionalisasikan ke dalam konstruk-konstruk yang kemudian disusun menjadi kuisioner. Health belief model yang bisa digunakan untuk memprediksi sebab munculnya perilaku sehat, bisa menjadi dasar untuk menentukan intervensi yang tepat. Penggunaan video, home interview, workshop, card reminder, serta instruksi, praktik dan follow up adalah beberapa intervensi yang menjadikan HBM sebagai dasar berpikir (Conner & Norman, 2003).

Ada pun contoh penerapan yang bisa dilakukan berdasar pada health belief model salah satunya untuk mengidentifikasi penyebab munculnya perilaku preventif penyakit kanker leher rahim pada wanita,
1.        Perceived susceptibility
Wanita di Indonesia mendapatkan informasi bahwa jumlah penderita kanker leher rahim sangat tinggi sehingga individu ikut merasa menjadi bagian dari kelompok berisiko menderita kanker leher rahim.
2.        Anticipated severity
Individu memikirkan dampak yang harus ditanggung oleh penderita kanker leher rahim yang bahkan bisa menyebabkan kematian, sehingga muncul persepsi kanker leher rahim adalah penyakit serius yang berbahaya.
3.        Perceived benefit
Wanita mencari alternatif cara untuk mencegah terjadinya kanker leher rahim dengan melakukan tes pap secara berkala karena tes ini diyakini bermanfaat sebagai deteksi dini kanker leher rahim. Wanita juga meyakini bahwa deteksi dini akan bermanfaat untuk memudahkan upaya penyembuhan apabila terdapat kanker.
4.         Perceived barrier
Wanita enggan melakukan tes pap karena malu, takut, khawatir merasa sakit, serta biaya yang mahal.
5.        Motivating factors
Misalnya wanita yang lebih berpendidikan dan lebih memahami tes pap, tidak merasa khawatir untuk menjalani tes tersebut karena mengetahui bahwa tes itu aman dilakukan selama ditangani oleh ahlinya. Ini menjadikan individu yakin untuk berperilaku sehat dengan memeriksakan diri ke dokter dan bersedia melakukan tes pap.
6.        Cues to action
Wanita yang mendapatkan dukungan dari suami dan menyaksikan iklan layanan masyarakat tentang pentingnya kesehatan alat reproduksi akan lebih positif menyikapi tes pap.
7.        Self Efficacy
Wanita meyakini bahwa dirinya mampu mengikuti tes pap.

Kelebihan Health Belif Model
1.        Mampu mengidentifikasi sebab perilaku sehat dan tidak sehat yang berbeda antarindividu
2.        Dasar untuk menyusun intervensi perilaku sehat yang berlaku untuk perorangan
3.        HBM bersifat mudah dan sederhana dalam menjelaskan perilaku sehat (Conner & Norman, 2003).

Kekurangan Health Belif Model
1.        Tidak ada acuan yang jelas tentang bagaimana mengoperasionalisasikan konstruk-konstruk dalam HBM
2.        Beragamnya operasionalisasi peneliti tentang HBM melemahkan posisinya sebagai model psikologi yang koheren
3.        Hanya sedikit studi yang menggunakan HBM untuk memahami perilaku yang berhubungan dengan masa lalu
4.        Komponen dalam HBM tidak bisa menjelaskan hubungan antara efek struktur sosial dengan perilaku sehat.
5.        HBM mulanya dianggap kurang komperhensif untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara health belief dengan tahapan psikologis dalam pembuatan keputusan dan tindakan
6.        Penerapan HBM terbatas pada kelompok tertentu, sulit digeneralisasi (Conner & Norman, 2003).

Referensi

Conner, M dan Norman, P. (2003). Predicting Health Behaviour, Research and Practice with SocialCognition Model. Buckingham: Open Univeristy Press.

Hayden, Joanna Aboyoun. (2014). Introduction to Health Behavior Theory, Second Edition. Burlington: Jones and Bartlett.

0 comments:

Post a Comment