Kesehatan
adalah aset berharga setiap manusia agar bisa beraktifitas sebagaimana
seharusnya. Namun masing-masing orang memiliki perbedaan dalam usaha menjaga
maupun memulihkan kesehatan. Fenomena ini salah satunya dijelaskan dengan health
belief model yang menggunakan pendekatan kognisi sosial dalam memahami
perilaku sehat.
Sejarah Health
Belief Model
HBM
(Health Belief Model) adalah salah satu teori yang banyak digunakan
dalam upaya promosi dan edukasi kesehatan. Hochbaum dalam (Conner & Norman,
2003) menyebut bahwa teori ini awalnya dikembangkan pada 1950 untuk menjelaskan
mengapa program edukasi kesehatan yang ditawarkan oleh US Public Health
Service tidak sepenuhnya efektif. Terdapat faktor demografis yang
berpengaruh terhadap perilaku sehat yang bersifat preventif serta penggunaan
layanan kesehatan (Rosenstock dalam Conner & Norman, 2003). Sayangnya,
meski faktor-faktor tersebut telah diminimalisir, ini tidak langsung berdampak
pada munculnya perilaku sehat.
Oleh
karena itu diperlukan edukasi kesehatan yang tepat sesuai dengan karakterisitik
individu yang dituju. Dalam hal ini belief (keyakinan) yang diperoleh
dari sosialisasi, dianggap akan berpengaruh terhadap perilaku yang dimunculkan
seseorang. Hal tersebut dijelaskan oleh Lewin (1951) dalam konsep valensi
(penjelasan tentang sebab perilaku menjadi lebih atau semakin kurang menarik)
yang kemudian menghasilkan expectancy value theory (suatu kejadian
dianggap menarik atau tdak menarik tergantung evaluasi positif maupun negatif
yang dikembangkan individu) (Conner & Norman, 2003). Evaluasi individual
inilah manifestasi belief yang mungkin berbeda antara satu orang dengan
lainnya, kemudian berpengaruh terhadap kemauan mereka melakukan sebuah
aktivitas dalam upaya mendapatkan kesehatan.
Rosenstock
adalah orang pertama yang menghubungkan penelitian tentang health belief
model dengan studi yang dilakukan Hochbaum pada tahun 1958 tentang screening
X-ray terhadap penderita tuberkulosis. Studi tersebut menemukan bahwa
kesadaran individu akan risiko penyakit tuberkulosis serta keyakinan adanya
manfaat melakukan screening membedakan pilihan yang mereka ambil untuk
mengikuti atau tidak mengikuti chest X-rays (Conner & Norman, 2003).
Temuan
tersebut juga diperkuat dengan studi ilmuwan-ilmuwan lainnya hingga pada 1970
Haefner and Kirscht melakukan penelitian lebih lanjut dengan membuat intervensi
edukasi kesahatan yang didesain untuk meningkatkan perceived susceptibility,
perceived severity dan anticipated benefits pasien. Hasilnya,
terdapat peningkatan kunjungan check-up kepada dokter. Sehingga,
pada tahun yang sama, diusulkan bahwa faktor-faktor tersebut adalah konsep
utama yang mampu meberikan kerangka berpikir untuk memahami perbedaan perilaku
sehat antarindividu dan merancang intervensi untuk mengubah perilaku (Conner
& Norman, 2003). Kemudian HBM dikonsolidasikan saat Beckeret al. (1977)
mempublikasikan pernyataan konsensus dari
Carnegie Grant Subcommittee on Modification of Patient Behaviour for
Health Maintenance and Disease Control.
Definisi dan
Komponen Health Belief Model
Konsep
dasar dalam HBM adalah perilaku sehat dipengaruhi oleh keyakinan masing-masing
individu atau persepsi tentang ancaman (threat perception) dan evaluasi
perilaku (behavior evaluation) (Conner
& Norman, 2003). Threat perception menerangkan dua keyakinan utama
yaitu perceived susceptibility to illness atau health problems dan
anticipated severity of the consequences of illnesses. Behavioural
evaluation juga terdiri atas dua keyakinan adanya manfaat dan kepercayaan
kemampuan (efficacy) serta adanya pengorbanan dan hambatan (dalam
berperilaku sehat).
Menurut
Conner & Norman (2003) konstruk perceived susceptibility (risiko
yang dirasakan) juga mempengaruhi munculnya perilaku sehat. Ketika seseorang
mengetahui bahwa dirinya berisiko terkena suatu penyakit, maka terbentuk
keyakinan bahwa dirinya memang berisiko. Oleh karena itu, ia akan berusaha
melakukan hal-hal yang dianggapnya mampu mengurangi potensi risiko tersebut.
Semakin tinggi risiko yang diyakini seseorang, semakin tinggi pula
kecenderungannya untuk berperilaku sehat dengan harapan mengurangi risiko
tersebut. Sayangnya, ini juga berlaku sebaliknya. Ketika seseorang merasa tidak
berisiko terkena penyakit, ia juga cenderung berperilaku tidak sehat (Hayden,
2014). Meski demikian, pernyataan tersebut bukan hukum mutlak, Terkadang
keyakinan akan risiko penyakit tidak berimplikasi pada perilaku sehat maupun
tidak sehat.
Konstruk
anticipated severity adalah keyakinan individu tentang keseriusan suatu
penyakit (Conner & Norman, 2003). Persepsi tentang seberapa serius suatu
penyakit bisa diperoleh dari pengetahuan atau informasi medis yang didapat
serta bisa berasal dari keyakinan seseorang tentang dampak yang mungkin muncul
dalam hidupnya akibat penyakit tersebut. Contohnya, penyakit flu umumnya
dianggap sebagai penyakit yang ringan. Namun jika seseorang mengalami flu yang
berkepanjangan, ini mungkin membuatnya berpikir bahwa ia terkena penyakit
serius.
Kemudian
konstruk perceived benefit, diartikan bahwa individu berperilaku sehat
karena ia meyakini bahwa sesuatu yang dilakukannya akan memberi manfaat
terutama dalam mengurangi potensi terkena suatu penyakit (Hayden, 2014).
Perilaku sehat yang dilakukan individu karena adanya keyakinan tentang manfaat
suatu aktivitas baru, biasanya bersifat mencegah datangnya penyakit. Misalnya,
seseorang rela mengeluarkan biaya lebih untuk mengonsumsi sayur organik demi
mendapatkan asupan nutrisi yang cukup dan aman dari ancaman bahaya pestisida.
Hal tersebut dilakukan karena individu meyakini adanya manfaat lebih dari sayur
organik bagi kesehatan tubuhnya.
Konstruk
lain dalam health belief model adalah perceived barrier. Konstruk
ini menjelaskan bahwa perubahan perilaku, menjalani sebuah aktivitas baru dalam
upaya menjadi, menjaga atau meningkatkan kesehatan bukan hal mudah karena
terdapat hambatan. Hambatan tersebut sebenarnya adalah evaluasi pribadi itu
sendiri (Hayden, 2014). Contohnya, rasa takut, malu dan ragu untuk melakukan
sebuah tes kesehatan. Contoh lainnya adalah perokok yang khawatir
produktivitasnya akan terhambat jika ia berhenti merokok. Hal tersebut
sebenarnya adalah hambatan yang muncul karena evaluasinya sendiri. Oleh karena
itu, individu memerlukan sebuah keyakinan untuk bisa mengalahkan penghalang
dalam pikirannya, bahwa perilaku baru yang dilakukannya akan lebih bermanfaat
daripada melanjutkan kebiasaan lama.
Keempat konstruk tersebut baik
sendiri maupun bersamaan, dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku sehat. Baru-baru
ini dalam HBM juga ditambahkan motivating factors, cues to action, , dan
self efficacy. Konstruk atau komponen dalam HBM juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain (motivating factors) seperti : budaya, tingkat
pendidikan, pengalaman masa lalu, keahlian, dan motivasi. Faktor-faktor
tersebut adalah karakteristik personal yang berbeda antara satu individu dengan
lainnya. Selain itu, HBM juga dipengaruhi oleh adanya cues to action. Cues to
action adalah kejadian, orang atau benda yang membuat seseorang mengubah
perilakunya seperti, anggota keluarga yang sakit, iklan kesehatan, serta
nasihat dari orang lain (Hayden, 2014).
Kemudian pada 1988 ditambahkan self
efficacy dalam komponen health belief model (Conner & Norman,
2003). Self efficacy (persepsi individu tentang kemampuan yang
dimilikinya) dianggap mempengaruhi perilaku sehatnya. Apabila individu merasa
bahwa ia mampu melakukan hal baru yang akan membuatnya hidup lebih sehat, maka
keyakinan ini kemungkinan besar benar terwujud dalam perilakunya. Namun
demikian, apabila individu menginginkan perubahan dengan hidup lebih sehat
tetapi ia merasa tidak mampu melakukan aktivitas tersebut, maka kemungkinan
keyakinan akan ketidakmampuan ini membuat individu tersebut mengurungkan niat,
kemudian tidak muncul perilaku sehat yang ditargetkan.
Aplikasi dan
Penerapan
Conner &
Norman (2003) mengungkapkan bahwa Health belief model telah
banyak digunakan untuk memahami perilaku sehat, beberapa hal yang bisa
diidentifikasi dengan HBM diantaranya : (1) perilaku sehat yang bersifat
preventif; termasuk promosi kesehatan (contoh: diet, olahraga) dan risiko
kesehatan (2) perilaku saat sakit, kepatuhan mentaati rekomendasi medis (3)
penggunaan klinis.
Perilaku
seperti berhenti merokok, mengonsumsi alkohol, penggunaan kondom dalam mencegah
HIV, makan makanan sehat, dan vaksinasi campak adalah beberapa contoh aplikasi
studi terdahulu yang menggunakan health belief model. (Conner &
Norman, 2003). Lebih lanjut, health belief model juga
dioperasionalisasikan ke dalam konstruk-konstruk yang kemudian disusun menjadi kuisioner.
Health belief model yang bisa digunakan untuk memprediksi sebab
munculnya perilaku sehat, bisa menjadi dasar untuk menentukan intervensi yang
tepat. Penggunaan video, home interview, workshop, card
reminder, serta instruksi, praktik dan follow up adalah beberapa
intervensi yang menjadikan HBM sebagai dasar berpikir (Conner & Norman,
2003).
Ada pun contoh
penerapan yang bisa dilakukan berdasar pada health belief model salah
satunya untuk mengidentifikasi penyebab munculnya perilaku preventif penyakit
kanker leher rahim pada wanita,
1.
Perceived
susceptibility
Wanita di
Indonesia mendapatkan informasi bahwa jumlah penderita kanker leher rahim sangat
tinggi sehingga individu ikut merasa menjadi bagian dari kelompok berisiko
menderita kanker leher rahim.
2.
Anticipated
severity
Individu
memikirkan dampak yang harus ditanggung oleh penderita kanker leher rahim yang
bahkan bisa menyebabkan kematian, sehingga muncul persepsi kanker leher rahim
adalah penyakit serius yang berbahaya.
3.
Perceived
benefit
Wanita mencari
alternatif cara untuk mencegah terjadinya kanker leher rahim dengan melakukan
tes pap secara berkala karena tes ini diyakini bermanfaat sebagai deteksi dini
kanker leher rahim. Wanita juga meyakini bahwa deteksi dini akan bermanfaat
untuk memudahkan upaya penyembuhan apabila terdapat kanker.
4.
Perceived barrier
Wanita enggan
melakukan tes pap karena malu, takut, khawatir merasa sakit, serta biaya yang
mahal.
5.
Motivating
factors
Misalnya wanita
yang lebih berpendidikan dan lebih memahami tes pap, tidak merasa khawatir
untuk menjalani tes tersebut karena mengetahui bahwa tes itu aman dilakukan
selama ditangani oleh ahlinya. Ini menjadikan individu yakin untuk berperilaku
sehat dengan memeriksakan diri ke dokter dan bersedia melakukan tes pap.
6.
Cues
to action
Wanita yang
mendapatkan dukungan dari suami dan menyaksikan iklan layanan masyarakat
tentang pentingnya kesehatan alat reproduksi akan lebih positif menyikapi tes pap.
7.
Self Efficacy
Wanita meyakini
bahwa dirinya mampu mengikuti tes pap.
Kelebihan Health
Belif Model
1.
Mampu
mengidentifikasi sebab perilaku sehat dan tidak sehat yang berbeda
antarindividu
2.
Dasar
untuk menyusun intervensi perilaku sehat yang berlaku untuk perorangan
3.
HBM bersifat
mudah dan sederhana dalam menjelaskan perilaku sehat (Conner & Norman,
2003).
Kekurangan
Health Belif Model
1.
Tidak
ada acuan yang jelas tentang bagaimana mengoperasionalisasikan
konstruk-konstruk dalam HBM
2.
Beragamnya
operasionalisasi peneliti tentang HBM melemahkan posisinya sebagai model
psikologi yang koheren
3.
Hanya
sedikit studi yang menggunakan HBM untuk memahami perilaku yang berhubungan
dengan masa lalu
4.
Komponen
dalam HBM tidak bisa menjelaskan hubungan antara efek struktur sosial dengan
perilaku sehat.
5.
HBM
mulanya dianggap kurang komperhensif untuk menjelaskan bagaimana hubungan
antara health belief dengan tahapan psikologis dalam pembuatan keputusan
dan tindakan
6.
Penerapan
HBM terbatas pada kelompok tertentu, sulit digeneralisasi (Conner & Norman,
2003).
Referensi
Conner, M dan Norman, P. (2003). Predicting Health Behaviour, Research and
Practice with SocialCognition Model. Buckingham: Open Univeristy Press.
Hayden, Joanna Aboyoun. (2014). Introduction to Health Behavior
Theory, Second Edition. Burlington: Jones and Bartlett.
0 comments:
Post a Comment