Saturday, 24 October 2015

Makna Bahtera Cinta

Luasnya lautan dan gelombang ombak yang biru membentang, menantang. Seseorang hanya kaku berdiri meragu, enggan berenang. Terdampar di garis pantai memberinya dua pilihan. Hanya menunggu datangnya bantuan sambil terus menghidupkan harapan atau menceburkan diri dalam lautan, berenang sekuat tenaga sambil menyapa ikan-ikan.

Hidup manusia secara umum tidak jauh berbeda dengan seseorang yang berada di garis pantai itu. Dia sedang terdampar, karena manusia tidak pernah meminta dikirim ke alam dunia (Sartre dalam Abidin, 2000). Garis pantai adalah replika batas yang harus ditembus demi bertahan dalam kehidupan. Jika manusia memilih hanya diam,  menunggu bantuan datang, dia hanyalah pemimpi. Namun, berenang sekuat tenaga (usaha) juga tidak menjamin keselamatan, bahkan mungkin membahayakan.

Sama halnya dengan sesorang di garis pantai itu. Jika hanya diam, entah sampai kapan dia harus menunggu tanpa kepastian. Jika memberanikan diri menyelami lautan, dia juga tidak tahu berapa lama harus berenang sampai akhirnya menemukan pulau tujuan. Keputusan untuk berenang juga berarti siap menghadapi kemungkinan tergulung ombak lautan atau ditelan ikan. Kedatangan bahtera adalah hal paling logis yang bisa diharapkan untuk mendapatkan keselamatan. Laut lepas terlalu ganas jika hanya diseberangi seorang diri, tanpa nahkoda, tanpa layar yang terkembang. Kapal lautnya harus besar dan seimbang, lincah menetapi karang, dan siap menghadapi gelombang.

Dalam hal ini, bahtera adalah perumpamaan cinta. Nahkoda dan para awak kapalnya adalah simbol perlunya keberadaan orang lain sebagai pelaksananya. Terasa tidak lengkap jika lautan kehidupan hanya dijelajahi sendirian. Hadirnya orang lain terutama pasangan, seakan menjadi sebuah kebutuhan. Maka, digunakanlah kalimat “aku mencintaimu” sebagai jalan untuk mewujudkan keinginan bersanding berdua dalam konteks cinta antarmanusia.

Namun, cukupkah cinta bermakna keinginan untuk bersama ? Apakah adanya cinta hanya sebagai pemenuh kepentingan transaksional manusia agar mereka menjadi seimbang lalu mendapat “keselamatan” ? Kata cinta memang milik semua, tidak pandang kaya atau miskin, tidak peduli remaja atau lansia. Mungkin karena kemerakyatan kata cinta inilah, dia dianggap sesuatu yang mudah. Salah satunya, kalimat “aku jatuh cinta” yang sering diobral hingga ke berbagai media sosial. Kesannya, cinta sangat renyah untuk dibicarakan di mana-mana. Buku cinta laris diserbu pembeli, seminar tentang cinta dipadati peserta, film-film romansa pun tidak pernah kehilangan penggemar. Cinta seperti punya daya tarik magis yang sulit dijelaskan.

Sayangnya, cinta juga sering dimaknai terlalu dangkal. Misalnya, jika kembali pada pembahasan istilah jatuh cinta, ungkapan itu mengesankan cinta sebagai sebuah kekeliruan. ‘Jatuh’ juga bisa dimaknai sebagai ketidaksengajaan, sesaat, tiba-tiba, dan terjadi begitu saja. Dalam hal ini, Erich Fromm hadir sebagai tokoh penentang atas istilah tersebut. Menurutnya cinta tidaklah sebagaimana dimaknai dalam istilah jatuh cinta. Cinta bukanlah suatu kebetulan. Cinta tidak menunggu siapa obyek yang tepat, melainkan sebuah seni yang harus dipelajari (Fromm, 2005). Cinta menurutnya, adalah kemampuan atau kapasitas. Cinta adalah tindakan, aktif, “bertahan di dalam” (standing in) bukan “jatuh” (falling for).

Terdapat bermacam jenis cinta dalam hidup manusia. Salah satunya, cinta dimaknai sebagai “ketersambungan” rasa antara pria dan wanita. Cinta jenis ini sangat menggairahkan bagi mereka yang berusia remaja. Cinta ibarat makanan lezat yang sangat diidamkan. Adalah hal yang membanggakan bagi remaja memiliki seseorang yang setiap hari mengirimkan pesan, menelepon, menanyakan kabar dan lain sebagainya. Adalah sebuah “prestasi” apabila status di sosial media telah berubah dari single menjadi couple. Berpacaran adalah kondisi yang mereka sebut sebagai pembuktian cinta.

Sama halnya seperti makanan, cinta antara pria dan wanita dalam pemaknaan dunia remaja, menyajikan gambaran kekaguman dan kenikmatan yang hanya sekejap. Makanan selezat apa pun hanya akan terasa nikmat saat ia baru masuk ke dalam mulut. Setelah ditelan kemudian berproses melewati tenggorokan, rasa itu lenyap. Begitu pula “cinta monyet” para remaja. Tampak sangat menyenangkan di awal jadian, menyerahkan sekuntum mawar merah, makan malam, komunikasi intensif yang penuh bunga-bunga, lalu mulai bosan dan berakhir dengan keputusan mengakhiri hubungan.

Proses tersebut berlanjut pada dua kemungkinan. Pertama, ikrar  move on diikuti dengan pencarian pujaan hati baru. Kedua, kesedihan berkepanjangan, rasa kehilangan, ratapan sendu di pojok kamar diiringi dengan lunturnya semangat hidup, seperti malas makan, sulit tidur, gelisah, menyendiri dan lain sebagainya. Fromm (2005) menyebut ini sebagai cinta palsu, buatan, bukan cinta sesungguhnya (artificial love).

Mature love says : I need you because I love you. Immature love says: I love you, because I need you” (Fromm, 2005).  Immature love adalah cinta yang kekanak-kanakan. Seseorang berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhannya (keuntungan) sendiri, ingin diberi tetapi enggan memberi. Adanya keinginan untuk mencari keuntungan menyiratkan harapan akan sebuah pemberian. Padahal, cinta mestinya saling memberi bukan mementingkan diri sendiri. Cinta adalah kemampuan untuk mencintai bukan hanya keinginan dicintai. Selain itu, cerita ini menunjukkan bahwa manusia memang tidak begitu saja jatuh cinta. Mereka memilih siapa dan bagaimana caranya mencintai orang lain. Itulah cinta yang dewasa (mature love).

Fromm (2005) mengungkapkan bahwa cinta adalah upaya untuk mengatasi masalah eksistensial manusia yaitu kesendirian. Kesendirian bisa menimbulkan keresahan atau kegelisahan. Cinta adalah upaya untuk keluar dari kondisi tersebut karena di dalamnya terdapat penyatuan dengan pribadi lain.

Cinta ibarat sebuah bahtera yang harus dirancang dengan matang, dibuat dari bahan berkualitas dan dikerjakan oleh ahlinya. Bahtera juga harus memiliki layar yang dapat terbuka lebar agar angin bisa menggerakkannya mengarungi samudra. Selain itu, diperlukan awak yang sigap mengurus segala keperluan dan nahkoda yang mampu mengarahkan. Awak kapal dan nahkoda juga harus saling menguatkan demi selamat sampai tujuan. Selanjutnya, apabila bahtera telah tiba di tempat tujuan, diturunkannya jangkar pemberat adalah keharusan. Seperti cinta yang seharusnya juga menetap dan penuh usaha untuk mempertahankan.

Referensi 

Fromm, E. (2005). The Art of Loving: Memaknai Hakikat Cinta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Abidin, Z. (2000). Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

0 comments:

Post a Comment