Hidup manusia secara umum tidak jauh berbeda dengan
seseorang yang berada di garis pantai itu. Dia sedang terdampar, karena manusia
tidak pernah meminta dikirim ke alam dunia (Sartre dalam Abidin, 2000). Garis
pantai adalah replika batas yang harus ditembus demi bertahan dalam kehidupan.
Jika manusia memilih hanya diam, menunggu bantuan datang, dia hanyalah pemimpi.
Namun, berenang sekuat tenaga (usaha) juga tidak menjamin keselamatan, bahkan
mungkin membahayakan.
Sama halnya dengan sesorang di garis pantai itu. Jika
hanya diam, entah sampai kapan dia harus menunggu tanpa kepastian. Jika
memberanikan diri menyelami lautan, dia juga tidak tahu berapa lama harus
berenang sampai akhirnya menemukan pulau tujuan. Keputusan untuk berenang juga
berarti siap menghadapi kemungkinan tergulung ombak lautan atau ditelan ikan. Kedatangan
bahtera adalah hal paling logis yang bisa diharapkan untuk mendapatkan
keselamatan. Laut lepas terlalu ganas jika hanya diseberangi seorang diri,
tanpa nahkoda, tanpa layar yang terkembang. Kapal lautnya harus besar dan seimbang,
lincah menetapi karang, dan siap menghadapi gelombang.
Dalam hal ini, bahtera adalah perumpamaan cinta.
Nahkoda dan para awak kapalnya adalah simbol perlunya keberadaan orang lain
sebagai pelaksananya. Terasa tidak lengkap jika lautan kehidupan hanya dijelajahi
sendirian. Hadirnya orang lain terutama pasangan, seakan menjadi sebuah
kebutuhan. Maka, digunakanlah kalimat “aku mencintaimu” sebagai jalan untuk
mewujudkan keinginan bersanding berdua dalam konteks cinta antarmanusia.
Namun, cukupkah cinta bermakna keinginan untuk
bersama ? Apakah adanya cinta hanya sebagai pemenuh kepentingan transaksional
manusia agar mereka menjadi seimbang lalu mendapat “keselamatan” ? Kata cinta
memang milik semua, tidak pandang kaya atau miskin, tidak peduli remaja atau
lansia. Mungkin karena kemerakyatan kata cinta inilah, dia dianggap sesuatu
yang mudah. Salah satunya, kalimat “aku jatuh cinta” yang sering diobral hingga
ke berbagai media sosial. Kesannya, cinta sangat renyah untuk dibicarakan di
mana-mana. Buku cinta laris diserbu pembeli, seminar tentang cinta dipadati
peserta, film-film romansa pun tidak pernah kehilangan penggemar. Cinta seperti
punya daya tarik magis yang sulit dijelaskan.
Sayangnya, cinta juga sering dimaknai terlalu
dangkal. Misalnya, jika kembali pada pembahasan istilah jatuh cinta, ungkapan
itu mengesankan cinta sebagai sebuah kekeliruan. ‘Jatuh’ juga bisa dimaknai
sebagai ketidaksengajaan, sesaat, tiba-tiba, dan terjadi begitu saja. Dalam hal
ini, Erich Fromm hadir sebagai tokoh penentang atas istilah tersebut.
Menurutnya cinta tidaklah sebagaimana dimaknai dalam istilah jatuh cinta. Cinta
bukanlah suatu kebetulan. Cinta tidak menunggu siapa obyek yang tepat,
melainkan sebuah seni yang harus dipelajari (Fromm, 2005). Cinta menurutnya,
adalah kemampuan atau kapasitas. Cinta adalah tindakan, aktif, “bertahan di
dalam” (standing in) bukan
“jatuh” (falling for).
Terdapat bermacam jenis cinta dalam hidup manusia.
Salah satunya, cinta dimaknai sebagai “ketersambungan” rasa antara pria dan
wanita. Cinta jenis ini sangat menggairahkan bagi mereka yang berusia remaja.
Cinta ibarat makanan lezat yang sangat diidamkan. Adalah hal yang membanggakan
bagi remaja memiliki seseorang yang setiap hari mengirimkan pesan, menelepon,
menanyakan kabar dan lain sebagainya. Adalah sebuah “prestasi” apabila status
di sosial media telah berubah dari single menjadi couple. Berpacaran adalah kondisi yang mereka sebut sebagai pembuktian cinta.
Sama halnya seperti makanan, cinta antara pria dan
wanita dalam pemaknaan dunia remaja, menyajikan gambaran kekaguman dan
kenikmatan yang hanya sekejap. Makanan selezat apa pun hanya akan terasa nikmat
saat ia baru masuk ke dalam mulut. Setelah ditelan kemudian berproses melewati
tenggorokan, rasa itu lenyap. Begitu pula “cinta monyet” para remaja. Tampak
sangat menyenangkan di awal jadian,
menyerahkan sekuntum mawar merah, makan malam, komunikasi intensif yang penuh
bunga-bunga, lalu mulai bosan dan berakhir dengan keputusan mengakhiri
hubungan.
Proses tersebut berlanjut pada dua kemungkinan.
Pertama, ikrar move on diikuti dengan pencarian pujaan hati baru. Kedua,
kesedihan berkepanjangan, rasa kehilangan, ratapan sendu di pojok kamar
diiringi dengan lunturnya semangat hidup, seperti malas makan, sulit tidur,
gelisah, menyendiri dan lain sebagainya. Fromm (2005) menyebut ini sebagai cinta
palsu, buatan, bukan cinta sesungguhnya (artificial love).
“Mature love says : I need you because I love you. Immature love says: I love you, because I
need you” (Fromm, 2005). Immature love adalah cinta yang kekanak-kanakan. Seseorang berfokus pada
upaya pemenuhan kebutuhannya (keuntungan) sendiri, ingin diberi tetapi enggan
memberi. Adanya keinginan untuk mencari keuntungan menyiratkan harapan akan
sebuah pemberian. Padahal, cinta mestinya saling memberi bukan mementingkan
diri sendiri. Cinta adalah kemampuan untuk mencintai bukan hanya keinginan
dicintai. Selain itu, cerita ini menunjukkan bahwa manusia memang tidak begitu
saja jatuh cinta. Mereka memilih siapa dan bagaimana caranya mencintai orang
lain. Itulah cinta yang dewasa (mature love).
Fromm (2005) mengungkapkan bahwa cinta adalah upaya
untuk mengatasi masalah eksistensial manusia yaitu kesendirian. Kesendirian
bisa menimbulkan keresahan atau kegelisahan. Cinta adalah upaya untuk keluar
dari kondisi tersebut karena di dalamnya terdapat penyatuan dengan pribadi
lain.
Cinta ibarat sebuah bahtera yang harus dirancang
dengan matang, dibuat dari bahan berkualitas dan dikerjakan oleh ahlinya. Bahtera
juga harus memiliki layar yang dapat terbuka lebar agar angin bisa
menggerakkannya mengarungi samudra. Selain itu, diperlukan awak yang sigap
mengurus segala keperluan dan nahkoda yang mampu mengarahkan. Awak kapal dan
nahkoda juga harus saling menguatkan demi selamat sampai tujuan. Selanjutnya,
apabila bahtera telah tiba di tempat tujuan, diturunkannya jangkar pemberat
adalah keharusan. Seperti cinta yang seharusnya juga menetap dan penuh usaha
untuk mempertahankan.
Referensi
Fromm, E. (2005). The Art of Loving: Memaknai Hakikat Cinta. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Abidin, Z.
(2000). Filsafat Manusia: Memahami
Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
0 comments:
Post a Comment