Monday, 6 July 2015

Efek Followers : Demo Anarkis Bukan Budaya Indonesia

Demo sebagai perwujudan kebebasan berpendapat adalah salah satu hal yang dijamin oleh negara. Di Indonesia, mahasiswa adalah pihak yang paling aktif mengkritisi pemerintah. Mahasiswa Indonesia bahkan menduduki peringkat pertama paling banyak melakukan demonstrasi dari 113 negara dalam kurun tiga tahun terakhir.

Namun, belakangan berkembang pandangan negatif terhadap aksi-aksi mahasiswa. Mereka yang menyebut dirinya sebagai aktivis, corong suara rakyat, harus menerima kenyataaan pahit. Publik sudah terlajur sakit hati menyaksikan anarkisme dalam demonstrasi. Demo yang diklaim memperjuangkan rakyat, justru meresahkan dan merugikan. Lantas layakkah mereka disebut aktivis mahasiswa ? Benarkah seluruh peserta demo (mahasiswa) memahami tujuan aksinya ? Tuluskah aksi mereka atau hanya followers (ikut-ikutan)  saja ?

Pendidikan tinggi adalah upaya Indonesia untuk mewujudkan misinya dalam mencerdaskan bangsa. Dalam penyelenggaraannya, dikenal istilah Tri Darma Perguruan Tinggi yang berisi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012). Notosusanto (1983) menyatakan tidak ada masalah dalam dua konsep tri darma perguruan tinggi yaitu pendidikan dan penelitian. Lain halnya dengan konsep ketiga, pengabdian masyarakat, yang menimbulkan banyak pemaknaan serta memiliki unsur politis.

Pengabdian masyarakat salah satunya dimaknai dengan memperjuangkan suara rakyat melalui demonstrasi. Ini biasanya dilakukan oleh mahasiswa, khususnya mereka yang menyebut dirinya sebagai aktivis. Meski mewujudkan pengabdian masyarakat dengan demonstrasi bukanlah kesalahan, Notosusanto (1983) menyatakan bahwa makna pengabdian masyarakat seharusnya adalah pengabdian yang ilmiah. Kampus dianggap sebagai lingkup intelektual yang harus senantiasa bergerak dalam ranah ilmiah, termasuk dalam mengabdikan diri di masyarakat.

Namun demikian, mahasiswa Indonesia tampaknya telah terbentuk oleh keadaan untuk melakukan demonstrasi. Berkembang anggapan bahwa sebutan mahasiswa tidak layak disandang oleh mereka yang tidak pernah turun ke jalan (mengikuti demonstrasi). Mahasiswa memang berperan penting dalam dinamika politik di tanah air. Konsekuensi logis dari kenyataan tersebut, mereka menjadi agen yang berjasa mengawal jalannya pemerintahan sekaligus rentan dengan isu ditunggangi oleh kepentingan.

Fenomena terbalik yang terjadi saat ini adalah merebaknya pandangan negatif dalam demonstrasi mahasiswa. Dahulu, mereka dianggap layaknya pejuang rakyat serta diharapkan keberaniannya untuk menyuarakan aspirasi. Saat ini, demonstrasi mahasiswa terhubung dengan bayangan kerusuhan yang sering menimbulkan kemacetan, membahayakan keselamatan pengguna jalan, serta merusak berbagai fasilitas umum. Para aktivis era ini menghadapi tantangan sulit sebagai akibat generalisasi atas rusuhnya demonstrasi di beberapa daerah Indonesia.

Ali (2006) menyebut bahwa gerakan mahasiswa dahulu berorientasi menggugat struktur kekuasaan sedangkan saat ini orientasinya adalah pembentukan opini politik masyarakat. Selain itu, organisasi yang menjadi wadah gerakan mahasiswa dahulu adalah organisasi masa yang menggunakan metode mobilisasi masa, sedangkan saat ini menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan metode mobilisasi ide dan persepsi politik. Tampaknya, iklim masa kini mengharuskan pergerakan mahasiswa menyesuaikan diri.

Saat ini aktivis beralih menggunakan mobilisasi ide dan persepsi politik. Upaya mengumpulkan masa dilakukan dengan menyebarkan propaganda melalui situs internet, media sosial, spanduk, hingga jumpa pers. Semua media tersebut dimanfaatkan untuk membentuk opini publik. Pembentukan opini publik adalah langkah awal dalam manajemen aksi yang sangat penting.

Tingginya intensitas informasi memperbesar kemungkinan bagi seseorang untuk terpengaruh. Informasi yang disampaikan secara sering dan berulang membentuk jalan pintas dalam pikiran. Hogg dan Vaughan (2011) menyampaikan bahwa repetisi diperlukan agar informasi dimengerti dan diingat. Prinsip inilah yang digunakan dalam penyebaran isu sebelum demonstrasi. Opini publik yang terbentuk, pada akhirnya dibenarkan oleh para ‘aktivis pemula’ sehingga mereka memutuskan berpartisipasi dalam demonstrasi. Fenomena ini menimbulkan kesangsian tersendiri tentang pemahaman instan para aktivis pemula akan tujuan demonstrasi yang diikuti.

Para aktivis pelopor demonstrasi mungkin memiliki idealisme tinggi untuk menyuarakan aspirasi. Lain halnya dengan para pengikutnya yang tidak bisa dipastikan bahwa seluruhnya sungguh-sungguh memiliki idealisme serta misi yang sama. Ini muncul karena mereka yang tergabung sebagai demonstran terbentuk dalam proses singkat berkat pengaruh opini publik yang sengaja diciptakan oleh para penggerak demonstrasi.

Hal tersebut menunjukkan  adanya konformitas (conformity) sebagai salah satu motif atau faktor pendorong dalam demonstrasi mahasiswa. Konformitas adalah kecenderungan seseorang untuk mengubah pendapat, penilaian, atau tindakan agar sesuai dengan orang lain atau kelompok (Forsyth, 2010:179). Dalam demonstrasi mahasiswa yang selalu diawali dengan upaya pembentukan opini publik, konformitas justru menjadi target yang harus dicapai untuk mendapatkan masa.

Kecenderungan seseorang untuk mengikuti pendapat atau tindakan, orang atau suatu kelompok, disebabkan oleh beberapa faktor. Taylor, dkk (2009) mengungkapkan setidaknya terdapat dua penyebab konformitas yaitu pengaruh informasi dan pengaruh normatif. Apabila seseorang atau suatu kelompok dianggap memberikan informasi yang benar, kepercayaan terhadapnya akan meningkat. Kepercayaan mengarahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan pihak yang dipercayainya.

Pada dasarnya manusia ingin bertindak dengan benar. Jika tindakan benar tersebut disandarkan pada orang lain atau kelompok, kemungkinan untuk mengubah persepsi serta tindakan menjadi sesuai “standar” menjadi semakin besar. Saat seorang mahasiswa ingin dianggap telah bertindak benar sebagaimana mahasiswa seharusnya, kecenderungan untuk mengikuti informasi yang diterima juga semakin besar.

Kemudian, pengaruh normatif dalam konformitas adalah keinginan untuk diterima secara sosial (Taylor, dkk, 2006:259). Sebagai bagian dari suatu kelompok, seseorang tentu berharap kehadirannya diterima, diperlakukan dengan baik serta tidak ingin mendapat penolakan. Dalam konteks demonstrasi mahasiswa misalnya, seseorang cenderung mengikuti demonstrasi demi diterima dalam kelompok.

Tampak bahwa konformitas dalam demonstrasi mahasiswa sebenarnya bukanlah hal negatif atau masalah yang merugikan. Sebaliknya, dalam demonstrasi memang diperlukan adanya masa yang mau mengikuti penggeraknya supaya demo terlaksana dengan besaran masa yang memadai.  Namun demikian, konformitas (sekedar ikut-ikutan) adalah masalah, apabila menjadi motif di balik kerusuhan dalam demo. Hogg dan Vaughan (2011) menyatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan dengan maksud melukai baik diri sendiri maupun orang lain, secara fisik maupun nonfisik. Sehingga, kerusuhan dapat digolongkan sebagai agresi, khususnya agresi kolektif (secara berkelompok).

Adalah sebuah ironi apabila upaya penyampaian aspirasi yang dinyatakan sebagai bentuk perjuangan suara rakyat justru meresahkan bahkan merugikan. Terlebih jika mereka yang terlibat dalam kerusuhan sebenarnya tidak memiliki alasan kuat untuk melakukan agresi.

Agresi timbul setelah melalui beberapa proses yaitu, disinhibisi, deindividuasi dan dehumanisasi (Hogg dan Vaughan, 2011: 470). Disinhibisi adalah munculnya faktor pendorong seseorang melakukan tindakan antisosial. Dalam demonstrasi mahasiswa, disinhibisi bisa terjadi saat demonstrasi mulai memanas, adanya aparat yang berusaha menertibkan aksi serta kata-kata kasar atau ancaman yang saling diutarakan oleh pihak mahasiswa dan aparat. Tidak adanya respon dari pihak pemerintah (target demonstrasi) juga bisa menjadi faktor dalam disinhibisi. Selain itu, adanya provokator terkadang memiliki andil dalam menciptakan suasana yang tidak kondusif.

Setelah disinhibisi terjadi, individu mengalami deindividuasi. Deindividuasi adalah proses yang mana masing-masing orang dalam kelompok kehilangan individualitasnya. Mereka tidak lagi mampu merasakan identitas diri yang biasanya ditampilkan. Identitas individu ini melebur sebagai anggota kelompok (Hogg dan Vaughan, 2011: 470). Dalam hal ini, mahasiswa sebagai peserta demonstrasi tidak lagi memikirkan diri sebagai si pintar, si malas, si rajin, si pendiam melainkan merasa sebagai satu kelompok.

Zimbardo (dalam Forsyth, 2010:517) menyatakan bahwa deindividuasi berawal dari adanya faktor penyebab (input) situasional seperti tingkat anonimitas dan ukuran besarnya kelompok, serta faktor psikologis seperti rasa tanggung jawab dan tingkat keterpengaruhan pribadi yang dicirikan dengan rendahya kesadaran diri dan kesadaran terhadap regulasi. Hal tersebut menjadikan seseorang semakin tidak rasional, emosional, impulsif, sehingga lebih mudah bertindak agresif. Kemudian, mereka memasuki proses dehumanisasi. Proses ketika sekelompok orang sanggup melakukan hal-hal yang tidak manusiawi.

Teori tersebut menjelaskan mengapa mahasiswa yang kesehariannya tidak menampilkan diri bersifat keras atau kasar, bisa terlibat dalam kerusuhan dalam demonstrasi. Saat individu berada dalam kelompok, kecenderungan menyalurkan agresi juga besar. Ia merasa tidak akan diperhatikan sebagai individu, melainkan sebagai satu kelompok yang akan bersama-sama memikul tanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan.

Anderson dan Bushman (dalam Hogg dan Vaughan, 2011:474) menyusun sebuah model yang disebut GAM (General Aggression Model). Agresi dijelaskan sebagai perilaku sosial yang melibatkan faktor-faktor personal dan situasional serta proses kognitif dan afektif. Kedua faktor penyebab agresi mengaktifkan tiga macam proses internal (affect, cognition dan arousal). Ketiganya menimbulkan penilaian (appraisal) tentang sebuah situasi yang dihadapi. Penilaian seseorang tentang sebuah situasi sangat menentukan apakah dia terlebih dahulu berpikir secara matang, penuh pertimbangan (thoughtful) atau secara impulsif mengambil keputusan bertindak agresif. Berikut ini adalah gambaran general aggression model. 

Gambar 1. General Aggression Model (Hogg dan Vaughan, 2011:474)

Dalam demonstrasi mahasiswa, aktivis sejati semestinya memahami bahwa kerusuhan bukan tujuan diselenggarakannya demonstrasi. Mereka akan berusaha menenangkan rekannya, mengambil kendali keadaan. Lain halnya dengan mereka yang sejak awal menjadi aktivis hanya karena konformitas. Mereka lebih rentan bertindak tanpa banyak pertimbangan termasuk saat situasi di lapangan menyediakan faktor-faktor agresi. Para followers (aktivis pengikut) ini cenderung memberi penilaian terhadap situasi secara impulsif, terlebih jika masa demonstrasi berjumlah besar.

Gustave Le Bon menyatakan bahwa dalam sebuah kerumunan (crowd) terdapat pemikiran kolektif (collective mind) yang bisa membuat orang-orang di dalamnya merasa, berpikir, serta bertindak berbeda dibandingkan jika mereka dalam keadaan sendiri. Menurutnya, pemikiran kolektif seperti penyakit menular yang bisa menyebar kepada seluruh anggota kelompok. Penularan tersebut memperbesar kecenderungan anggota kelompok untuk melakukan tindakan dengan cara yang sama (Forsyth, 2010:514). Demonstrasi mahasiswa merupakan salah satu kerumunan (crowd). Terdapat pemikiran kolektif yang dianut oleh peserta aksi. Begitu juga saat muncul agresi di satu bagian dari demonstran, anggota lainnya akan mudah terpengaruh meski belum memahami permasalahannya.

Herbert Blumer dalam (Forsyth, 2010:515) menyatakan bahwa penularan (contagion) pemikiran kolektif melibatkan proses sirkuler. Anggota kelompok gagal untuk memahami arti dari perilaku orang lain dalam kelompok serta cenderung salah paham dengan situasi. Kemudian, mereka bertindak atas dasar kesalahpahaman yang juga diinterpretasikan dengan salah oleh anggota kelompok lainnya, sehingga mendorong mereka melakukan tindakan yang sama.

Pada dasarnya demonstrasi adalah fasilitas untuk menyampaikan aspirasi. Dalam hal ini mahasiswa sebagai golongan intelek, semestinya mau mengindahkan peraturan negara serta adanya hak orang lain yang harus dihormati.

Referensi

Ali, Denny Januar. (2006). Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an. Yogyakarta: LKIS.

Forsyth, Donelson R. (2010). Group Dynamics Fifth Edition. Belmont : Wadsworth.

Hogg, M. A. dan G. M. Vaughan. (2011). Social Psychology Sixth Edition. Essex: Pearson Education.



Indonesia Urutan Pertama Aksi Demonstrasi. Diakses 3 Juli 2015, dari http://www.antaranews.com/print/268356/indonesia-urutan-pertama-aksi-demonstrasi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012. Diakses 3 Juli 2015, dari http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17624/UU0122012_Full.pdf.

2 comments:

  1. Memang kalo mhs demo itu pasti ada yg cuma ikut2an. tapi ada jg yg mmg serius memperjuangkan aspirasi.

    ReplyDelete
  2. terimakasih infonya sangat bermanfaat, kunjungi http://bit.ly/2SP7F4H

    ReplyDelete