Demo sebagai perwujudan kebebasan berpendapat adalah salah satu hal
yang dijamin oleh negara. Di Indonesia, mahasiswa adalah pihak yang paling
aktif mengkritisi pemerintah. Mahasiswa Indonesia bahkan menduduki peringkat pertama paling banyak melakukan demonstrasi dari 113 negara dalam kurun tiga
tahun terakhir.
Namun, belakangan berkembang pandangan negatif terhadap aksi-aksi mahasiswa. Mereka yang menyebut dirinya sebagai aktivis, corong suara rakyat, harus menerima kenyataaan pahit. Publik sudah terlajur sakit hati menyaksikan anarkisme dalam demonstrasi. Demo yang diklaim memperjuangkan rakyat, justru meresahkan dan merugikan. Lantas layakkah mereka disebut aktivis mahasiswa ? Benarkah seluruh peserta demo (mahasiswa) memahami tujuan aksinya ? Tuluskah aksi mereka atau hanya followers (ikut-ikutan) saja ?
Namun, belakangan berkembang pandangan negatif terhadap aksi-aksi mahasiswa. Mereka yang menyebut dirinya sebagai aktivis, corong suara rakyat, harus menerima kenyataaan pahit. Publik sudah terlajur sakit hati menyaksikan anarkisme dalam demonstrasi. Demo yang diklaim memperjuangkan rakyat, justru meresahkan dan merugikan. Lantas layakkah mereka disebut aktivis mahasiswa ? Benarkah seluruh peserta demo (mahasiswa) memahami tujuan aksinya ? Tuluskah aksi mereka atau hanya followers (ikut-ikutan) saja ?
Pendidikan tinggi adalah upaya Indonesia untuk mewujudkan misinya
dalam mencerdaskan bangsa. Dalam penyelenggaraannya, dikenal istilah Tri Darma
Perguruan Tinggi yang berisi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012). Notosusanto (1983)
menyatakan tidak ada masalah dalam dua konsep tri darma perguruan tinggi yaitu
pendidikan dan penelitian. Lain halnya dengan konsep ketiga, pengabdian
masyarakat, yang menimbulkan banyak pemaknaan serta memiliki unsur politis.
Pengabdian masyarakat salah satunya dimaknai dengan memperjuangkan
suara rakyat melalui demonstrasi. Ini biasanya dilakukan oleh mahasiswa,
khususnya mereka yang menyebut dirinya sebagai aktivis. Meski mewujudkan
pengabdian masyarakat dengan demonstrasi bukanlah kesalahan, Notosusanto (1983)
menyatakan bahwa makna pengabdian masyarakat seharusnya adalah pengabdian yang
ilmiah. Kampus dianggap sebagai lingkup intelektual yang harus senantiasa
bergerak dalam ranah ilmiah, termasuk dalam mengabdikan diri di masyarakat.
Namun demikian, mahasiswa Indonesia tampaknya telah terbentuk oleh
keadaan untuk melakukan demonstrasi. Berkembang anggapan bahwa sebutan
mahasiswa tidak layak disandang oleh mereka yang tidak pernah turun ke jalan
(mengikuti demonstrasi). Mahasiswa memang berperan penting dalam dinamika
politik di tanah air. Konsekuensi logis dari kenyataan tersebut, mereka menjadi
agen yang berjasa mengawal jalannya pemerintahan sekaligus rentan dengan isu
ditunggangi oleh kepentingan.
Fenomena terbalik yang terjadi saat ini adalah merebaknya pandangan negatif dalam demonstrasi mahasiswa. Dahulu, mereka dianggap layaknya pejuang rakyat serta diharapkan keberaniannya untuk menyuarakan aspirasi. Saat ini, demonstrasi mahasiswa terhubung dengan bayangan kerusuhan yang sering menimbulkan kemacetan, membahayakan keselamatan pengguna jalan, serta merusak berbagai fasilitas umum. Para aktivis era ini menghadapi tantangan sulit sebagai akibat generalisasi atas rusuhnya demonstrasi di beberapa daerah Indonesia.
Ali (2006) menyebut bahwa gerakan mahasiswa dahulu berorientasi
menggugat struktur kekuasaan sedangkan saat ini orientasinya adalah pembentukan
opini politik masyarakat. Selain itu, organisasi yang menjadi wadah gerakan
mahasiswa dahulu adalah organisasi masa yang menggunakan metode mobilisasi
masa, sedangkan saat ini menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan metode
mobilisasi ide dan persepsi politik. Tampaknya, iklim masa kini mengharuskan
pergerakan mahasiswa menyesuaikan diri.
Saat ini aktivis beralih menggunakan mobilisasi ide dan persepsi
politik. Upaya mengumpulkan masa dilakukan dengan menyebarkan propaganda
melalui situs internet, media sosial, spanduk, hingga jumpa pers. Semua media
tersebut dimanfaatkan untuk membentuk opini publik. Pembentukan opini publik
adalah langkah awal dalam manajemen aksi yang sangat penting.
Tingginya intensitas informasi memperbesar kemungkinan bagi
seseorang untuk terpengaruh. Informasi yang disampaikan secara sering dan
berulang membentuk jalan pintas dalam pikiran. Hogg dan Vaughan (2011)
menyampaikan bahwa repetisi diperlukan agar informasi dimengerti dan diingat.
Prinsip inilah yang digunakan dalam penyebaran isu sebelum demonstrasi. Opini
publik yang terbentuk, pada akhirnya dibenarkan oleh para ‘aktivis pemula’
sehingga mereka memutuskan berpartisipasi dalam demonstrasi. Fenomena ini
menimbulkan kesangsian tersendiri tentang pemahaman instan para aktivis pemula
akan tujuan demonstrasi yang diikuti.
Para aktivis pelopor demonstrasi mungkin memiliki idealisme tinggi untuk menyuarakan aspirasi. Lain halnya dengan para pengikutnya yang tidak bisa dipastikan bahwa seluruhnya sungguh-sungguh memiliki idealisme serta misi yang sama. Ini muncul karena mereka yang tergabung sebagai demonstran terbentuk dalam proses singkat berkat pengaruh opini publik yang sengaja diciptakan oleh para penggerak demonstrasi.
Hal tersebut menunjukkan adanya konformitas (conformity)
sebagai salah satu motif atau faktor pendorong dalam demonstrasi mahasiswa.
Konformitas adalah kecenderungan seseorang untuk mengubah pendapat, penilaian,
atau tindakan agar sesuai dengan orang lain atau kelompok (Forsyth, 2010:179).
Dalam demonstrasi mahasiswa yang selalu diawali dengan upaya pembentukan opini
publik, konformitas justru menjadi target yang harus dicapai untuk mendapatkan
masa.
Kecenderungan seseorang untuk mengikuti pendapat atau tindakan,
orang atau suatu kelompok, disebabkan oleh beberapa faktor. Taylor, dkk (2009)
mengungkapkan setidaknya terdapat dua penyebab konformitas yaitu pengaruh
informasi dan pengaruh normatif. Apabila seseorang atau suatu kelompok dianggap
memberikan informasi yang benar, kepercayaan terhadapnya akan meningkat.
Kepercayaan mengarahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan pihak yang
dipercayainya.
Pada dasarnya manusia ingin bertindak dengan benar. Jika tindakan
benar tersebut disandarkan pada orang lain atau kelompok, kemungkinan untuk
mengubah persepsi serta tindakan menjadi sesuai “standar” menjadi semakin
besar. Saat seorang mahasiswa ingin dianggap telah bertindak benar sebagaimana
mahasiswa seharusnya, kecenderungan untuk mengikuti informasi yang diterima
juga semakin besar.
Kemudian, pengaruh normatif dalam konformitas adalah keinginan
untuk diterima secara sosial (Taylor, dkk, 2006:259). Sebagai bagian dari suatu
kelompok, seseorang tentu berharap kehadirannya diterima, diperlakukan dengan
baik serta tidak ingin mendapat penolakan. Dalam konteks demonstrasi mahasiswa
misalnya, seseorang cenderung mengikuti demonstrasi demi diterima dalam
kelompok.
Tampak bahwa konformitas dalam demonstrasi mahasiswa sebenarnya
bukanlah hal negatif atau masalah yang merugikan. Sebaliknya, dalam demonstrasi
memang diperlukan adanya masa yang mau mengikuti penggeraknya supaya demo
terlaksana dengan besaran masa yang memadai. Namun demikian, konformitas (sekedar ikut-ikutan)
adalah masalah, apabila menjadi motif di balik kerusuhan dalam demo. Hogg dan
Vaughan (2011) menyatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan dengan maksud
melukai baik diri sendiri maupun orang lain, secara fisik maupun nonfisik.
Sehingga, kerusuhan dapat digolongkan sebagai agresi, khususnya agresi kolektif
(secara berkelompok).
Adalah sebuah ironi apabila upaya penyampaian aspirasi yang
dinyatakan sebagai bentuk perjuangan suara rakyat justru meresahkan bahkan
merugikan. Terlebih jika mereka yang terlibat dalam kerusuhan sebenarnya tidak
memiliki alasan kuat untuk melakukan agresi.
Agresi timbul setelah melalui beberapa proses yaitu, disinhibisi,
deindividuasi dan dehumanisasi (Hogg dan Vaughan, 2011: 470). Disinhibisi
adalah munculnya faktor pendorong seseorang melakukan tindakan antisosial.
Dalam demonstrasi mahasiswa, disinhibisi bisa terjadi saat demonstrasi mulai
memanas, adanya aparat yang berusaha menertibkan aksi serta kata-kata kasar
atau ancaman yang saling diutarakan oleh pihak mahasiswa dan aparat. Tidak
adanya respon dari pihak pemerintah (target demonstrasi) juga bisa menjadi
faktor dalam disinhibisi. Selain itu, adanya provokator terkadang memiliki andil
dalam menciptakan suasana yang tidak kondusif.
Setelah disinhibisi terjadi, individu mengalami deindividuasi.
Deindividuasi adalah proses yang mana masing-masing orang dalam kelompok
kehilangan individualitasnya. Mereka tidak lagi mampu merasakan identitas diri
yang biasanya ditampilkan. Identitas individu ini melebur sebagai anggota
kelompok (Hogg dan Vaughan, 2011: 470). Dalam hal ini, mahasiswa sebagai
peserta demonstrasi tidak lagi memikirkan diri sebagai si pintar, si malas, si
rajin, si pendiam melainkan merasa sebagai satu kelompok.
Zimbardo (dalam Forsyth, 2010:517) menyatakan bahwa deindividuasi
berawal dari adanya faktor penyebab (input) situasional seperti tingkat
anonimitas dan ukuran besarnya kelompok, serta faktor psikologis seperti rasa
tanggung jawab dan tingkat keterpengaruhan pribadi yang dicirikan dengan
rendahya kesadaran diri dan kesadaran terhadap regulasi. Hal tersebut
menjadikan seseorang semakin tidak rasional, emosional, impulsif, sehingga
lebih mudah bertindak agresif. Kemudian, mereka memasuki proses dehumanisasi.
Proses ketika sekelompok orang sanggup melakukan hal-hal yang tidak manusiawi.
Teori tersebut menjelaskan mengapa mahasiswa yang kesehariannya
tidak menampilkan diri bersifat keras atau kasar, bisa terlibat dalam kerusuhan
dalam demonstrasi. Saat individu berada dalam kelompok, kecenderungan
menyalurkan agresi juga besar. Ia merasa tidak akan diperhatikan sebagai
individu, melainkan sebagai satu kelompok yang akan bersama-sama memikul
tanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan.
Anderson dan Bushman (dalam Hogg dan Vaughan, 2011:474) menyusun
sebuah model yang disebut GAM (General Aggression Model). Agresi
dijelaskan sebagai perilaku sosial yang melibatkan faktor-faktor personal dan
situasional serta proses kognitif dan afektif. Kedua faktor penyebab agresi
mengaktifkan tiga macam proses internal (affect, cognition dan arousal).
Ketiganya menimbulkan penilaian (appraisal) tentang sebuah situasi yang
dihadapi. Penilaian seseorang tentang sebuah situasi sangat menentukan apakah
dia terlebih dahulu berpikir secara matang, penuh pertimbangan (thoughtful)
atau secara impulsif mengambil keputusan bertindak agresif. Berikut ini adalah
gambaran general aggression model.
Gambar 1. General Aggression Model (Hogg
dan Vaughan, 2011:474)
Dalam demonstrasi mahasiswa, aktivis sejati semestinya memahami
bahwa kerusuhan bukan tujuan diselenggarakannya demonstrasi. Mereka akan
berusaha menenangkan rekannya, mengambil kendali keadaan. Lain halnya dengan
mereka yang sejak awal menjadi aktivis hanya karena konformitas. Mereka lebih
rentan bertindak tanpa banyak pertimbangan termasuk saat situasi di lapangan
menyediakan faktor-faktor agresi. Para followers (aktivis pengikut) ini
cenderung memberi penilaian terhadap situasi secara impulsif, terlebih jika masa
demonstrasi berjumlah besar.
Gustave Le Bon menyatakan bahwa dalam sebuah kerumunan (crowd)
terdapat pemikiran kolektif (collective mind) yang bisa membuat
orang-orang di dalamnya merasa, berpikir, serta bertindak berbeda dibandingkan
jika mereka dalam keadaan sendiri. Menurutnya, pemikiran kolektif seperti
penyakit menular yang bisa menyebar kepada seluruh anggota kelompok. Penularan
tersebut memperbesar kecenderungan anggota kelompok untuk melakukan tindakan
dengan cara yang sama (Forsyth, 2010:514). Demonstrasi mahasiswa merupakan
salah satu kerumunan (crowd). Terdapat pemikiran kolektif yang dianut
oleh peserta aksi. Begitu juga saat muncul agresi di satu bagian dari
demonstran, anggota lainnya akan mudah terpengaruh meski belum memahami
permasalahannya.
Herbert Blumer dalam (Forsyth, 2010:515) menyatakan bahwa penularan
(contagion) pemikiran kolektif melibatkan proses sirkuler. Anggota
kelompok gagal untuk memahami arti dari perilaku orang lain dalam kelompok
serta cenderung salah paham dengan situasi. Kemudian, mereka bertindak atas
dasar kesalahpahaman yang juga diinterpretasikan dengan salah oleh anggota
kelompok lainnya, sehingga mendorong mereka melakukan tindakan yang sama.
Pada dasarnya demonstrasi adalah fasilitas untuk menyampaikan
aspirasi. Dalam hal ini mahasiswa sebagai golongan intelek, semestinya mau
mengindahkan peraturan negara serta adanya hak orang lain yang harus dihormati.
Referensi
Ali, Denny Januar. (2006). Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda
Era 80-an. Yogyakarta: LKIS.
Forsyth, Donelson R. (2010). Group Dynamics Fifth Edition. Belmont
: Wadsworth.
Hogg, M. A. dan G. M. Vaughan. (2011). Social Psychology
Sixth Edition. Essex: Pearson Education.
Indonesia Urutan Pertama Aksi Demonstrasi. Diakses 3 Juli 2015, dari http://www.antaranews.com/print/268356/indonesia-urutan-pertama-aksi-demonstrasi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012. Diakses 3 Juli 2015, dari http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17624/UU0122012_Full.pdf.
Memang kalo mhs demo itu pasti ada yg cuma ikut2an. tapi ada jg yg mmg serius memperjuangkan aspirasi.
ReplyDeleteterimakasih infonya sangat bermanfaat, kunjungi http://bit.ly/2SP7F4H
ReplyDelete