Friday 26 February 2021

Sisi Gelap Kebahagiaan


Tidak ada manusia yang tidak ingin hidup dengan bahagia. Itu membuat banyak diantara kita berusaha keras mengejar kebahagiaan. Ada yang melakukannya dengan cara sering berkumpul bersama teman-teman, bermain bersama anak, bekerja lembur, membeli gadget keluaran terbaru, membeli mobil baru bahkan membangun rumah baru. Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan?

Kebahagiaan mencakup dua aspek yaitu pikiran (kognitif) dan emosi (perasaan). Secara kognitif kebahagiaan dicerminkan oleh sejauh mana orang puas terhadap kehidupan yang dijalaninya serta sejauh mana ia menganggap bahwa hidupnya bermakna. Sedangkan secara perasaan, kebahagiaan diartikan sebagai hadirnya perasaan positif yaitu rasa senang atau gembira, serta ketiadaan emosi negatif seperti sedih, takut dan marah.

Saat ingin mencapai kebahagiaan, biasanya kita juga berusaha keras untuk menghindari atau mengingkari perasaan-perasaan negatif. Salah satu contohnya, saat kita menghadapi situasi yang menimbulkan perasaan sedih, biasanya kita akan bergulat dengan ketidaknyamanan atau konflik di dalam batin dengan mengatakan kepada diri sendiri, “Aku nggak boleh sedih!”, “Aku nggak boleh nangis!”

Apakah itu adalah langkah yang tepat untuk terus kita lakukan? Apakah bersedih berarti bahwa hidup kita tak bahagia? Apakah kita memang wajib memburu kebahagiaan?

Kebahagiaan ternyata juga memiliki sisi gelap yang perlu diperhatikan supaya hidup kita terhindar dari kesia-siaan dan kelelahan. Berikut adalah asumsi tentang kebahagiaan yang ternyata perlu kita kikis pelan-pelan, sebagaimana dijelaskan oleh Gruber, dkk (2011) dalam artikel ilmiah yang mereka tulis.

Kebahagiaan Selalu Mendatangkan Kebaikan

Faktanya kebahagiaan tak selalu baik dan tak selalu menyehatkan. Kondisi psikis kita berada dalam sebuah kontinum. Kebahagiaan kita juga demikian. Bisa naik bisa turun. Bisa tinggi dan bisa rendah. Tingginya perasaan bahagia juga bisa berbeda-beda level atau tingkatannya antara satu orang dengan lainnya juga antara waktu satu ke waktu berikutnya pada orang yang sama.

Jika mungkin selama ini kita berasumsi bahwa bahagia itu selalu mendatangkan kebaikan, maka sebaiknya kita mulai mengkritisi hal ini. Kebahagiaan yang diartikan sebagai hadirnya emosi positif berupa rasa senang, ketika itu berada di puncak (merasa sangat senang), tanpa disertai perasaan negatif sama sekali, justru menjadi hal yang berisiko tinggi. Rasa senang yang meluap-luap atau membuncah dan terus bertahan selama kurun waktu tertentu, bisa jadi juga merupakan pengalaman mania-sebuah gejala gangguan psikologis.

Jika seseorang mengalaminya, akan sulit bagi dirinya untuk mengendalikan dirinya sendiri. Ia mungkin menjadi kurang istirahat, energinya seperti tidak habis-habis bahkan bisa lepas kendali misalnya melakukan sex dengan orang yang tidak dikenal.

Di sisi lain, ketiadaan emosi negatif merupakan salah satu karakteristik orang dengan psikopati. Orang yang sama sekali tidak mampu merasakan kesedihan dan ketakutan juga bisa membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Ia bisa melakukan apa saja tanpa merasa bersalah sama sekali.

Dengan kata lain, tingkatan kebahagiaan tertinggi yang ditandai dengan tercapainya emosi yang sangat positif tanpa disertai emosi negatif justru merupakan tanda bagi adanya hambatan psikis pada individu.

Emosi positif maupun negatif perlu hadir sesuai dengan konteksnya. Ketidakberfungsian salah satunya, bisa sangat merugikan bagi kita. Dengan begitu kita perlu menyadari bahwa ingin selalu merasa senang atau positif bukan sesuatu yang logis dan patut dipertahankan.

Sebagai contoh, orang yang sedang berhadapan dengan ancaman atau bahaya, memerlukan emosi negatif berupa marah dan takut supaya ia mampu mempertahankan diri dan menyelamatkan dirinya. Jika ia hanya merasa senang sepanjang waktu, hilanglah kemampuannya untuk mendeteksi risiko yang ada di hadapannya.

Mengejar Kebahagiaan akan Meningkatkan Kebahagiaan

Masuk akal sekali jika kita dianjurkan untuk berusaha menggapai sesuatu yang kita inginkan. Namun ini tidak selalu berlaku pada proses pemerolehan kebahagiaan. Faktanya, mengejar kebahagiaan adalah sesuatu yang mengandung paradoks.

Kebahagiaan itu semakin dikejar justru akan semakin membuat kita merasa tidak bahagia. Mengejar kebahagiaan secara tak sadar membuat kita memasang syarat-syarat tertentu untuk merasa bahagia. Dengan kata lain ketika kita mengejar bahagia, kita justru sedang menjauhkan diri kita darinya! Ini terjadi karena usaha untuk mengejar bahagia sebenarnya juga mempertegas fakta bahwa kita sedang kurang bahkan tidak bahagia.

Contohnya, saat kita mungkin merasa tidak bahagia karena memiliki kulit yang berwarna gelap. Itu kemudian membuat kita berusaha keras menggunakan aneka produk yang menjanjikan warna kulit yang cerah setelah pemakaian. Secara psikis sebenarnya upaya keras untuk merasa bahagia dengan menggunakan produk pencerah juga sedang menegaskan kepada diri kita sendiri bahwa kulit kita gelap dan kita menolaknya. Penolakan ini akan menyulitkan kita merasa bahagia.

Sebaliknya, jika kita mau berlapang hati menerima warna kulit yang gelap itu, rasa nyaman dan bahagia dengan sendirinya akan muncul pada diri kita. Kita tidak mempertegas apa yang kurang, melainkan menerima diri sendiri apa adanya dan menghargai apa yang kita punya. Kita tidak lagi terjebak dalam kaca mata yang memandang bahwa perbedaan dengan standar kecantikan adalah ketidaksempurnaan. Kita telah mampu membahagiakan diri dengan tidak memperumit persyaratan bahwa kebahagiaan hanya boleh dirasakan oleh orang yang kulitnya cerah.

Jadi, apakah kita memang tidak boleh mengupayakan tercapainya kebahagiaan?

Boleh. Hanya saja kita perlu menempuh jalan yang lebih tepat. Kebahagiaan dapat diupayakan salah satunya dengan mencapai flow bukan dengan mempermak ini dan itu apalagi membeli hal-hal yang tak perlu. Semua itu, tak akan pernah ada titik cukupnya. Kondisi flow menggambarkan pengalaman dimana seseorang menikmati suatu aktivitas semata-mata karena ia menikmati prosesnya bukan karena ia ingin mendapatkan sesuatu setelahnya.

Contoh pengalaman flow adalah ketika seorang pelukis melakukan kegiatan melukis dengan segenap jiwanya dan ia sangat menikmatinya. Ia melakukannya karena ia menyukainya, bukan karena ingin dipuji atau ingin lukisannya dibeli dengan harga mahal. Itu hanyalah bonus atau efek samping. Baginya yang utama adalah ketika dirinya benar-benar menikmati aktivitasnya.

Jika diterapkan pada contoh lain, maka flow didapat jika kita menggunakan produk kecantikan karena kita menikmati prosesnya bukan karena kita menginginkan hasil dengan standar tertentu. Jika kita berfokus menikmati proses, artinya kita sedang menempuh jalan mencapai kebahagiaan sejati. Kita bukan sedang melakukan sesuatu untuk menyiksa diri sendiri dengan penolakan di dalam hati. Kita mungkin juga tak terlalu peduli apakah upaya kita akan berhasil atau tidak karena tujuan utama dan kebahagiaannya terletak pada perjalanannya, bukan titik ujungnya.

Sudah siap untuk menjadi orang yang bahagia?

Referensi

Gruber, J., Mauss, I.B., Tamir, M. (2011). A dark side of happiness? How, when, why happiness is not always good?. Perpective on Psychological Sciences, 6 (3) 222-233.

0 comments:

Post a Comment